Zinedine Zidane, Legenda yang Tak Dirindukan Juventus

Cerita

by Ardy Nurhadi Shufi 123780

Ardy Nurhadi Shufi

Juru Taktik Amatir
ardynshufi@gmail.com

Zinedine Zidane, Legenda yang Tak Dirindukan Juventus

Karier Zinedine Zidane sebagai pelatih langsung meroket bersama Real Madrid. Dua tahun melatih kesebelasan senior Real Madrid, dua kali juga Real Madrid dibawanya melenggang ke final Liga Champions. Torehan tersebut tentu cukup spesial, mengingat sulitnya berlaga di final. Lebih spesial lagi bagi Zidane karena sebenarnya ia baru melatih sejak 2014 lalu, dengan menjadi pelatih Real Madrid Castilla.

Catatan tersebut, apalagi jika Real Madrid bisa mengalahkan Juventus pada final Liga Champions tahun ini, tentu akan membuat dirinya semakin lekat dengan label jenius sepakbola. Bukan hanya sebagai pemain, tapi juga sebagai pelatih, sebagaimana ia langsung membawa Real Madrid juara Liga Champions pada musim pertamanya (setengah musim lebih tepatnya).

Sebagai pemain, Zidane berhasil meraih segalanya. Dari penghargaan individual (termasuk Ballon d`Or), sampai trofi juara. Dari liga domestik, sampai kompetisi antar kesebelasan Eropa. Dari Liga Champions, sampai Piala Eropa dan Piala Dunia. Medali dari kompetisi-kompetisi paling bergengsi di Eropa ia miliki. Dengan kontribusinya yang begitu besar bagi setiap kesebelasan yang ia bela, tak pelak ia disebut-sebut sebagai salah satu pemain terbaik dalam sejarah sepakbola.

Dan lawan yang akan ia hadapi bersama timnya pada akhir pekan nanti, Juventus, punya andil besar atas suksesnya karier Zidane sejauh ini. Meskipun begitu, bagi Juventus, Zidane bukanlah pemain yang akan selalu mereka elu-elukan layaknya Michel Platini, Pavel Nedved, Gianluca Vialli, Omar Sivori, Alessandro Del Piero, atau Didier Deschamps, serta deretan legenda Juventus lainnya. Kepindahan Zidane dari Juventus ke Real Madrid memiliki ironi tersendiri.

***

Beberapa hari jelang menghadapi Juventus di partai puncak Liga Champions musim ini, Zidane mengakui bahwa Juventus adalah kesebelasan yang cukup spesial dalam kariernya. Menurut pemain yang akrab disapa Zizou ini, Juventus-lah yang membuatnya berkembang menjadi pesepakbola yang lebih baik.

"Saya di Juventus selama lima tahun, sebuah klub besar yang membantu saya untuk berkembang menjadi seorang pria, seorang manusia, serta seorang pesepakbola," ujar Zidane dalam laman resmi Real Madrid. "Juventus selalu punya tempat spesial di hati saya. Meskipun begitu saya sekarang berada di sisi lain, bersama Real Madrid dan saya hanya akan memikirkan tentang Real Madrid."

Saat bergabung dengan Juventus, popularitas Zidane memang tak seperti ketika ia meninggalkan Turin. Pada 1996, ketika itu Juventus berstatus juara bertahan Liga Champions, Zizou yang masih berusia 24 tahun didatangkan dari Bordeaux dengan nilai transfer hanya 3,5 juta euro saja. Meski berlabel pemain terbaik Ligue 1 1996, juga meraih penghargaan pemain muda terbaik Ligue 1994, belum banyak kesebelasan yang tertarik merekrutnya. Bahkan dua kesebelasan Inggris secara terang-terangan pernah menolak untuk merekrutnya.

"Mengapa Anda ingin merekrut Zidane ketika Anda sudah memiliki Tim Sherwood?" ujar Jack Walker, pemilik Blackburn Rovers, ketika sang manajer, Kenny Daglish, menginginkan Zidane pada 1995. "Zidane tidak cukup bagus untuk bermain di Liga Inggris," ujar manajemen Newcastle United ketika ditawari Zidane.

Selain kemampuannya yang masih diragukan, Zidane juga cukup dikenal sebagai pemain yang tiba-tiba emosional. Hal ini dikatakan langsung oleh pelatih Bordeaux saat itu, Rolland Courbis. Menurut Courbis, meski punya potensi menjadi pemain hebat, Zidane punya sifat yang terduga, berubah dari Zidane sebagai sosok yang tenang.

"Anda bisa dengan mudah melihatnya sebagai pemain dengan kualitas yang luar biasa. Tapi ada momen dalam kariernya ketika Anda tak bisa melakukan apapun padanya," ujar Courbis seperti yang dikutip Guardian. Apa yang dikatakan Courbis itu pun terjadi di awal-awal karier Zidane bersama Juventus. Menurut Andrew Hussey, kolumnis Guardian, Zidane begitu temperamental, khususnya di laga-laga besar.

Zidane memang memiliki kepribadian yang tak seperti pesepakbola kebanyakan. Zidane tetap menjadi sosok pemalu, dingin, tenang, dan tak banyak berbicara, hanya berbicara lewat kemampuan sepakbolanya. Kepribadian tersebut tak lepas dari latar belakangnya sebagai seseorang yang lahir dari orang tua imigran.

Kedua orang tua Zidane merupakan imigran Aljazair. Meski lahir di Prancis, Zidane kerap mendapatkan tindakan rasisme dari masyarakat Prancis di luar Marseille yang menjadi kota kelahirannya karena berasal dari keluarga imigran. Bahkan sebelum kariernya mendunia, sebagian orang tidak menerima jika Zidane dikenal sebagai orang Prancis. Zidane sendiri seringkali dengan bangga menyebut jika ayahnya memang seorang imigran Aljazair.

Karena itulah Zidane tidak terlalu terbuka pada orang-orang di sekelilingnya. Ia lebih banyak menghabiskan waktunya dengan keluarga. Ia juga tak biasa menghadapi serbuan fans. Setelah menikah, ia bahkan lebih menjaga jarak dengan fans perempuan. Zidane memang sangat menyayangi keluarganya, termasuk istrinya, Veronique. Ia juga jauh dengan klub malam, perempuan, mobil mewah dan kemewahan lain yang biasanya identik dengan pesepakbola dunia.

Membela Juventus, yang kental dengan kekeluargaannya, Zidane lebih mendewasa. Selama lima musim bersama "Si Nyonya Tua", hanya ada dua insiden ketika Zidane tak bisa mengontrol emosinya. Yang pertama saat ia membela Prancis pada 1998 ketika ia menginjak pemain Arab Saudi, Faoud Amin, dengan sengaja. Sementara yang kedua ketika ia menanduk pemain Hamburg SV, Jochen Kientz, pada Liga Champions 2000.

Bersambung ke halaman berikutnya

Komentar