Oleh: Andi Muhammad Ridha
Setelah berhari-hari menekuni rutinitas, entah bekerja atau bersekolah, apa yang Anda rencanakan pada akhir pekan? Bagi beberapa orang, menyaksikan pertandingan sepakbola pada akhir pekan menjadi suatu kewajiban. Melewatkan satu saja pertandingan klub favorit hanya akan memberikan hukuman untuk diri mereka sendiri. Penyesalan.
Lalu bayangkan tiba-tiba pada suatu akhir pekan, tidak ada pertandingan sepakbola dari klub favorit mereka. Anda akan melihat wajah merana mereka, sekalipun mereka sedang menghabiskan malam akhir pekannya di tempat wisata manapun. Anda melihat fisik orang tersebut ada di sana, tetapi pikirannya melayang-layang di stadion sepakbola. Dia sedang menyaksikan pemain entah nomor punggung 7 atau 10 sedang berdansa dengan bola.
Hari Senin pun datang. Anda sedang bekerja di kantor. Lalu kawan Anda datang berkeluh kesah tentang keputusan wasit pertandingan semalam. Sumpah serapah, makian, dan kutukan ia lontarkan karena emosi. Lalu dengan wajah tak acuh sambil masih menatap layar komputer, Anda hanya berkata, “Kan cuman bola doang. Serius amat.”
Nah, orang seperti Anda (yang meremehkan pertandingan sepakbola), saya sebut sebagai apatis pertandingan bola. Apatis pertandingan bola bagi saya muncul dengan alasan yang sama dengan orang apatis politik; karena tidak mengerti apa pentingnya/menariknya kedua hal tersebut.
Para apatis pertandingan bola hanya menganggap sepakbola hanya sekedar permainan. Tidak penting berapa skor pertandingan, dan kegiatan menyaksikan pertandingan sepakbola hanya akan membuang waktu dua jam hidup yang berharga. Bagi para penggemar sepakbola, kalimat tersebut adalah kalimat yang aneh. Sepakbola lebih dari sekedar pertandingan itu sendiri.
Anda, para apatis pertandingan sepakbola tidak mengerti (atau mungkin belum paham?), bahwa alasan untuk menyisakan waktu selama dua jam untuk melihat pertandingan adalah cinta. Tidak ada alasan lain, dan memang terkadang untuk jatuh cinta kepada sesuatu, seseorang tidak memerlukan alasan sama sekali.
Pada saat pertandingan sepakbola Tim Nasional Indonesia, Anda melihat orang berbondong-bondong datang untuk menonton di stadion. Beberapa hari sebelumnya, saat loket pembelian tiket pertandingan baru buka esok hari, Anda sudah bisa melihat kasur yang telah dibawa oleh mereka untuk tidur dan mengantri di sana. Atau kalau perlu tanpa kasur, mereka akan tetap tidur di sana hanya untuk mengantri agar tidak kehabisan tiket.
Anda mungkin sudah bisa menganggap itu adalah hal normal. Cinta tanah air, nasionalisme. Tetapi setelah itu, saat seragam merah-putih berganti menjadi seragam klub masing-masing pemain, cinta pun berubah namun rasa bagi tiap suporter tetap sama. Kecintaan terhadap masing-masing klub pun berbuah pertikaian antar suporter. Sudah berapa kali Anda melihat berita tentang pertikaian tersebut di Indonesia?
Sepakbola tentu menghasilkan persaingan. Persaingan antar klub tentu menghasilkan persaingan antar suporter. Tetapi, Anda mungkin belum tahu persaingan antar suporter bukan cuman tentang persaingan antar klub. Ada faktor lain, seperti faktor kelas sosial, agama, politik, ekonomi, dsb.
Kecintaan terhadap sepakbola, persaingan, dan faktor-faktor lain itu yang membuat olahraga ini kian besar. Contohnya pertandingan Old Firm Derby, yang membawa faktor agama antara Glasgow Rangers yang mewakili agama Protestan dan Glasgow Celtic yang mewakili agama Katholik. Derby Della Madoninna, antara AC Milan—menurut media—mewakili pendukung politik berpaham sayap kiri sedangkan Internazionale Milan mewakili pendukung politik sayap kanan.
Anda juga mungkin belum tahu, di Jerman, ada suatu pertandingan bernama Revierderby, pertandingan antara Borussia Dortmund dan Schalke 04. Di sana, para suporter Dortmund lebih memilih menyebut kata “Herne-west” untuk menyebutkan kota Gelsenkirchen, kota asal klub Schalke. Herne adalah kota kecil di timur Gelsenkirchen.
Sedangkan suporter Schalke lebih memilih menyebut kata “Lüdenscheid-north” dibanding menyebut kota Dortmund. Lüdenscheid adalah kota kecil yang berada di selatan Dotmund. Bayangkan ketika suporter Persija tidak mau menyebut kata “Bandung”.
Di Spanyol, pertandingan El Clasico antara Real Madrid dan Barcelona bukan sekedar pertandingan antar dua klub terbesar di sana. Anda mungkin tidak tahu bahwa pertandingan itu juga telah bertahun-tahun membawa permasalahan politik antara Catalonia yang diwakili oleh Barcelona dan Castilla yang diwakili oleh Real Madrid.
Alasan kedua pihak saling membenci? Pada tahun 1936-1939, terjadi perang saudara Spanyol antara kaum Nasionalis yang dipimpin oleh Francisco Franco dan kaum Loyalis yang dipimpin oleh Presiden Manuel Azana dari Republik Spanyol Kedua.
Saat perang terjadi, Catalonia berperang bersama dengan dengan kaum Republikan (Loyalis) agar mereka memperoleh otonomi. Namun, Franco berhasil memenangkan peperangan. Spanyol pun harus hidup dalam masa pemerintahan diktator Franco. Karena Franco merupakan penggemar klub Real Madrid, para rakyat Catalonia pun melampiaskan kekesalan mereka terhadap kekalahan terhadap perang tersebut melalui klub Barcelona.
Lalu bagaimana mereka yang nonton bareng pertandingan klub-klub liga yang berasal dari luar Indonesia di kafe-kafe saat tengah malam? Alasannya, tetap saja cinta. Mereka jatuh cinta saat mereka pertama kali melihat pertandingan klub-klub itu. Cinta pandangan pertama. Apa Anda perlu penjelasan tentang cinta pandangan pertama?
Semua itu merupakan bentuk kecintaan terhadap olahraga ini. Ketika jatuh cinta, sebutlah seperti seorang laki-laki yang jatuh cinta kepada seorang gadis, Anda akan temukan orang-orang yang bingung mengapa laki-laki itu jatuh cinta kepada gadis itu. Orang-orang itu akan menganggap laki-laki itu sebagai orang yang aneh.
Anda mungkin tetap tidak peduli dengan pertandingan sepakbola. Anda mungkin tetap menganggap aneh orang-orang yang mengeluarkan uang dan waktu hanya untuk menyaksikan pertandingan bola sekalipun kami telah menjelaskan mengapa kami mencintai olahraga ini. Tidak apa-apa, karena bagi kami, sepakbola bukan sekedar pertarungan 90 menit di atas lapangan. Ada hal yang lebih menarik dari itu yang membuat kami, para pecinta sepakbola, mencintai olahraga ini.
Penulis adalah seorang siswa SMA di salah satu sekolah di Makassar. Biasa berkicau di @rdh289
Tulisan ini merupakan kiriman pembaca lewat rubrik Pandit Sharing. Segala isi dan opini yang ada di dalam tulisan merupakan tanggung jawab penulis
Komentar