Apa jadinya jika Francesco Totti tidak berseragam AS Roma? Sebuah pertanyaan acak yang muncul dari pikiran jelang berakhirnya kebersamaan pemain yang selama 25 tahun mengecap karier sepakbola profesional hanya membela satu panji: AS Roma.
Seperti kisah kesetiaan yang kerap menjadi bumbu menarik dalam dunia sepakbola, kisah kesetiaan Francesco Totti bersama AS Roma adalah kisah yang menarik. Se-emosional (atau malah lebih?) kisah Paolo Maldini bersama AC Milan serta Ryan Giggs bersama Manchester United. Sejak 1989, takdir seolah menggariskannya sebagai legenda AS Roma.
Sehebat godaan apapun yang datang, baik dari tim lain di Italia ataupun kesebelasan Eropa lain, Totti bergeming. Penjagaan khusus dan tak terlihat dari elemen-elemen di sekelilingnya, seperti pelatihnya, orang tuanya, presiden klub, dan masyarakat Roma secara keseluruhan, membuat Totti tidak melupakan identitasnya dan juga sikapnya, yaitu bertahan di AS Roma sampai sekarang.
Namun, pernahkah Anda membayangkan, walau sekejap dan sekelebat saja, jika Totti berseragam tim lain?
Andai Totti Menerima Tawaran AC Milan
Saat itu 1989, seseorang datang mengetuk pintu rumah keluarga Lorenzo dan Fiorella Totti di kawasan Porta Metronia, Roma. Francesco masih berusia remaja kala itu, kalau tidak salah 13 tahun. Sang ibu, Fiorella, membukakan pintu. Tampak perwakilan dari AC Milan, klub yang saat itu sedang jaya-jayanya di Italia, datang memberikan tawaran bagi Totti untuk masuk tim muda Milan.
Sang ibu dan sang ayah yang merupakan Giallorossi garis keras pun menolak tawaran tersebut. Dengan ditolaknya tawaran dari Milan, berarti keluarga itu telah menolak uang besar, juga kemungkinan bagi anak mereka, Francesco, membela klub besar Italia dan menjadi pemain terkenal. Ibunya ketika itu beralasan, bahwa rumah adalah sesuatu yang paling penting. Hasilnya, Francesco menjadi Pangeran Roma sekarang.
Tapi, terbayangkah jika dulu Fiorella menerima tawaran dari Milan?
Coba kita simulasikan. Sang ibu menerima tawaran dari Milan dan menganggap bahwa itu adalah hal yang penting untuk perkembangan karier sang anak. Apalagi Milan ketika itu sedang dalam puncak penampilan mereka di Serie A dengan raihan gelar-gelar prestisius. Menitipkan anak mereka ke sana, berarti menitipkan masa depan anak mereka agar lebih baik.
Singkat cerita Totti pun menjelma menjadi pemain penting AC Milan. Ia bermain dengan cemerlang di sana, menapaki jejak sejak remaja, masuk tim Primavera, sampai akhirnya masuk ke tim senior. Di tim senior, ia pun mampu bersaing dengan pemain-pemain bintang lain di Milan pada masa 90an macam Demetrio Albertini, Dejan Savicevic, Zvonimir Boban, dan George Weah.
Ia menjadi bintang di Milan. Tapi dengan perangainya yang khas Roma (blak-blakan, kasar, dan emosional) ia tidak mendapatkan cinta di sana. Selain akan sulit beradaptasi dengan Milan yang lebih modis, setiap kali bertanding di Olimpico ia dipastikan akan banyak menerima hujatan dari para suporter Roma, mengatakannya sebagai seorang pemain yang tidak "Roma" dan tidak mau membela Roma hanya karena alasan uang yang lebih besar.
Gelar mungkin akan berdatangan baginya, baik itu secara pribadi maupun kolektif sebagai tim. Tapi ia tidak akan mendapatkan rasa hormat dan respek seperti yang ia dapat sekarang, ketika memutuskan untuk masuk tim junior Roma semasa remaja, dan menjadi legenda di Olimpico.
Jika Ia Membelot Membela Sampdoria
Simulasi yang lain adalah jika Fiorella tetap memasukkan Francesco Totti ke tim muda Roma, dan Totti mampu naik ke tim senior dan mulai harum bakatnya berkat polesan Carlo Mazzone. Namun, Mazzone yang merupakan sosok ayah kedua baginya, harus pergi pada kisaran musim panas 1996 karena prestasi Roma yang tak kunjung membaik.
Carlos Bianchi pun masuk, dan hal itu menimbulkan rasa tidak betah di diri Francesco. Kebebasannya terenggut. Jika Mazzone mengasuhnya dengan baik, lain hal dengan Bianchi yang, menurut Totti, tampak tidak menyukai kota Roma. Hubungan buruk ini pun berpengaruh pada penampilan klub. Roma akhirnya harus terdampar di papan bawah klasemen Serie A pada akhir musim, meski tidak terdegradasi.
Pada saat yang bersamaan, ada tawaran dari Sampdoria masuk untuk Totti, dan ia pun sudah memikirkan tawaran tersebut. Bayangkan jika presiden klub Roma saat itu, Franco Sensi, lebih memilih untuk melego Totti daripada memecat Bianchi (yang terjadi sebenarnya adalah sebaliknya, ini hanya simulasi saja). Totti pun hijrah ke Luigi Ferraris, dan mungkin saja ia bisa menjadi pemain penting di sana dan ia bisa lebih bebas bermain.
Tapi, jika ia datang ke Olimpico dengan seragam Il Samp, bukan tidak mungkin hujatan juga akan menimpa dirinya. Suporter akan menganggap ia kabur dari tim saat situasi genting, dan tidak mau membantu tim kota kelahirannya sendiri untuk merangkak naik ke papan atas Serie A.
Beruntung ia tidak memilih jalan tersebut.
Jika Ia Pindah ke Tim Besar Eropa Lain
Tawaran kepada Totti tidak hanya datang dari tim-tim satu Italia saja. Beberapa tim dari Eropa macam Manchester United ataupun Real Madrid sempat tertarik merekrut dirinya. Mari kita bersimulasi kembali, andaikan ia memilih untuk hengkang ke dua tim tersebut.
Jika ia hengkang ke Inggris membela Manchester United, mungkin ia akan pensiun lebih cepat. Kenapa? Kecepatan permainan Inggris bukanlah sesuatu yang biasa dilakukan Totti yang kerap berfantasi, tidak banyak bergerak, dan melakukan hal-hal magis di lapangan. Sepakbola Inggris, dengan gaya kick and rush, dan lari tanpa henti bak pekerja yang bekerja giat untuk mencari makan, bukanlah tempat yang cocok untuk Fantasista yang penuh kreasi dan imajinasi macam Totti.
Mungkin ia bisa bertahan selama beberapa musim, tapi terjangan bek-bek Inggris yang tanpa ampun mungkin akan mengakhiri kariernya lebih cepat karena cedera yang tak kunjung sembuh.
Kalau ia main di Spanyol bersama Madrid, ia akan menjadi rombongan Galacticos bersama dengan pemain-pemain bintang lain. Tapi ia akan kesulitan beradaptasi. Sifatnya yang selalu ingin memimpin akan bertabrakan dengan pemain lain, dan ia akan terpinggirkan dari tim. Kariernya akan berakhir lebih cepat, dan kepercayaan dirinya akan turun karena jarang mendapatkan menit bermain.
Kembali lagi, beruntung ia tidak memilih dua jalan tersebut.
***
Robert Frost dalam salah satu puisinya yang cukup terkenal berjudul The Road not Taken, menuliskan di bait paling terakhir, "Two roads diverge in a wood. And I-| I took the one less traveled by | And that has made all the difference. Akan banyak persimpangan dalam hidup, dan setiap persimpangan yang dipilih akan memberikan perbedaan serta konsekuensinya masing-masing.
Seorang Francesco Totti dapat memilih jalan apapun dalam hidupnya. Ia bisa saja tetap bertahan di Roma, atau mencoba peruntungan baru dan mencari pengalaman baru dengan membela tim lain. Semua ada konsekuensinya, dan pada akhirnya ia tetap memilih bertahan di Roma sampai 25 tahun lamanya, walau pada masa-masa akhirnya di Roma, tak ada lagi hal monumental yang ia lakukan selain foto selfie dalam derby della Capitale pada 2015 silam.
Namun, di usia senjanya ini, pertanyaan acak tentang Totti mengenakan seragam lain selain Roma bisa saja terjadi. Walau awalnya itu akan sulit dilakukan, karena Totti telah banyak menghabiskan waktunya sebagai pemain di Roma, ini bisa jadi penghormatan tersendiri untuk Totti sebagai seorang pemain sepakbola. Juga agar timbul rasa rindu tersendiri, seperti yang pernah dirasakan pendukung Liverpool terhadap Steven Gerrard.
Karena, bukankah dengan jarak, rindu itu bisa tercipta?
Komentar