Oleh: Mukhammad Najmul Ula
Ada satu fakta unik yang melekat pada diri Presiden Joko Widodo namun banyak orang belum menyadarinya. Ia adalah satu-satunya pemimpin eksekutif pusat (baca: presiden) yang pernah mengemban posisi pemimpin eksekutif Daerah Tingkat I (baca: gubernur), juga pemimpin eksekutif Daerah Tingkat II (baca: walikota). Itu berarti, kariernya mulus melewati tanjakan-tanjakan terjal. Sebesar apapun kharisma Soekarno atau kedigdayaan Soeharto, beliau berdua belum pernah jadi gubernur atau walikota.
Joko Widodo pertama kali terlibat dalam politik praktis saat Surakarta—kampung halamannya-menggelar pemilihan kepala daerah pada 2005. Waktu itu ia sudah dikenal sebagai pengusaha muda pengekspor mebel, sehingga cukup menggiurkan bagi partai-partai pengusung.
PDIP yang baru saja kalah pada pemilihan legislatif setahun sebelumnya memberikan tumpangan baginya untuk maju sebagai calon walikota. Pilihan PDIP tepat. Sosok kurus kecil yang (kata orang) tak punya potongan jadi kepala daerah itu menjadi aktor politik paling diperhitungkan bahkan sebelum pemimpin besar partai itu (maaf) meninggal dunia.
Akibat dari pencapaiannya selama memimpin Surakarta, dirinya seolah menjadi role model walikota seluruh Indonesia. Rendah hati, merakyat, anti-korupsi, sederhana, dan suka blusukan adalah sedikit dari banyak pujian pada Jokowi yang dilayangkan oleh media massa.
Sekeras apapun para pengkritiknya mengatakan Jokowi itu pencitraan, PDB Surakarta naik dua kali lipat ketika masa jabatan pertamanya berakhir. Solo Technopark dan Teaching Factory untuk masalah ketenagakerjaan juga berhasil dibangun. Jangan lupakan pula kisah nyata tentang acara jamuan makan 55 kali yang membuat hati para PKL luluh untuk direlokasi. Surakarta, The Spirit of Java, benar-benar berkilau dibawah kepemimpinannya.
Singkat cerita, ibukota negara memanggilnya. Dirinya bersama Basuki Tjahaja Purnama mendapat misi sulit untuk menyejahterakan dan menenteramkan rakyat Jakarta. Menghadapi segudang permasalahan di ibukota negara, Jokowi terlihat mampu mempertahankan citranya.
Alih-alih dikritik karena belum jua mengurai kemacetan dan mengurangi banjir, dirinya malah dielu-elukan menjelang pemilihan presiden. Ketika pemimpin besar PDIP mengutusnya di kontestasi politik 2014, ia sudah mendapatkan popularitas melebihi rivalnya. Bila dihitung, Jokowi menjadi Walikota Surakarta selama satu kali periode plus dua tahun periode kedua (2005-2010 dan 2010-2012).
Dilanjutkan dengan tugas sebagai Gubernur DKI Jakarta selama dua tahun (2012-2014), lalu sebagai Presiden Republik Indonesia mulai 2014 hingga sekarang. Jika diibaratkan dengan mendaki ketinggian, maka Jokowi terlebih dahulu singgah di titik istirahat pertama, kemudian titik istirahat kedua, dilanjutkan dengan perjalanan menuju puncak. Itu artinya, Jokowi hanya membutuhkan waktu sembilan tahun (2005-2014) untuk sampai ke titik tertinggi gunung politik Indonesia.
**
Tempo hari seorang kawan bertanya, “Jika Ahok sering disejajarkan dengan Jose Mourinho berkat mulut harimaunya, adakah sosok yang menyerupai Jokowi di Liga Inggris sana?”. Menyejajarkan dua aktor berlainan profesi kadang terasa sulit, namun juga seringkali mudah dilakukan.
Studi komparasi akan menemui jalan terjal mengingat aktor sepakbola dan aktor politik mempunyai kepentingan berbeda, dan belum tentu semua pembelajar ilmu pengetahuan memahami dua bidang ilmu tersebut (sepakbola dan ilmu politik). Akan tetapi, kita bisa saja menemukan diri kita menulis mengalir begitu saja membandingkan seorang pelatih di divisi bawah Inggris dengan salah satu patron politik Indonesia.
Tentu saja, kita harus bersiap “mencari kesamaan yang berserakan diantara fakta-fakta sampah” dari aktor-aktor yang akan kita pilih. Saya harus menelusuri lorong-lorong di pikiran saya terlebih dahulu sebelum mengeluarkan balasan, “Njenengan harus mencari data tentang sebuah klub di pantai selatan Inggris. Lihat kompetensi pelatihnya dan prediksikan pula masa depannya.”
Tentu saja ada beberapa klub sepakbola profesional di Inggris Selatan, seperti Southampton, Bournemouth, atau Portsmouth. Klub yang disebut kedua adalah preferensi saya, terutama kiprah pelatihnya. AFC Bournemouth bermarkas di tepi pantai selatan Inggris, dengan Eddie Howe pemandu mereka promosi dari League One dan Divisi Championship.
Eddie Howe mengawali petualangannya di Liga Primer 2015/16 dengan status salah satu dari tiga pelatih pribumi yang sanggup bertahan dari pemecatan (dua lainnya adalah Alan Pardew di Crystal Palace dan Sam Allardyce di Sunderland).
Manajer paling muda di Liga Primer itu punya postur yang mengingatkan kita pada presiden Jokowi. “Saya punya keterbatasan dalam hal fisik: Cuma 5 kaki 11 inchi (sekitar 167,5 cm), yang berarti saya sangat kecil untuk ukuran bek tengah. Sangat menyulitkan. Bermain melawan para target man di kasta rendah sungguh alot, sehingga saya benar-benar dituntut bersikap diri dan bekerja keras."
"Tapi sekali kau menyadarinya, hal itu akan menjadi kebiasaan dalam hidupmu. Kau harus selalu memberikan upaya maksimal setiap harinya untuk membangun karier olahragamu,”. Presiden Jokowi sendiri bisa dikatakan sebagai presiden paling kurus serta paling kecil dalam riwayat kepresidenan negeri ini.
Kerja kerasnya membuahkan pengakuan dari publik Bournemouth. Ia menjadi legenda disana. Sangat disayangkan kariernya terhenti di awal usia 30-an karena rentetan cedera. Masa pensiunnya menjemukan sampai ia diminta mantan pelatihnya, Kevin Bond, untuk menjadi pemantau tim lawan.
Karier kepelatihannya menanjak demi sedikit, dari opponent scouting lantas menjadi asisten pelatih. Pemecatan pelatih kepala pada tahun baru 2009 membuatnya ditunjuk sebagai pelatih interim sebelum kontrak permanennya paten dua minggu kemudian. Sejak saat itu ia mulai melakukan apa yang juga Jokowi lakukan: membangun kotanya sendiri. Jokowi sebagai Walikota Surakarta dan Howe selaku pelatih Bournemouth.
Mengenai etos kerja Howe, Matt Ritchie punya pendapat tersendiri. Gelandang yang tiga tahun bekerja di bawah Howe itu menceritakan pengalamannya berlatih diawasi sang gaffer, “Segalanya tentang detail 100% detail. Kau akan memasuki lapangan dengan rencana matang di setiap pertandingannya. Bisa dibilang itu adalah Total Football jenis baru.“
Ia juga menambahkan, Howe selalu tiba di kompleks latihan pukul enam pagi guna mempersiapkan materi latihan hari itu. Jalannya sesi latihan pun ia rekam agar bisa mengevaluasi pergerakan pemain atau mengoreksi tindakan-tindakannya selaku manajer.
Sang kapten, Simon Francis, menekankan bahwa sang pelatih sangat menganggap penting sesi latihan.
“Dia ingin para bermain berpikir dan berbicara tentang sesi latihan. Setiap minggunya ia membawa sesuatu yang baru untuk dicoba. Banyak yang wajib kau lakukan sebelum mengaplikasikannya dalam pertandingan sesungguhnya,”. Kurang lebih sama seperti Jokowi sedang mem-briefing para aparatur sipil negara dalam meningkatkan pelayanan birokrasi bagi masyarakat.
Menariknya, kendati ia merupakan seorang Inggris tulen, Howe justru tidak dikenal sebagai pelakon pendekatan Inggris tradisional dalam permainan anak asuhnya. The Cherries dibimbingnya untuk bermain dengan bola-bola bawah, dengan beberapa pemain penggocek (bukan para penekel ulung) yang selalu menjadi andalannya.
Situs WhoScored pun menuliskan short passes dan possession football dalam kolom gaya bermain Bournemouth. Penggemar Liga Primer akan paham jika pendekatan Howe lebih mirip Brendan Rodgers ketimbang Tony Pulis.
Jika Jokowi sudah menerima predikat walikota terbaik dunia dari majalah Times, Howe juga telah menghiasi curriculum vitae dirinya dengan penghargaan Football League Manager of The Decade Award 2005-2015. Suporter Bournemouth mencatat ia menyelamatkan The Cherries dari jeratan degradasi pada musim pertamanya walau mengawali musim dengan poin minus 17.
Sempat menghabiskan waktu singkat di Burnley, ia kembali ke Bournemouth untuk membawa mereka promosi ke Championship Division dan Premier League. Bournemouth dan Howe kini diakui oleh para kolega berkat keteguhan mereka memeragakan permainan yang cair, menarik, dan indah disaksikan.
Pertanyaan pun mengemuka, jika Jokowi mendaki posisi presiden lewat Gubernur DKI Jakarta, apakah Howe juga akan menjalani karier serupa?
Kebetulan, ia sedang dihubungkan dengan potensi lowongan pekerjaan di salah satu klub raksasa ibukota. Klub itu sedang bersiap berpisah dari pelatih senior yang sudah bekerja disana lebih dari 20 tahun. Howe dirasa cocok mengambil alih kursi kepelatihan mengingat gaya bermain tim asuhannya “sebelas-dua belas” dengan klub ibukota bersangkutan. Diharapkan dengan naik tingkatnya level manajerial Howe, maka timnas Inggris juga bersiap menyambut nahkoda kapal baru.
Hanya saja, nasihat Pulis—manajer ortodoks Britania yang pernah mengasuh Howe- rasanya perlu didengar, “Jika dia meminta pendapatku soal pekerjaan di Tim Nasional, maka aku akan memintanya bertahan di Bournemouth. Aku tidak berpikir ia sudah siap. Ia butuh lebih banyak pengalaman."
"Akan ada banyak kesempatan baginya di masa depan tapi aku merasa harus menunggu lebih lama lagi.” Pulis menyarankan agar Howe bertahan beberapa tahun lagi di Liga Primer sebelum mengambil posisi lebih tinggi sebagai pelatih Tim Nasional.
Kita akan menantikan apakah ia akan ia mengambil alih kursi manajer di salah satu klub besar Inggris. Setelah kesuksesannya di Bournemouth, benarkah ia dirumorkan menjadi pelatih di ibukota negara? Akankah jalan kariernya akan menuju titik tertingi sebagai pelatih tim nasional Inggris?
foto: @premierleague
Penulis adalah mahasiswa yang menganggap dua hal paling menggairahkan di dunia adalah sepakbola dan ilmu politik. Bisa dihubungi lewat @najmul_ula
Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis lewat rubrik Pandit Sharing. Isi dan opini yang ada di dalam tulisan merupakan tanggung jawab penuh penulis
Komentar