Salahkah jika manusia memiliki impian dan hasrat terpendam dalam dirinya? Sama sekali tidak. Begitu juga dengan Riyad Mahrez.
Tak bisa dipungkiri bahwa Riyad Mahrez adalah bagian penting dari skuat Leicester City dalam dua musim ke belakang. Pada musim 2015/2016, penampilan impresifnya mengantarkan Leicester menjuarai Liga Primer. Ia bersama Jamie Vardy, N`Golo Kante, Danny Drinkwater, Kasper Schmeichel, dan pemain-pemain Leicester yang lain berhasil melawan kemustahilan 5000/1 pada awal musim.
Pada musim 2016/2017, meski tidak seimpresif pada musim 2015/2016, ia sukses membawa Leicester menjauhi jerat degradasi yang sempat menghantui mereka di pertengahan musim. Mahrez pun dapat merasakan atmosfer Liga Champions, dan berhasil membawa The Foxes melaju sampai babak delapan besar sebelum ditaklukkan oleh Atletico Madrid. Ia bahkan merasakan atmosfer pergantian manajer dari Claudio Ranieri ke caretaker Craig Shakespeare.
Proses naik-turun sudah ia rasakan semua di Leicester. Ia pernah merasa begitu terbang tinggi ke awan ketika mengantar Leicester juara dan tampil di Liga Champions, juga pernah merasakan proses perjuangan luar biasa kala membawa Leicester keluar dari zona degradasi. Pada akhir musim 2016/2017, ada sebuah hasrat yang muncul dari dalam diri Mahrez. Sebuah hasrat yang wajar yang juga kerap dirasakan oleh manusia yang lain di dunia. Setidaknya itu yang pernah diungkapkan oleh Jacques Lacan, seorang psikoanalis asal Prancis.
Lacan dan Hasrat Manusia yang Tak Ada Habisnya
Dalam pembahasannya mengenai teori hasrat di The Four Fundamental Concepts of Psychoanalysis, Lacan menyebut bahwa hasrat adalah hal penting yang menjadi fokus dari studi psikoanalisis itu sendiri. Teorinya tentang hasrat ini ia tuliskan untuk menyerang balik teori Ego milik Sigmund Freud, yang menyebut bahwa Ego adalah sumber kekuatan psikologis.
Menurut Lacan, hasrat adalah sesuatu yang terus berkelanjutan, muncul menjadi sebuah kekuatan tersendiri yang membuat manusia tetap hidup. Hampir serupa dengan salah satu ucapan filsuf asal Yunani, Aristoteles, yang pernah mengungkapkan bahwa "manusia itu mati jika tidak memiliki hasrat", Lacan menyebut bahwa selama manusia hidup, hasrat akan selalu muncul dan bereproduksi dari waktu ke waktu.
Lacan pun membedakan antara hasrat dengan kebutuhan dan permintaan. Jika "kebutuhan" adalah sebuah insting biologis, yang mewujud menjadi sebuah "permintaan" kala harus dipenuhi, hasrat adalah sesuatu yang merupakan tambahan dari "kebutuhan" yang belum terucapkan lewat "permintaan". Dengan kata lain, hasrat berada di luar dimensi "kebutuhan" dan "permintaan".
Karena memiliki dimensi inilah, hasrat pada akhirnya memiliki tempat tersendiri dalam studi psikoanalisis Lacan. Ia percaya bahwa yang mengontrol manusia itu bukanlah Ego, seperti kata Freud, melainkan hasrat yang terus muncul, bereproduksi, dan meminta untuk dipenuhi dari waktu ke waktu. Bahkan, saking kuatnya, Lacan sampai menyebut bahwa hasrat adalah sesuatu yang abadi.
Mahrez dan Hasrat yang Ia Miliki
Seperti yang diujarkan Lacan di atas, adalah sebuah kewajaran ketika manusia memiliki hasrat, karena ia adalah sesuatu yang ada dan menetap dalam jiwa manusia. Semua manusia punya hasrat, tak terkecuali para pesepakbola, tak terkecuali juga Riyad Mahrez.
Ingin meraih prestasi yang lebih baik, meraih banyak trofi, mencetak banyak gol ataupun asis, serta menjadi pemain bintang adalah kumpulan hasrat yang mungkin ada di dalam diri manusia. Hasrat ini juga yang ada di dalam diri Mahrez. Apalagi Mahrez sekarang masih berusia 26 tahun. Banyak yang ingin ia capai, serta banyak juga yang ingin ia torehkan. Semua itu bukan lagi menjadi sebatas kebutuhan yang harus dipenuhi, tapi sudah menjadi hasrat tersendiri.
Hasrat ini, pada akhir musim 2016/2017 sudah mulai muncul dalam diri Mahrez. Berawal dari sebuah ucapan bahwa ia ingin tampil di Liga Champions, hal ini sudah berada di satu tingkat di atas kebutuhan. Ada hasrat yang menggebu dalam diri Mahrez, dan hasrat itu membuatnya ingin keluar dari Leicester, klub yang memberikan pengalaman berharga dalam karier Mahrez.
Ini tidaklah salah. Memiliki hasrat, seperti yang sudah diujarkan di atas, adalah hal yang wajar. Toh pemain-pemain lain pun mungkin pernah mengalami hal yang sama ketika mereka memutuskan untuk pindah klub dengan alasan tantangan baru ataupun ingin bermain di Liga Champions.
Sekali lagi, memiliki hasrat seperti ini adalah hal yang lazim. Justru jika tidak memiliki hasrat, merujuk kepada ucapan Aristoteles, berarti ia adalah manusia yang mati.
***
Mungkin saja Mahrez akan terpenuhi hasratnya jika kelak ia pindah ke klub baru. Mahrez bisa saja bermain di antara sekumpulan pesepakbola ternama, atau bermain di Liga Champions seperti yang ia inginkan, bahkan sampai meraih trofi Liga Champions.
Namun, selama Mahrez dan manusia-manusia lainnya masih hidup, hasrat itu akan selalu ada. Ia akan muncul lagi dan lagi dalam bentuk yang baru, dan tidak akan berhenti untuk berubah bentuk dan bereproduksi. Ketika satu hasrat terpenuhi, akan ada hasrat-hasrat lain yang muncul yang meminta untuk dipenuhi. Itu akan terus terjadi sampai kelak manusia menemui ajalnya.
Jika hal itu sampai terjadi, sekali lagi, itu adalah hal yang normal dan wajar. Karena Mahrez adalah manusia, manusia yang masih hidup dan punya banyak hasrat yang ingin dipenuhi.
foto: @ESPNFC
Komentar