Oleh: Haris Chaebar
Italia dalam beberapa tahun terakhir selalu diliputi masalah terlalu banyaknya penggunaan pemain asing. Banyak yang beranggapan jika salah satu alasan Italia tak berprestasi di kancah internasional adalah minimnya kesempatan bermain untuk para pemain Italia di liga karena banyaknya pemain asing. Skuat Italia di Piala Eropa 2016 misalnya, sebagai negara sepakbola, hanya di beberapa posisi saja dihuni oleh pemain kelas satu.
Namun belakangan pemain-pemain berbakat Italia mulai muncul satu per satu. Hal ini tidak lepas dari para pemain Italia yang mulai mendapatkan banyak kesempatan. Situs Transfermarkt memunculkan angka 56,7% untuk persentase pemain non-Italia di Serie A musim 2016/2017. Angka itu sedikit menurun dari presentase 57,9% (2015-2016) yang CIES Football Observatory beberkan guna menunjuk komposisi pemain asing di level tertinggi Italia musim lalu.
Kompetisi di Italia sudah terkenal dengan banyaknya pemain asing, dan hal itu sudah terjadi sejak lama. Memang keberadaan mereka terkadang begitu penting bagi sepakbola Italia, terlebih Serie A. Tanpa pemain asing yang khususnya pemain bintang, reputasi Serie A belum tentu terangkat tinggi, terlebih pemain asing nan berkualitas itu membantu klub-klub Serie A bersaing di zona Eropa.
Nama-nama seperti Zinedine Zidane, Gabriel Batistuta, Andriy Shevchenko, Ronaldo Nazario Lima, atau Ricardo Kaka pernah menghuni kompetisi Serie A kala mereka dalam puncak performa. Pemain legendaris seperti Marco van Basten, Lothar Matthäus atau bahkan Diego Maradona juga pernah mengadu nasib di negeri Pizza berbekal skill hebat mereka masing-masing.
Keberadaan mereka dahulu seakan mengonfirmasi bahwa Serie A adalah kompetisi terbaik di dunia, khususnya era 80, 90 hingga dekade 2000an, zaman ketika nama-nama di atas itu berkibar. Itu dulu, tetapi sekarang Serie A sudah berbeda dan kalah pamor dari liga-liga lain. Pemain-pemain asingnya pun tidak lagi berlabel kelas wahid seperti dulu. Sekarang banyak pemain asing, tetapi kualitas mereka tidak seberapa, pun buktinya tidak bisa membuat klub Italia kompetitif di level Eropa belakangan ini.
Meski begitu pemain asing, selain berdampak positif bisa pula negatif. Jumlah pemain asing yang membludak, membuat menit bermain pemain lokal akan terbatas. Tidak mengapa kalau stranieri (istilah untuk pemain asing dalam bahasa Italia) yang ada itu punya kualitas mumpuni, tapi kalau sedang-sedang saja atau bahkan tidak lebih baik dari pemain lokal, untuk apa?
Ibarat efek domino yang menjalur ke lain sisi, pemain asing yang banyak bisa menghambat perkembangan pemain muda, khususnya pemain lokal. Jika sudah begini, regenerasi pemain di tim nasional Italia pun terhambat. Musim ini Federasi Sepakbola Italia (FIGC), memberlakukan aturan home-grown players. Aturan ini mengharuskan klub dihuni minimal empat pemain asli didikan akademi dan empat pemain yang minimal sudah berada di akademi klub Italia selama 3 tahun dari rentang usia 15 hingga 21 tahun.
Klub-klub Italia mungkin harus gigit jari karena dibatasi membeli pemain asing, namun tidak dengan Atalanta. Klub asal Bergamo ini justru merengguk untung akibat adanya home-grown players. Dengan aturan yang mengharuskan punya pemain akademi di skuat tim utama, mau tak mau klub harus selektif membeli pemain asing yang benar-benar punya kualitas.
Berkahnya yaitu Atalanta memproduksi banyak pemain muda berbakat. Sebenarnya hal itu sudah sering mereka lakukan, tetapi musim ini semakin menjadi-jadi. Dibumbui sisi finansial yang tidak segagah klub besar, Atalanta banyak mengembangkan bakat muda untuk musim ini, baik itu dari akademi sendiri atau youngsters dari klub lain.
MattiaCaldara (22), Roberto Gagliardini (22), Andrea Conti (22), Franck Kessié (20), Leonardo Spinazzola (23) dan Andrea Petagna (21) menjadi contoh kesuksesan mereka mempoles pemain belia. Beberapa pemain muda diatas bahkan sudah ada yang pindah ke klub besar.
MattiaCaldara akan pindah ke Juventus pada musim panas 2018, sementara saat ini dia dipinjamkan ke Atalanta dua musim. Caldara dibeli Juve seharga 13 juta paun ditambah 7 juta paun, serta bonus lain-lain. Pogba Putih, julukan untuk Roberto Gagliardini yang dilontarkan Gian PieroGasperini, menggambarkan kualitasnya yang dibandingkan dengan pemain termahal dunia, Paul Pogba. Pemain bertinggi 188 cm ini sekarang sudah bermain di Internazionale, diangkut dengan skema pinjam dan dibeli pada akhir musim ini dengan mahar 17 juta paun. Gagliardini pun saati ini menjadi andalan lini tengah Nerrazurri.
Franck Kessie dan Andrea Conti jadi buah bibir di jendela transfer musim dingin 2017 ini. Kedua pemain ini dikaitkan dengan raksasa Liga Primer seperti Chelsea dan juga klub teras Italia seperti Juve dan Roma. Kessie dan Conti mulai melejit di musim ini, sebelumnya mereka dipinjamkan ke klub-klub bawah Italia.
Andrea Conti, dikabarkan menarik minat Antonio Conte untuk mengisi pos wing-back kanan The Blues. Permainan yang agresif menyerang dianggap cocok dengan skema 3-4-3 ala Conte di Chelsea. Musim depan pun Chelsea kemungkinan besar akan kembali ke percaturan Eropa, sehingga pemain seperti Conti akan sangat dibutuhkan Chelsea karena hanya Victor Moses yang sejauh ini yang mapan di pos wing-back kanan tersebut.
Nama lain yang juga menjadi primadona bursa transfer adalah Franck Kessié. Pemain asli Pantai Gading yang bahkan baru pertama pada kali menjejakkan kaki di Serie A musim 2016/2017 ini, sudah memaksa berbagai pemandu bakat tim besar untuk mengamatinya.
Pemain yang sudah mengemas enam gol (tergolong produktif untuk ukuran seorang gelandang tengah) ini dikabarkan memimpikan Manchester United. Tentu betapa senangnya Jose Mourinho jika bisa mendapatkan pemain yang dinamis ketika bergerak dan punya kecepatan ini. Permainannya mirip seperti wonderkid Portugal, Renato Sanches.
Leonardo Spinazzola, pemain yang dipinjam dari Juventus mulai mapan jadi wing-back kiri musim ini setelah menggeser pemain senior, Boukary Drame. Spinazzola di kiri dan Conti di kanan membuat skema 3-4-3 ala Gianpiero Gasperini yang memanfaatkan lebar lapangan, berjalan dengan mulus. Spinazzola bahkan hampir ditarik kembali Juventus pada bursa musim dingin lalu, seiring turut mudiknya Patrice Evra ke Perancis.
Nama yang juga tidak diduga mencuat adalah bekas anak didik AC Milan, Andrea Petagna. Dia mantap mengisi pos ujung tombak La Dea (sang Dewi) meski manajemen klub juga membeli Alberto Paloschi dari Swansea City. Gaya main Petagna sangat pas dalam skema Atalanta yang menyerang dan menguasai bola. Dia mampu menahan bola, menggiring bola dengan baik serta berperan sebagai pemantul bola bagi second striker sekaligus kapten Alejandro “Papu” Gomez dan gelandang serang Jasmin Kurtic.
Petagna sekilas berperan seperti Diego Costa di Chelsea, yang menjadi pemantul bola bagi duo sayap andalan, Hazard dan Pedro.
Petagna memang belum tampil tajam dengan gol-golnya. Namun setidaknya jika mampu secara lanjut bermain apik, bukan mustahil di akhir musim nanti isu ketertarikan Juventus yang bersedia menggelontorkan 30 juta euro untuknya, bisa benar-benar terealisasi.
Skuat muda Atalanta juga bukan mereka saja. Untuk menggantikan Marco Sportiello yang dipinjamkan Fiorentina, datanglah Pierluigi Gollini dari Aston Villa. Gollini juga sama bertalentanya dengan Sportiello, namun mantan pemain akademi Manchester United itu harus bersaing ketat dengan kiper senior, EtritBerisha guna mengisi slot penjaga gawang utama.
Kepergian Gagliardini, juga memberikan porsi lebih bagi pemain muda lain, Remo Freuler. Freuler (24) yang digamit dari FC Luzern ini menjadi pengatur lini tengah Atalanta sepeninggal Gagliardini. Pemain asal Swiss tersebut membuktikan itu dengan catatan 87% rataan akurasi umpan serta pemilik umpan tepat sasaran tertinggi di Atalanta dengan jumlah 776 kali, dilansir dari Squawka.
Bersambung ke halaman berikutnya...
Komentar