Sejak ditinggalkan Miralem Pjanic ke Juventus, kedalaman lini tengah AS Roma mulai dipertanyakan. Trio lini tengah Roma sejauh ini berharap kepada Daniele De Rossi, Kevin Strootman dan Radja Nainggolan. Roma di bawah arahan Luciano Spalletti sejauh ini memakai formasi yang berbeda-beda. Ia pernah menggunakan formasi 4-3-3 yang bertransformasi menjadi 4-2-3-1 atau sebaliknya. Sementara pada beberapa pertandingan Serie-A 2016/2017 akhir-akhir ini, Spalletti biasa menerapkan formasi 3-4-2-1 yang bertansformasi menjadi 3-4-1-2 atau sebaliknya.
Tapi memakai apapun formasinya, Spalletti jelas mengandalkan mobilitas De Rossi, Strootman dan Nainggolan di lini tengah. De Rossi menjadi gelandang yang fokus menjaga kedalaman pertahanan atas kemampuan bertahannya yang kuat. Ia juga bisa menjadi seorang regista ketika Roma berada di dalam mode menyerang. Tugasnya yaitu memperingan pekerjaan Strootman yang menjadi playmaker untuk melayani lini serang kesebelasannya. Sementara Nainggolan difungsikan menjadi trequartista ketika menyerang. Tugas utama ketiga gelandang itu menjadi penentu serangan yang mengalirkan bola ke pada salah satu pemain sayapnya.
Pelayanan mereka sangat memudahkan wing-back atau penyerang kedua (second striker) yang melebar ke sisi lapangan di dalam peran salah satu dari Mohamed Salah, Diego Perotti atau Stephan El Shaarawy. Ketiganya memiliki kecepatan dan dribel di atas rata-rata yang menunjang untuk bergerak ke sisi lapangan. Maka dari itu Spalletti sering menginstruksikan gelandangnya melepaskan umpan-umpan jauh ke kiri atau kanan. Di area tersebutlah bola bisa dikejar winger atau penyerang pendukungnya dan menunjukan kreativitasnya di sisi lapangan.
Sisi lapangan, terutama di sepertiga akhir, merupakan salah satu ruang paling sulit untuk menguasai bola. Tapi para penyerang kedua Roma memiliki kemampuan menguasai bola di area tersebut. Kemudian hasil kreativitas Roma di sisi lapangan bisa diselesaikan Edin Dzeko sebagai predator di dalam kotak penalti lawan. Taktik seperti ini mengingatkan kepada sistem pohon natal Carlo Ancelotti ketika masih menukangi AC Milan. Maka bukan tanpa alasan jika De Rossi, Strootman dan Nainggolan merupakan faktor penentu di dalam permainan Roma.
Skuat itu memiliki gelandang yang bisa memecahkan kebuntuan mencetak gol seperti Nainggolan. Gelandang produktif membuat Roma semakin dekat dengan interpretasi di dalam suatu pertandingan sepakbola, yaitu mencetak gol. Dan di sisi lain, ketiga gelandang Roma memiliki kemampuan bertahan yang sangat kuat. Roma pun merupakan kesebelasan kedua yang paling sedikit kebobolan. Kesebelasan berjuluk I Lupi (Si Serigala) itu cuma kebobolan 26 gol dari 30 giornata Serie-A 2016/2017. Tapi kendala besar bagi kedalaman di lini tengah Roma saat ini.
Transfer Januari Kurang Memperdalam Lini Tengah AS Roma
Darah muda seperti Gerson dan Leandro Paredes menghadapi masalah yang cukup besar di kedalaman lini tengah Roma. Roma membutuhkan gelandang bertenaga ekstra ketika salah satu di antara De Rossi, Strootman atau Nainggolan absen. Apalagi pada saat ini De Rossi pun sedang menderita cedera punggung saat membela Italia pada jeda internasional lalu. Minimal Spalletti membutuhkan gelandang pengganti Seydou Keita yang lebih segar.
Pada bursa transfer Januari lalu pun beberapa nama pemain tengah seperti Jack Wilshere, Lorenzo Pellegrini, Lucas Torreira dan lainnya dikaitkan dengan Roma. Bisa dibilang ketiga gelandang yang disebutkan itu masuk ke dalam pemain keinginan Spalletti, yaitu enerjik, terampil menguasai bola dan mampu menjembatani pertahanan dan serangan kesebelasannya. Sebab taktik Spalletti menciptakan sebuah dinding kuat di lini tengah sebelum mmengalirkan bola ke sayap.
Namun Roma justru melakukan perjudian dengan mendatangkan Clement Grenier dari Olympique Lyonnais. Memang, rekam jejak Grenier adalah gelandang serang serbaguna dan berpengalaman di Ligue 1 Prancis. Ia juga terampil ketika menggiring bola dan berbakat sebagai eksekutor tendangan bebas yang menjadi berita baik setelah Roma khilangan Pjanic. Tapi Grenier memiliki keraguan tersendiri karena belum pernah bermain di luar Ligue 1. Maka dari itu adaptasinya dengan Serie-A cukup lambat.
Faktor yang paling membuat Grenier semakin tidak meyakinkan adalah riwayat cederanya. Grenier hampir tidak pernah menjadi pemain utama Lyon sejak pertengahan 2014 karena dikutuk cedera otot. Maka dari itu hampir dari segala hal statistik Grenier tiga musim lalu lebih rendah daripada Paredes.
Grenier juga tidak terlalu bagus dalam tugas bertahan. Rataan tekel bersih terbaiknya hanya ketika memperkuat Lyon pada Ligue 1 2013/2014. Pada musim itu rataan tekelnya cuma 1,8 perlaga. Rataan tekel itu tentu kalah jauh dari Strootman yang bisa melakukan 2,9 tekel bersih di setiap pertandingan musim ini.
Kendati demikian, Grenier bisa memberikan beberapa solusi baru di dalam serangan Roma. Ia bisa menutupi peran Nainggolan jika pemain tersebut absen. Tapi Grenier tetap tidak memenuhi kedalaman lini tengah Roma karena tidak cocok mengisi peran De Rossi atau Strootman. Bahkan posisi Nainggolan pun memiliki dua peran, yaitu baik ketika menyerang maupun bertahan. Tapi setidaknya solusi yang sudah diberikan Grenier adalah menyumbangkan satu asis ketika Roma melawan Palermo pada 12 Maret lalu. Namun sebetulnya ada banyak gelandang yang lebih baik di luar sana daripada Grenier. Baik soal kreativitas, kualitas dan bahkan keduanya.
Tapi pada bursa transfer Januari lalu, memang tidak ada satu pun gelandang berkualitas yang ingin didatangkan secara pinjaman kepada Roma. Maka diharapkan pada bursa transfer musim panas nanti, Direktur Olahraga baru Roma, Ramon Rodriguez Verdejo alias Monchi, tahu gelandang seperti apa yang diinginkan Spalletti. Tidak hanya mampu bersaing di lini tengah, namun bisa menjadi investasi jangka panjang di dalam ketiadaan De Rossi, Strootman, maupun Nainggolan. Sebab taktik Spalletti harus membangun sebuah benteng di sekitaran lini kedua tersebut. Apalagi ada setumpuk uang di Liga Champions musim depan yang harus dijalaninya.
Sumber: Football-Italia, Whoscored.
Komentar