Persib Bandung gagal melangkah ke babak final Piala Presiden 2017. Pada semifinal leg kedua menghadapi Pusamania Borneo FC (PBFC), Persib yang menang 2-1 harus kalah lewat adu penalti. Eksekusi penalti gelandang Persib, Kim Jeffrey Kurniawan, yang melambung tinggi menjadi satu-satunya penalti gagal pada adu tos-tosan ini.
Persib tampil dominan pada laga yang digelar di Stadion Si Jalak Harupat, Minggu (5/3). Selain dua gol yang berhasil dicetak, ada dua peluang Persib lainnya yang membentur mistar gawang. Hal ini berbanding terbalik dengan PBFC yang hanya sesekali mendapatkan keluang karena terkurung oleh permainan Persib. Selain itu PBFC pun memilih untuk mengandalkan serangan balik lewat umpan-umpan direct mengarah ke Reinaldo de Elias.
Namun bukan berarti PBFC lolos ke final hanya karena keberuntungan. Persib gagal menyingkirkan PBFC karena mereka tak menyadari adanya celah di lini pertahanan PBFC yang menerapkan formasi dasar 3-5-2. Skema pertahanan PBFC yang menerapkan lima bek sejajar ini hanya berhasil tereksploitasi pada babak pertama saja.
Perbedaan skema serangan Persib pada babak pertama dan babak kedua memang begitu kentara. Hal ini dikarenakan Persib terlalu memaksakan serangan lewat sisi kanan pada babak kedua. Pada babak pertama pun demikian, hanya saja skema Persib tersebut gagal dan hanya menyeberang dari satu sisi ke sisi yang lain.
Nah, inilah yang sebenarnya membingungkan PBFC. Saat umpan silang dari kanan yang awalnya diarahkan untuk pemain yang ada di kotak penalti tidak sesuai rencana karena umpan terlalu tinggi atau terlalu jauh, lini pertahanan PBFC justru kerepotan. Saat bertahan, dua gelandang tengah PBFC (Patrich Wanggai dan Wahyudi Hamisi) selalu mengikuti arah bola sementara satu gelandang lain (Asri Akbar) turun ke kotak penalti untuk mewaspadai bola liar atau masuknya gelandang serang Persib, Gian Zola, ke kotak penalti.
Secara teori, skema pertahanan PBFC ini bisa membuat PBFC tidak kalah jumlah pemain saat bertahan. Apalagi Asri Akbar cukup aktif melindungi area tengah kotak penalti. Kekuatannya adalah di sisi sayap, Diego Michiels dan Rizky Syawaluddin tidak perlu khawatir andai ia dilewati karena terdapat Dirkir Glay (di kanan) dan Kunihiro Yamashita (di kiri) untuk mem-backup mereka.
Ilustrasi ketika Persib melakukan serangan
Namun skema ini berantakan ketika Persib (secara tidak terencana) berhasil mengubah serangan dari satu sisi ke sisi lainnya. Pada babak pertama, yang terjadi adalah serangan di sisi kanan pindah ke sisi kiri, dan di sisi kiri akhirnya tercipta beberapa peluang dari Atep. Hal ini terjadi atas ketidaksiapan tiga gelandang PBFC menghadapi perubahan arah serangan.
Disebut tidak terencana karena pada babak kedua skema ini tidak terjadi kembali. Umpan-umpan silang Persib dari satu sisi mulai "terarah" ke mulut gawang. Sementara duet Glay-Latief-Yamashita begitu tangguh dalam duel-duel udara, terlebih "hanya" menghadapi Matsunaga yang tak memiliki postur tubuh ideal menghadapi tiga bek PBFC. Babak kedua, serangan Persib mulai monoton.
Selain mulai monotonnya serangan Persib, faktor kondisi fisik kedua kesebelasan yang mulai menurun menjadi salah satu faktor penyebab serangan Persib mulai tumpul. Febri Hariyadi misalnya, mulai sering kehilangan bola saat menggiring bola. Padahal serangan sayap merupakan skema utama serangan Persib.
Kondisi fisik yang menurun tentu menyebabkan konsentrasi para pemain yang juga mulai kehilangan fokus. Pada gol PBFC yang diciptakan Dirkir Glay, terlihat para pemain Persib salah antisipasi karena Glay mampu menyambut sepak pojok dengan bebas. Bahkan tak hanya Glay, Reinaldo yang berada di depannya pun berdiri cukup bebas. Satu gol inilah yang memaksa laga harus diakhiri lewat adu penalti.
Komentar