Cerita Pendek Karya Raudal Tanjung Banua
Percayalah, jika ada yang serempak mendatangimu dengan gemuruh degup di dada, koor nada, tempik-sorak dan harapan kemenangan, itu hanya ada dalam perjumpaan emosional dengan kota-kota sepakbola—satu di antaranya mungkin kota kelahiranmu. Jangan cari di dalam peta. Cari ia di daftar liga dan medan laga. Di sanalah kotamu mungkin ada, tegak berjaga dengan klub kecintaan seluruh warga kota kelahiran. Atau kota di mana engkau pernah tinggal, tempat kakek-buyutmu berasal, lalu merasa memilikinya dalam ikatan batin tak terkatakan, sebagaimana kota itu dengan ikatan kasih mengasuh klubnya, dan klub itu pun membela kota yang mengasuhnya. Lengkap dengan umbul-umbul, tentu, semboyan, mars, coretan di dinding, grafiti liar; lihat, fans fanatik berbaris di jalan-jalan, raung knalpot berkumandang!
Lupakan para petinggi PSSI yang dengan nafsunya sendiri tak tahu cara mencintai. Lupakan FIFA yang sedari dulu mabuk kata sanksi tapi tak pernah benar-benar sangsi. Lupakan pula gelanggang-gelanggang besar tempat berpacu: dunia lima benua, Asia Raya bahkan Asia Tenggara yang terbuka di depan mata. Cukup lihatlah ke dalam, ke kota-kota kecil tanah airmu yang tenteram, maka akan terlihat bahwa gairah sepakbolanya tak pernah padam. Dalam musim-musim yang tak pasti memberi janji, kota-kota itu tetap hidup dalam tempaan keringat, semangat dan kaki-kaki yang berlari.
Ya, dalam musim kompetisi yang serba sulit dan menyedihkan ini, kota-kota itu tetap datang bertandang. Dengan segala pilihan yang kita punyai, ia bisa datang lewat siaran langsung televisi, radio atau terbaca di pojok arena surat kabar esok hari. Atau sesekali, bertandanglah ke stadion kotamu, simak gemuruh suara-suara. Terompet dengan nada terseret-seret, lagu-lagu “kebangsaan” sebuah kota, yel-yel kemenangan dan kekalahan, sama saja; akan selalu ada kubu yang bernyanyi dan kubu lain meradang dalam caci-maki. Biarkan, itu atraksi yang membebaskan di tengah tekanan politik yang memuakkan. Sebuah kota butuh kanal. Cukuplah kali dan selokan-selokannya yang mampet dalam kepungan musim hujan. Dan posisi nanti bisa berganti jika papan skor berbalik arah. Yang bernyanyi akan ganti meradang dan yang meradang akan mengacungkan kepal tangan ke langit tinggi. Begitu seterusnya. Tapi sebentar akan tenang kembali. Semua hanya butuh ruang, dan itulah yang mereka dapatkan.
Jadi, sebuah kota dengan klub sepakbola, adakah mimpi kelewat mahal? Adakah itu hasrat kegenitan semata dari pengelola kota yang mencari jalan pintas memunculkan kotanya ke tengah percaturan? Aku tak bisa memberi jawaban soal ini, karena dalam banyak kasus memang sering dijumpai hal-hal tak semestinya. Kocek APBD yang terkuras untuk membiayai tim, gaji pelatih, transfer pemain. Sponsor mendadak kabur atau tak ada sama sekali. Prestasi selalu berhenti di tepi-tepi. Fans fanatik mengamuk, merusak rambu dan pertokoan, saling lempar dari kereta api. Tapi tak pula kita hendak menutup mata betapa kota-kota sepakbola memiliki semacam ruang publik, tempat bermain bersama setiap orang dalam ikatan yang tak akan terjelaskan dengan apa pun. Tanpa harus sampai pada titik fanatik, tiap kali nama klub sebuah kota disebut, seseorang yang punya ikatan—dalam bentuk apa pun—ajaib, akan merasa dicubit. Mungkin ia akan segera ambil posisi di depan tivi yang menayangkan siaran langsung pertarungan klub itu, atau sejak sejauh hari menandai agenda bahwa ia akan bergabung ke stadion kota tercinta. Sebagian lain, setidaknya sekali seumur hidup akan berdoa buat kemenangan salah satu klub yang diam-diam dibelanya….
Begitulah aku rasakan tiap kali menonton televisi yang menayangkan pertandingan bola dalam negeri. Selalu ada perasaan ajaib datang menghampiri. Berbeda jika menonton liga-liga benua seberang yang hanya menyeretku pada aktor-aktor lapangan, menonton liga tanah air (yang kini bercabang dua) aku lebih banyak mengalir bersama kota-kota yang mengusungnya. Bahkan tak jarang jika aku menyempatkan diri datang ke stadion kota kecilku yang baru selesai dibangun di tengah sawah, dalam kepungan kebun tebu, aku pun tak sepenuhnya larut dalam gocekan bola semata, namun terseret, dekat atau jauh, dari kota ke kota. Dan benar, apa yang serempak mendatangiku dengan gemuruh degup di dada, koor nada, tempik-sorak dan harapan kemenangan, adalah kota-kota sepakbola!
***
Kupicingkan mata, maka kota-kota kecil sepakbola muncul seperti sedang mengambil absen dalam kepala. Ketika beberapa klub kutandai dengan penekanan yang khusus—semacam upaya mencari ikatan batin atau apa—maka aku akan terdampar ke sebuah kota yang tak terduga. Suatu sore, peluit wasit melengking membuka pertandingan Persibo vs Persiba di Stadion Sultan Agung. Sebagaimana tadi kusebutkan, stadion itu berada di tengah sawah arah ke reruntuhan Kraton Mataram Kuno di Plered, Bantul. Selain dikepung kebun tebu, jalan ke stadion diteduhi barisan pohon jati. Aneh, ketika Samsul Arif berkejaran dengan Ugik Sugiyanto dan kawan-kawan, diiringi yel-yel Boromania dan Paserbumi, ingatanku justru melayang ke timur seolah menumpang selembar daun jati.
Ya, bersama ingatan yang tak lekang aku masuki kota Bojonegoro, setelah perjalanan panjang menyusuri hamparan pohon jati dari Ngawi, ke punggung Pegunungan Kendeng, sampai di Padangan dan Kalitidu. Kumasuki jalannya yang lebar, bersisian dengan rel kereta api jalur Pantura yang sesekali menderu sampai jauh. Tak jauh dari gerbang kota terdapat sebuah terminal yang gampang tergenang di musim hujan. Di sana aku pernah turun, lalu menyambung perjalanan ke salah satu sudut kota, ke tempat paman istriku tinggal. Paman itu mantan seorang pamong, pindahan dari Kudus bertahun-tahun lalu, namun merana di masa tua. Semua harta bendanya, termasuk entah berapa tumpak kebun jati, dijual oleh anak angkatnya. Tinggallah sang paman di sebuah rumah sederhana di sudut kota, namun ia tetap pribadi yang hangat sehingga ajaib aku merasa punya ikatan batin dengan kota yang ditinggalinya. Sejak itu, jika kudengar atau kubaca Persibo berlaga, pikiranku dengan sendirinya akan berpihak, disadari atau tidak. Bahkan ketika kini klub itu bertandang ke kotaku sendiri, aku merasa tak tahu hendak mendukung siapa.
Begitu pula ketika aku menonton Arema vs Semen Padang di layar kaca, yang pertama-tama muncul bukan persoalan kalah-menang, tapi ingatan akan kedua kota yang lama kutinggalkan. Entah kenapa, Arema mengingatkanku pada patung Chairil Anwar di sebuah perempatan. Surprise melihat patung itu pada suatu hari menjelang senja, aku nyaris berteriak, “Malang satu-satunya kota yang punya patung si Binatang Jalang!”
“Tapi kenapa wajahnya bopeng-bopeng, Pa?” tanya anakku yang duduk di bangku SD, spontan, setelah ia merasa sia-sia mendapat sesuatu yang menarik dari patung itu. Ragil, teman yang memilin-milin rambut keritingnya mengejapkan sebelah mata lalu bercerita tentang kenapa patung itu kurang proporsional. Itu tak lain lantaran ia jadi rebutan beberapa partai di Kota Malang, di antaranya PSI dan PNI—keterangan yang tentu juga tak menarik bagi bocah SD. Tapi, bagiku tak ubahnya PSSI yang bopeng jadi rebutan!
Tak jauh dari patung, terdapat kedai es krim “Oen” dengan bangunan tua bercat putih susu dan coklat tua. Ke sana kami menuju, bertemu kawan lain, Didin dan Anan yang baru datang dari Kepanjen. Sambil menikmati es krim yang dihidangkan dalam wadah antik, aku tanyakan pada Didin apakah ia warga Arema atau Persema.
“Yang jelas warga Nahdliyin,” katanya kalem.
“O, berarti pendukung MU,” kataku. Kami tertawa. Barulah ketika aku diajak ke Kepanjen dan mampir di Kanjuruhan, aku paham betapa tak mudah menjawab pertanyaanku di kedai es krim tadi. Sebuah klub di sebuah kota, kau tahu, tak hanya milik warga setempat, melainkan semua orang di sekitarnya. Organisasi Aremania membuktikan itu. Berapa banyak para pecinta Arema yang menemukan ruang tamasya di klub Singa Biru? Berapa banyak yang menggantungkan hidup dari penjualan mercandhise, kaos dan bendera? Ketika Kabupaten Malang membangun klub sendiri yang bermarkas di Stadion Kanjuruhan, dan pengurus pun menempuh jalan berbeda dengan bergabung ke satu liga, bagaimanakah publik menyikapi? Adakah keterpecahan dukungan atau bahkan psikologis atas kota kesayangan? Aku tak tahu.
Atau mungkin satu hal yang biasa, sebagaimana para pemain datang dan pergi? Bukankah di tiap penghujung musim, ada banyak pemain yang bertukar tempat, berpindah klub? Mereka berpindah dari satu kota kecil ke kota kecil lain, seperti Kenji Adachihara dari Bontang FC ke Persiba Balikpapan, I Made Wirawan dari Persela Lamongan ke Persiba, atau Zulham Zamrun dari Persela ke Mitra Kukar. Ada dari kota besar ke kota kecil sebagaimana Okto Maniani dari Sriwijaya FC ke Persiram Raja Empat. Ada dari kota kecil ke kota besar seperti Egi Melgiansyah dari Persijap Jepara ke Pelita Jaya atau Fabiano R. Deltrame dari Persela ke Persija. Tidak jarang pemain luar pulang ke negaranya dan bomber lain datang, sebagian dikontrak klub dari negara lain. Bagaimanakah para pemain itu menukar pembelaan, dari klub yang dulu ia bela mati-matian, kemudian ditinggalkan, seolah sekadar berbalik badan?
Ah, semua hanya permainan semusim, barangkali itulah jawabannya. Tapi entah kenapa hati kecilku menganggap tak sesederhana itu. Bagiku selalu ada terasa yang hilang tiap kali seorang pemain pergi, dan tidak cepat merasa tergantikan tiap kali pemain lain datang. Aku seumpama anak laki-laki kecilku yang hatinya rawan untuk soal-soal semacam ini. Dia pernah sangat sedih memikirkan ketika Fortune Udo harus hengkang dari Persiba, menyeberang ke Vietnam. Dia pernah memikirkan bagaimana Markus Horison bisa menghadapi pertemuan Persib dengan PSMS, antara klub lama dan klub barunya? Bagaimana pula Gonzales dan Eka Ramdani mengisi hari-harinya dari Bandung yang hiruk ke Samarinda yang relatif sepi?
Lama kemudian kami—aku dan anakku yang sudah akan meninggalkan bangku SD-nya—menyadari bahwa sepakbola tak ubahnya pabrik yang didirikan di suatu tempat dan karyawannya datang dan pergi, jika perlu pabriknya sendiri bisa berpindah tempat. Dan sebagaimana pabrik, ia terbuka dimasuki siapa pun tenaga yang dianggap lebih baik. Tak peduli “pribumi”, asing atau naturalisasi, semua bisa bersaing sejauh perusahaan butuh. Dan boleh jadi pula suatu ketika perusahaan terbelit hutang, pailit dan para karyawan lepas tunjangan bahkan tak makan gaji. Kita baru saja merasakan sedih mendalam atas kematian Diego Mendieta, pemain perantau dari Paraguay, yang gajinya tertunggak di Persis Solo. Tentu itu hanya satu contoh yang menyedihkan. Masih banyak kesedihan lain yang disurukkan di berbagai tim, tak pandang klub besar atau kecil. Itu sebuah resiko. Maksudku, sepakbola adalah industri, dan sebagaimana industri yang bertumbuh tak hanya di kota besar, kota-kota kecil pun tak luput tersentuh. Lalu, masihkah ia menyisakan ruang piknik bagi segenap warga kota jika aroma industri lebih mengemuka, juga tangan panjang kekuasaan?
Sekali lagi tak bisa kujawab.
bersambung ke halaman selanjutnya
Komentar