Oleh : Jalu Rahman Dewantara
Sebagai suporter, menonton sepakbola di stadion merupakan kebahagiaan. Bagaimana tidak, di stadion inilah kita bisa merasakan langsung atmosfer sebuah laga. Tapi sungguh disayangkan, di Indonesia hal tersebut masih sulit didapat, terutama bagi para suporter difabel.
Difabel merupakan istilah yang digunakan untuk individu yang memiliki keterbatasan fisik, mental atau bahkan dua-duanya. Atas dasar pengertian tersebut, dan juga merujuk dari kata difabel yang jika di bahasa Inggris-kan memiliki arti differentially able, kita bisa menarik pemahaman bahwa kondisi mereka memang berbeda. Tapi meski begitu, hak mereka sebagai manusia tetaplah sama.
Khususnya dalam hal menonton sepakbola. Para suporter difabel tentu juga memiliki keinginan yang sama: Menyaksikan langsung tim idolanya berlaga. Namun hal ini sepertinya masih menjadi impian belaka, terutama di Indonesia.
Bagi suporter yang difabel secara mental, setidaknya masih bisa datang langsung ke stadion tanpa harus berwas-was diri. Akan tetapi cerita berbeda dialami suporter yang difabel secara fisik. Keterbatasan gerak, dan ketergantungan pada kursi roda atau tongkat bantu adalah alasannya. Ditambah, mayoritas stadion di Indonesia masih tidak ramah bagi orang-orang yang berbeda ini.
Minimnya akses untuk para suporter difabel pernah diungkapkan oleh Ketua Penyandang Cacat (Perpenca) Jember, Muhammad Zainuri Rofi’i. Zainuri mengungkapkan bahwa para suporter difabel takut untuk datang ke stadion karena merasa kurang akses. Dia juga meminta ada fasilitas di stadion yang memudahkan para suporter difabel.
Hal senada juga diungkapkan oleh Ketua Umum Persid Jember, Agus Rizki. Menurut Agus para suporter difabel ingin ikut menonton di tribun bersama suporter yang lainnya. Namun kondisi stadion masih belum bersahabat bagi mereka.
Lalu, bagaimana solusinya? Pengadaan fasilitas guna memudahkan para difabel adalah jawabannya. Bisa dikatakan, bahwa mayoritas stadion di Indonesia masih sangat minim bahkan tidak ada fasilitas khusus guna menunjang kemudahan akses para suporter difabel ini. Padahal, andai pengadaan fasilitas suporter difabel terwujud, maka efek positif akan dirasakan banyak pihak. Beberapa efek positif tersebut diantaranya:
Jumlah penonton meningkat
Dibangunnya fasilitas baru guna mempermudah akses bagi suporter difabel tentu akan meningkatkan minat para penonton “khusus” ini untuk datang ke stadion.
Meningkatnya jumlah penonton, meningkatnya pemasukan tim
Dengan makin banyaknya penonton yang hadir ke stadion, maka pemasukan tim dari sektor tiket juga makin meningkat.
Mewujudkan nilai kebersamaan di stadion
Dengan dibangunnya fasilitas penunjang bagi suporter difabel di stadion akan meningkatkan nilai kebersamaan antar sesama. Sekat penghalang antara penonton biasa dan khusus juga akan terkikis.
Meningkatkan kepercayaan diri suporter difabel suporter difabel
Dibangunnya fasilitas penunjang tersebut tentu akan meningkatkan kepercayaan diri para suporter difabel, karena mereka menjadi merasa dianggap. Meskipun dalam kesehariannya mereka memang telah dianggap, namun dengan dibangunnya akses penunjang ini menjadikan mereka merasa diperlakukan sama dengan yang lain.
***
Indonesia dengan Inggris
Miris memang melihat kenyataan bahwa suporter difabel di Indonesia seperti dianak-tirikan. Lebih menyedihkan lagi seperti tak dianggap. Padahal mereka juga warga negara yang memiliki hak yang sama. Keadaan serupa namun lebih baik pernah dialami oleh suporter difabel di Liga Primer Inggris (EPL). Meski mendapat predikat liga paling top di seluruh dunia, Liga Primer bukanya tanpa cacat.
Mungkin tidak banyak orang tahu, bahwa diskriminasi terhadap suporter difabel yang dilakukan oleh tim-tim Inggris sempat menjadi isu hangat. Salah satunya pernah dilakukan oleh Manchester United. Tepatnya pada 2014 lalu, tim berjuluk Setan Merah ini pernah hanya menyediakan tempat khusus bagi para difabel sebesar 43% dari kuota yang telah ditetapkan. Protes pun bermunculan.
Selain itu, hingga 2015 lalu, sebanyak 17 dari 20 kontestan Liga Primer belum memenuhi standar yang sesuai dalam hal fasilitas untuk suporter difabel (hasil investigasi BBC). Hal ini tentu mengundang keprihatinan banyak pihak.
Hingga pada akhirnya, pemerintah Inggris turun tangan. Pemerintah mengkritisi fasilitas dan sarana pendukung bagi suporter difabel yang tidak memadai. Menteri untuk para suporter difabel, Justin Tomlinson MP, berujar bahwa kekurangan itu dalam beberapa hal bisa diterima, namun dalam hal lain tidak bisa ditoleransi.
Menanggapi hal tersebut, pengelola Liga Primer tidak tinggal diam. Atas dasar kritik serta saran yang dilontarkan pemerintah, mereka akhirnya menanggapi pentingnya fasilitas untuk suporter difabel. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya pembahasan permasalahan fasilitas suporter difabel dalam pertemuan para pemegang saham di Liga Primer.
Pertemuan tersebut akhirnya melahirkan sebuah kebijakan baru, yaitu seluruh kontestan EPL harus meningkatkan fasilitas penunjang suporter difabel paling lambat pada Mei 2017.
Penentuan kebijakan yang dilakukan pengelola Liga Primer tersebut tidak hanya sebagai aturan belaka. Beberapa tim-tim EPL sudah berbenah. Pada Agustus 2017 mendatang, sebanyak 300 tempat duduk baru untuk suporter difabel akan selesai dibangun di Old Trafford, kandang Manchester United. Sejurus dengan hal tersebut, pada Mei ini Stadion Anfield, Liverpool juga mulai berbenah dengan menambah kapasitas untuk suporter difabel yang dulu 195 menjadi 250 lebih.
Melihat kondisi di Liga Primer sekarang, tampaknya Indonesia bisa mengambil pelajaran dan menerapkannya. Seperti yang sudah tertulis di atas, apa yang terjadi di Liga Primer sekarang tentu ada campur tangan dari pemerintah setempat. Hal ini menunjukkan bahwa peran pemerintah begitu penting. Tentu hal ini juga harus sesuai dengan aturan yang berlaku di Indonesia.
Tidak hanya memberlakukan kebijakan. Pemerintah juga harus memberikan aturan yang jelas terkait fasilitas yang perlu dibangun. Hal ini guna meminimalisir penyalahgunaan aturan, karena ada kemungkinan bahwa tim-tim yang telah mengikuti prosedur hanya sekedar membangun tanpa memperhatikan kenyamanan serta kelayakan bagi para suporter difabel.
Pada akhirnya, kita sekarang hanya bisa berharap. Mungkin 5 atau 10 tahun lagi, kawan-kawan kita dengan kebutuhan khusus dapat duduk bersama di stadion, dan menikmati atmosfer sebenarnya sebuah laga, dan beberapa hal penting yang perlu diingat yaitu kita semua sama, satu Nusantara, satu Indonesia, untuk sepakbola.
foto: uefa.org
Penulis adalah mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta. Pengamat suporter lokal. Pecinta sepakbola nasional. Salah satu pendukung tim lokal DIY. Bisa dihubungi di alamat email jalurahman.jr@gmail.com
Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis lewat rubrik Pandit Sharing. Isi dan opini dalam tulisan adalah tanggung jawab penuh penulis
Komentar