Ayi Beutik dan Semangat Dyonisian

PanditSharing

by Pandit Sharing 27555

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Ayi Beutik dan Semangat Dyonisian

Oleh: Rio Rizky Pangestu

"Di stadion mah, kudu belegug!" Atau dalam bahasa Indonesia, kurang lebih berarti, “Di stadion itu harus bodoh!”

Potongan kalimat itu diucapkan oleh salah satu tokoh yang tersohor serta dihormati oleh bobotoh (pendukung) Persib Bandung bernama Ayi Beutik. Ia telah meninggal pada Agustus 2014, tepatnya berselisih satu hari jelang laga penuh rivalitas antara Persija Jakarta melawan Persib.

Tiga bulan kemudian sejak kepergiannya, pada suatu malam yang indah di Stadion Jakabaring, Palembang, Persib merengkuh trofi juara Liga Indonesia 2014. Trofi yang tentu selalu diidam-idamkan Ayi.

Ayi adalah sosok yang tidak mesti dipertanyakan lagi totalitasnya dalam mendukung Persib. Bahkan dalam sebuah obituari tentangnya yang ditulis oleh Eko Maung di situs daring bobotoh Persib bernama Simamaung, diceritakan bahwa Ayi sampai rela meninggalkan pekerjaannya sebagai surveyor demi keleluasaan menonton Persib. Ayi sanggup melepaskan kemapanan nafkah yang telah didapatkannya demi kesebelasan berjuluk Maung Bendung tersebut.

Sebagai surveyor yang sudah barang tentu mesti banyak berada di pedalaman-pedalaman, ia merasa gelisah karena tak bisa menyaksikan Persib dengan leluasa. Dalam salah satu bagian obituari itu juga terkisah, bagaimana Ayi pernah hingga harus naik rakit untuk mencari rumah warga yang memiliki televisi guna menyaksikan pertandingan Persib vs AC Milan. Karena itulah Ayi memutuskan untuk melepas pekerjaannya.

Usai kepergiannya, nama Ayi tetap sakral dan tak akan luput dari ingatan para bobotoh Persib. Mengingat rekam jejak semasa hidupnya, Ayi merupakan sosok yang sangat militan dalam mendukung Persib. Ayi adalah manifestasi utuh dari segenap nilai-nilai yang disebut fanatisme, totalitas, dan loyalitas seorang suporter sepakbola. Hal ini pulalah yang membuatnya—meminjam istilah Eko Maung-diterima secara sosiologis oleh para bobotoh Persib.

Dengan kata lain, Ayi diterima karena sosoknya bukan karena jabatan sebagai Panglima Viking, kelompok bobotoh Persib. Andaikan jabatan Panglima Viking itu tak lagi diampu Ayi, bobotoh akan tetap menaruh hormat dan menokohkannya. Karena Mang Ayi telah diterima dengan sendirinya secara sosial berkat totalitas dan militansinya yang telah terbukti. Bukan diterima secara struktural karena jabatannya, yang jelas akan padam apabila kehilangan jabatan itu.

Kembali kepada salah satu kutipan dari Ayi di awal tulisan ini. “Di stadion mah, kudu belegug!”. Bagi mereka yang belum pernah sekalipun menonton pertandingan sepakbola langsung di tribun stadion, agaknya akan sedikit mengerenyitkan dahi ketika mendengar kalimat tersebut. Mungkin coba memahami ajakan yang selintas terkesan "amoral" itu. Dan tak jarang bila berpikir pendek, akan berakhir dengan sebuah anggapan, "bahwa itu buruk", "tak patut dicontoh", dll.

Ada baiknya, sebelum terburu-buru memberikan cap baik atau buruk seperti itu, cobalah sempatkan waktu merasakan sendiri sensasi menonton sepakbola langsung di stadion, terutama ketika kesebelasan kesayangan Anda sedang bertanding. Godaan untuk tidak berteriak, berjingkrak, bahkan mengumpat, niscaya akan sulit dibendung.

Bagi sebagian orang, tribun stadion adalah tempat dimana afeksi dan emosi mengendalikan tubuh. Ketika sedang mendukung tim kesayangan kita di atas tribun, proses bersikap niscaya tak lagi ditimang dari rasio. Melainkan ditentukan (sepenuhnya) oleh alam bawah sadar kita.

Dalam telaah psikologi Sigmund Freud, sikap yang ditentukan oleh alam bawah sadar ini disebut sebagai "id". Bagi Freud, nalar, akal budi, bahkan agama, hanyalah supra-struktur yang ditentukan oleh "id" tersebut. Kebalikan dari rasio yang segala sesuatunya ditentukan secara sadar. Seperti halnya diktum Rene Descrates, "Aku berpikir, maka aku ada".

Jika kita tarik lebih lampau lagi, pada zaman romantik Jerman, Nietzsche sudah lebih dahulu membuat anti-tesis terhadap rasionalisme. Bagi Nietzsche yang mengusung spirit Dyonisian--yang dilambangkan oleh dewa bernama Dionysus (dewa anggur dan dewa pesta)-- berpandangan bahwa kemabukan sebagai cara yang paling tepat untuk menjalani hidup.

Hal tersebut jelas kontras dengan mereka yang mengusung semangat Apollonian yang dilambangkan oleh dewa matahari bernama Apollo. Bagi mereka yang mengusung semangat ini, cara menjalani hidup adalah dengan penuh keseimbangan, pengendalian, serta perhitungan. Itu semua berpijak penuh pada nalar dan akal budi secara sadar.

Menganggap mana yang lebih benar dari keduanya, agaknya sikap yang kurang tepat. Hal itu akan membuat kita rentan mengabaikan beragam konteks yang melatarinya. Terlebih ketika konteksnya adalah saat menonton sepakbola di tribun stadion.

Pemandangan megah bangunan stadion, gemerlapnya lampu stadion, serta sudut-sudut tribun yang dipenuhi manusia dengan kadar militansi dan gairah yang tinggi untuk mendukung tim kesayangan, hingga riuh-rendah chants yang berkumandang sepanjang pertandingan. Hal-hal itu sepertinya akan membuat kita, sebagai bagian dari mereka, sulit untuk menampik hasrat membuncahnya "kegilaan" dalam diri untuk sama-sama larut dalam euforia itu.

Pada saat itulah diri kita sepenuhnya dikendalikan oleh alam bawah sadar. Dikendalikan oleh spirit Dyonisian ala Nietzsche. Sesuatu yang seharusnya tak mesti tabu, karena banyak hal dalam diri kita yang ditentukan oleh alam bawah sadar. Tidak melulu ditentukan oleh kita secara sadar.

Ungkapan "Di stadion mah kudu belegug!" dari Mang Ayi Beutik, adalah ungkapan yang sepertinya lahir dari sebuah fenomena ketika alam bawah sadar mengambil alih penuh kendali dalam diri. Sampai tak ada kesempatan untuk menimang-nimang mana yang baik dan buruk kala berada di atas tribun stadion mendukung Persib. Karena yang mengendalikan ialah alam bawah sadar dengan segenap emosi dan afeksinya.

Hal ini juga sangat menunjukkan bagaimana hebatnya fanatisme dan totalitas yang ada dalam diri Ayi kepada Persib. Hingga tak ada lagi ruang untuk rasio yang penuh dengan pertimbangan, kehati-hatian dan perhitungan dalam mendukung Persib. Ini ditegaskan dengan salah satu kutipan tersohor Ayi yang lain, "Jika menghitung untung-rugi, maka dukungan kita tak murni lagi."

Fragmen ketika Ayi berani melepaskan pekerjaan yang menjadi sumber penghidupannya demi bisa leluasa menonton Persib, juga merupakan bentuk dari bagaimana kecintaan di dalam alam bawah sadarnya kepada Persib, telah melampaui segala perhitungan dan rasionalisme. Seandainya pilihan itu dihadapkan pada kita, niscaya kita akan berpikir ulang berkali-kali, dan besar kemungkinan pada akhirnya kita tak berani mengambil keputusan se-berani Ayi.

Berbahagia disana Ayi, semangatmu telah menginspirasi banyak orang!

Penulis adalah seorang bobotoh Persib yang biasa berkicau di akun Twitter @riorpangestu


Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis lewat rubrik Pandit Sharing. Isi dan opini yang ada di dalam tulisan merupakan tanggung jawab penuh penulis

Komentar