Ada sebuah ungkapan seperti ini, Jika kamu melakukan apa yang biasa kamu lakukan, maka kamu akan mendapatkan yang biasa kamu dapatkan. Untuk memahami kalimat tersebut cukup sederhana, khususnya ketika kita merasa tidak puas dengan apa yang kita dapatkan. Sudah barang tentu kita harus melakukan sesuatu yang tidak biasa kita lakukan untuk mengubah apa yang biasa kita dapatkan.
Perjalanan Antonio Conte pada musim pertamanya di Chelsea cukup menggambarkan ungkapan di atas. Conte sukses membawa Chelsea juara Liga Primer Inggris 2016/2017 pada musim pertamanya, tak lepas dari keberaniannya untuk berubah. Pada satu momen, jauh sebelum Chelsea memimpin di puncak klasemen, kursi kepelatihan Conte sempat digoyang isu tak sedap karena rentetan hasil negatif. Isu pemecatannya berhembus kencang.
Saat itu Liga Primer baru berjalan enam pekan. Chelsea terlempar hingga peringkat ke-8 padahal tiga pekan sebelumnya mereka menduduki posisi kedua. Hal itu terjadi karena Chelsea tak menang di pekan keempat hingga keenam; ditahan imbang Swansea City (2-2) serta dikalahkan Liverpool (1-2) dan Arsenal (3-0).
Tony Pulis, manajer West Bromwich Albion, mengungkapkan Conte sempat khawatir akan posisinya ketika mendapatkan tiga hasil negatif tersebut. Pulis memang cukup dekat dengan Conte. Menurut Erwan Roberts, jurnalis Metro, Pulis sering mengundang Conte untuk minum anggur merah, termasuk sesudah Chelsea mengalahkan WBA untuk mengunci gelar juara Liga Primer.
https://twitter.com/GeoffShreeves/status/863164806383243265
"Saya sempat mengobrol dengannya sebelum pertandingan, dan ia sadar harus mengubah sesuatu pada awal musim karena jika tidak, dirinya bisa saja diganti [dipecat]. Jadi apa yang sudah ia lakukan sangatlah fantastis," ujar Pulis pada SkySports.
Usai dikalahkan Arsenal, Conte memang langsung mengubah formasi dasar 4-1-4-1 menjadi 3-4-3 pada laga berikutnya melawan Hull City. Skema 3-4-3 sebenarnya sudah dicoba saat menghadapi Arsenal pada babak kedua, bahkan sejak pramusim sudah disiapkan. Namun Conte baru benar-benar mempraktikkannya sejak menit pertama pertandingan saat melawan Hull.
Ternyata perubahan skema itu mampu mengubah nasib Conte. Hull ditumbangkan 2-0. Setelah itu, rentetan kemenangan diraih Chelsea, termasuk mengandaskan Manchester United 4-0, Everton 5-0, dan Manchester City 3-1. Total 13 kemenangan diraih secara beruntun, menyamai rekor kemenangan beruntun Liga Primer dalam satu musim yang sebelumnya dipegang Arsenal.
Perubahan skema yang dilakukan Conte dari 4-1-4-1 menjadi 3-4-3 lebih jauh mengubah peta persaingan Liga Primer. Kesebelasan lain pun mulai mencoba skema 3 bek, yang bahkan tak sedikit mengawalinya saat menghadapi Chelsea. Tak semua berhasil, namun skema 3 bek yang sempat dianggap strategi kuno kini menjadi lebih populer di Inggris, menggeser 4-2-3-1.
Skema 3 bek bukanlah hal baru bagi Conte. Juventus yang sukses tiga kali ia bawa juara Serie A Italia, tak lepas dari skema 3-5-2 yang diterapkan mantan pelatih AC Siena (sekarang bernama Robur Siena) tersebut. Walaupun begitu, ada sistem permainan yang berbeda antara 3-4-3 Chelsea dan 3-5-2 Juventus saat ditukangi Conte.
Namun jika melihat lebih jauh, Conte memang merupakan pelatih yang tak ragu melakukan perubahan skema untuk mendapatkan hasil yang tidak biasa. Padahal tak banyak pelatih atau manajer yang tetap mempertahankan filosofi bermainnya, dengan tanpa mengubah formasi dasar secara ekstrim, meski misalnya kurang bisa memberikan kesuksesan dari segi trofi.
Conte dalam perjalanan kariernya berkali-kali meninggalkan kenyamanannya bermain dalam satu skema tertentu. Di Chelsea, selain 4-1-4-1 dan 3-4-3, Conte juga kerap mengubah pola menjadi 4-4-2 di tengah pertandingan pada awal-awal musim (menduetkan Michy Batshuayi dan Diego Costa di depan). Di timnas Italia, ia bisa memakai formasi 4-3-3 atau 3-5-2. Di Bari dan Siena, ia bermain dengan skema dasar 4-4-2 hingga 4-2-4. Di Bari ia juga pernah bermain tanpa pemain sayap dalam skema 4-2-2-2. Di Juventus, awalnya ia bermain dengan 4-2-4, lalu mencoba 4-3-3, 3-5-2 saat mirroring menghadapi Napoli dan Udinese, hingga 4-3-1-2 di musim ketiganya bersama Juventus.
Formasi 4-3-1-2 sendiri merupakan bahasan dalam tesis yang Conte buat untuk mendapatkan lisensi kepelatihan UEFA Pro. Pada karya tulis ilmiah berisikan 38 halaman berjudul "Pertimbangan 4-3-1-2 dan Penggunaan Didaktik Video" itu, pelatih kelahiran Lecce ini membahas kekuatan dan kelemahan dalam formasi 4-3-1-2. Karenanya tak mengherankan saat ia memakainya di Juventus, ketika Juve nyaman bermain dengan 3-5-2, Juve tetap tampil dalam tingkat permainan tertinggi.
Bersambung ke halaman berikutnya, tentang filosofi Conte untuk tak ragu berubah
Komentar