Menghitung Hari-hari Terakhir Wenger

Editorial

by Dex Glenniza 100264

Dex Glenniza

Your personal football analyst. Contributor at Pandit Football Indonesia, head of content at Box2Box Football, podcaster at Footballieur, writer at Tirto.ID, MSc sport science, BSc architecture, licensed football coach... Who cares anyway! @dexglenniza

Menghitung Hari-hari Terakhir Wenger

Katanya Arsenal dan Arsène Wenger adalah kesebelasan spesialis empat besar. Sayang sekali, pernyataan tersebut harus berakhir malam ini. Untuk pertama kalinya setelah 21 tahun lamanya, Arsenal akhirnya berada di luar peringkat keempat. Mereka harus mengikhlaskan peringkat empat besar untuk Chelsea sang juara, Tottenham Hotspur sang runner-up, Manchester City di peringkat ketiga, dan Liverpool di peringkat keempat.

The Gunners harus puas bertengger di peringkat kelima dan menerima nasib mereka tidak lolos ke Liga Champions UEFA untuk pertama kalinya dalam 21 tahun terakhir.

Sebelumnya sejak Wenger menjabat sebagai manajer Arsenal, The Gunners tidak pernah terlempar dari posisi empat. Terakhir kali mereka berada di luar posisi empat adalah pada musim 1995/1996 saat mereka menduduki peringkat kelima di klasemen akhir.

Selain musim ini, selalu menduduki peringkat empat besar sebenarnya bukan merupakan hal yang menyebalkan. Sebaliknya, selalu menduduki peringkat empat besar juga bukan merupakan sebuah prestasi yang bisa dirayakan secara berlebihan.

Kita seharusnya sadar jika Arsenal bukan kesebelasan yang luar biasa hanya karena sebelumnya mereka selalu bisa meraih posisi empat besar di Liga Primer. Namun juga, toh mereka bukan kesebelasan biasa-biasa saja di Liga Primer karena bisa sekonsisten itu lolos ke Liga Champions setiap musimnya, kecuali untuk musim depan.

Grafis musim-musim Arsenal bersama Wenger – Oleh: Mayda Ersa Pratama

Melihat grafis di atas, Arsenal sebenarnya tidak buruk-buruk amat, kan? Andaikan itu bukan kesebelasan sekelas Arsenal, mungkin kita akan memujinya. Inilah kenapa sebenarnya secara tidak langsung kita (siapapun kita, tidak harus pendukung Arsenal) selalu meletakkan standar yang tinggi untuk Arsenal. Jika mereka berada di empat besar, maka itu wajar. Jika mereka juara, maka itu bonus. Jika mereka keluar dari empat besar, maka itu buruk.

Wenger mungkin tidak memuaskan suporter, tapi ia memuaskan pemilik kesebelasan

Berada pada perspektif seorang Wenger, kita bisa tahu bahwa hal-hal sulit terus terjadi ketika seseorang menjabat pada satu pekerjaan yang sama untuk 20 tahun berturut-turut. Apalagi menjadi manajer sepakbola bukanlah perkara mudah, pekerjaan ini begitu menuntut sampai-sampai saat ini pemecatan menjadi hal yang biasa.

Kemudian kalau pemecatan adalah hal yang biasa, maka bertahannya Wenger di Arsenal selama 20 tahun (kemungkinan bertambah malah) adalah hal yang luar biasa. Tapi kita harus tahu alasannya kenapa. Wenger bisa jadi mengecewakan untuk para pendukung Arsenal. Dengan standar yang terlampau tinggi, ini wajar. Tapi yang mempekerjakan dan memecat Wenger bukanlah suporter, melainkan pemilik kesebelasan.

Sederhanya begini, jika Wenger tidak kunjung dipecat setidaknya sejak terakhir kali menjuarai Liga Primer, yaitu pada 2004 (invincible), berarti pemilik kesebelasan selalu puas terhadap kinerja Wenger selama 13 tahun belakangan ini.

Kemudian kita boleh menyalahkan sang pemilik kesebelasan Arsenal saja kalau begitu, yaitu keluarga Bracewell-Smith dan keluarga Hill-Wood sampai 2007, serta kemudian Stan Kroenke sejak 2011. Ivan Gazidis juga bisa masuk ke jajaran petinggi Arsenal karena sudah menjadi chief executive sejak 2009. Begitu juga Sir Chips Keswick yang sudah menjadi chairman sejak 2013.

Kroenke sendiri pernah menyatakan: “Aku tidak membeli Arsenal untuk memenangkan trofi.” Bisa jadi pendekatan pemilik asal Amerika Serikat ini memang bukan kesuksesan di atas lapangan, melainkan di luar lapangan, yaitu manajemen dan keuangan, sesuai dengan latar belakang pendidikan Wenger. Itulah kenapa Kroenke puas terhadap penampilan Wenger.

Meskipun terakhir kali Arsenal menjuarai liga adalah pada 2004 dan “hanya” berhasil memenangkan tiga Piala FA (bisa jadi empat pada 27 Mei ini) dalam 13 tahun setelahnya, pendapatan kesebelasan melalui tiket terus bertambah setiap tahun, bahkan menjadi yang termahal di Inggris. Ini mungkin kenapa salah satu bentuk boikot para pendukung Arsenal adalah dengan mengosongkan stadion (artinya tidak membeli tiket).

Cara Wenger menjaga kestabilan Arsenal

Arsenal pindah kandang dari Highbury (kapasitas 38.00 penonton) ke Stadion Emirates (60.00 penonton) pada musim 2006/2007. Pindah stadion adalah investasi yang besar. Dengan banyak uang yang keluar ini, maka kontrol atas keuangan, bukan gelar juara, adalah kunci keberlanjutan Arsenal.

Kebanyakan pendukung Arsenal tidak tahu seberapa mahal investasi yang sudah Wenger lakukan sehingga selalu memuaskan sang pemilik kesebelasan (maka dari itu ia tidak pernah dipecat). Konstruksi Stadion Emirates memiliki harga 390 juta paun. Highbury menyumbang investasi 130 juta paun. Berarti sisa pinjaman adalah 260 juta paun.

Pada dasarnya, Arsenal harus membayar pinjaman, bisa angsuran, ketika dana sudah tersedia. Dengan asumsi tingkat bunga rata-rata pada utang Arsenal adalah 10%, ditambahkan bunga dan lain-lain, maka Arsenal sejatinya harus bisa menghasilkan 30 juta paun per tahun selama 10 tahun untuk membayar utangnya. Itu baru untuk membayar utang saja, belum untuk membeli pemain dan lain sebagainya.

Bukan kebetulan juga kita jarang melihat adanya pemain mahal yang datang ke Arsenal. Malah, banyak pemain yang dijual mahal oleh Arsenal.

Ashley Cole (ditukar William Gallas ditambah 5 juta paun), Thierry Henry (15 juta paun), Alexander Hleb (11,9 juta paun), Emmanuel Adebayor (25 juta paun), Kolo Touré (16 juta paun), Francesc Fàbregas (35 juta paun), Samir Nasri (25 juta paun), Robin van Persie (25 juta paun), Alex Song (15 juta paun), dan Thomas Vermaelen (15 juta paun) adalah beberapa contoh pemain yang dijual dengan mahal oleh The Gunners.

Sementara mereka hanya mau membayar mahal ketika mendatangkan Nasri (12 juta paun), Andrey Arshavin (15 juta paun), Santiago Cazorla (15 juta paun), dan Olivier Giroud (12,8 juta paun).

Pertanyaan sebenarnya muncul: apakah Arsenal harus melakukan ini? Jawabannya iya. Dengan investasi ini, Arsenal sesungguhnya sudah menjadi kesebelasan besar. Bukan hanya soal sejarah, tapi juga soal kondisi keuangan. Namun dengan syarat, mereka harus mampu terus membayar utangnya.

Menurut laporan, Arsenal sudah bebas dari utang sejak 2013. Itulah kenapa pada 2013 sampai 2014 Wenger bisa mendatangkan Mesut Özil (42,5 juta paun), Alexis Sánchez (30 juta paun), dan Danny Welbeck (16 juta paun), serta awal musim ini ada Shkodran Mustafi (30 juta paun) dan Granit Xhaka (35 juta paun).

Jadi, sebenarnya kita baru benar-benar bisa menghakimi Wenger adalah sejak 2013, ketika Wenger sudah tidak “dikejar debt collector” lagi, atau ketika Wenger sudah benar-benar bisa berkonsentrasi kepada penampilan kesebelasannya.

Tidak heran, kontraknya masih “mengambang” saat ini. Kabar yang beredar jika Wenger disodori kontrak berdurasi dua tahun. Ada kabar lain yang juga beredar jika nasib Wenger akan ditentukan setelah final Piala FA melawan Chelsea pada 27 Mei 2017 nanti di Wembley (kok, jadi ingat Louis van Gaal yang dipecat setelah menjuarai Piala FA musim lalu, ya?).

Memang tidak banyak yang berubah selain kondisi keuangan Arsenal yang tidak benar-benar kelihatan. Kita, sih, hanya bisa melihat Arsenal di posisi kelima klasemen. Namun, dengan peningkatkan pendapatan dari televisi, tiket, merchandise, komersial, dan lain-lain, Wenger sudah menyediakan kestabilan finansial dan manajemen untuk Arsenal. Itu yang membuatnya tidak dipecat.

Pertanyaan berikutnya adalah, saat Arsenal sudah tidak membutuhkan kestabilan keuangan lagi, apakah ini masih saat yang tepat bagi Wenger untuk memimpin The Gunners?

Wenger tinggal "menghitung hari"

Grafis perkembangan peringkat klasemen Arsenal, Chelsea, dan Tottenham Hotspur di Liga Primer Inggris – Oleh: Mayda Ersa Pratama

Sepakbola itu kejam. Uang bisa mengubah wajah kesebelasan. Sejak investasi besar-besaran Roman Abramovich di Chelsea, Sheikh Mansour di Manchester City, sampai Nasser al-Khelaifi di Paris Saint-Germain, mereka semua menjadi memiliki standar yang tinggi untuk kesuksesan. Sekalinya gagal juara, mereka bisa memecat manajer mereka dengan mudahnya.

Melihat grafis di atas, Arsenal bukan rajanya Inggris lagi. Bahkan rajanya London saja tidak. Atau bahkan, khusus musim ini, rajanya London Utara saja tidak.

bersambung ke halaman selanjutnya

Komentar