Akademi Lippi Menguasai Eropa

PanditSharing

by Pandit Sharing 85171

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Akademi Lippi Menguasai Eropa

Oleh: Pradhana Adimukti

Antonio Conte menjuarai Liga Primer bersama Chelsea musim 2016/2017 ini. Sebelumnya ia sudah menjuarai Serie A Italia bersama Juventus tiga kali berturut-turut dari musim 2011/2012, 2012/2013, dan 2013/2014. Zinedine Zidane menjuarai Liga Champions UEFA dan La Liga Spanyol musim 2016/2017. Musim lalu juga Zidane memberi gelar Liga Champions buat Real Madrid setelah mengambil alih kursi pelatih di tengah musim, pada Januari 2016, dari Rafa Benitez.

Dari kualifikasi Piala Dunia 2018, tim nasional Prancis sudah mengumpulkan empat kali kemenangan dan sekali seri dari lima pertandingan. Finalis Piala Eropa 2016 tersebut belum pernah sekalipun kalah. Paul Pogba dan kawan-kawan dilatih Didier Deschamps. Di Rusia, Massimo Carrera, mantan asisten Antonio Conte, membawa Spartak Moskow juara Liga Rusia untuk pertama kalinya setelah 16 tahun puasa gelar.

Melihat deretan nama Conte, Zidane, Deschamps, dan Carrera, penggemar sepakbola Italia era 1990-an tentu langsung akan mengingat dua nama: Marcello Lippi dan Juventus. Kelima pelatih itu adalah anak asuh Marcello Lippi di Juventus pada pertengahan 1990-an.

Lippi melatih Juventus dalam dua periode. Periode pertama dari tahun 1994-1999, sedangkan periode kedua dari tahun 2001-2004. Ia memberikan lima gelar Scudetto Serie A serta satu gelar Liga Champions. Prestasi fenomenal Lippi adalah mengantar timnas Italia menjuarai Piala Dunia 2006.

Tentu saja banyak pelatih dalam lintasan karier lima pemain itu. Namun bila ditelusuri, terdapat beberapa persamaan dari gaya manajemen dan taktik mereka dengan Marcello Lippi. Filosofi Lippi dalam melatih terlihat pada pragmatisme, yang terwujud dalam variasi taktik dan keseimbangan permainan, kolektivitas tim, dan semangat pantang menyerah. Karakteristik tersebut terlihat pada gaya permainan tim yang diasuh mantan pemain Lippi.

Taktik pragmatis

Secara taktik, pragmatisme menjadi ciri khas Lippi. Lippi bukan pengusung gaya sepakbola tertentu seperti Johan Cruyff atau Pep Guardiola. Lippi lebih menekankan keseimbangan dalam bertahan dan menyerang serta taktik yang adaptif dengan tim.

Menurut Lippi, skema permainan harus memerhatikan kontribusi seorang pemain bagi tim dan mengeksplorasi kemampuan terbaik seorang pemain. Bagi Lippi, menyusun taktik dan formasi terbaik bagi pemain yang ada sama pentingnya dengan memilih pemain terbaik untuk skema permainannya.

Lippi selalu berdiskusi dalam menyusun skema permainan. Pelatih yang membawa timnas Italia juara Piala Dunia 2006 tersebut juga mampu menjelaskan taktik dan formasinya dengan terang pada para pemain, sebagaimana diakui Antonio Conte.

Dalam bertahan, tim Lippi mampu bermain menjaga lawan orang per orang (man to man marking) dan memainkan penjagaan daerah (zonal marking). Timnya mampu mengundang lawan untuk menyerang, kemudian melancarkan serangan balik kilat dan juga bisa menekan di zona pertahanan lawan.

Selama melatih Juventus di periode pertama (1994-1999), Lippi pernah mengombinasikan pemain-pemain brilian seperti Roberto Baggio, Alessandro Del Piero, Gianluca Vialli, serta Fabrizio Ravanelli di lini depan. Lippi saat itu menggunakan formasi 4-3-3 di mana Baggio bermain bergantian dengan Del Piero.

Saat Baggio dan akhirnya disusul Vialli dan Ravanelli pergi, Lippi mendatangkan Zidane pada musim 1996/1997. Formasi diubahnya menjadi 4-3-1-2. Posisi “1” di belakang dua striker diberikan pada Zidane untuk meledakkan kreativitasnya. Musim itu mereka memenangi Serie A dan masuk final Liga Champions. Sayang, mereka kalah 3-1 oleh Borussia Dortmund.

Lippi menempatkan Del Piero, Vieri, dan Alen Boksic di lini depan. Pada musim 1997/1998, saat Boksic dan Vieri pergi, Filippo Inzaghi datang menggantikan mereka. Kepergian Baggio, Ravanelli, Vialli, Boksic, dan Vieri yang digantikan pemain baru seperti Zidane dan Inzaghi menunjukkan keberanian Lippi memperbarui gaya bermain tim dan taktik yang digunakan.

Kecerdasan dan keberanian Lippi mengubah taktik terlihat lagi di musim 1997/1998. Formasi 4-3-1-2 diubahnya menjadi 3-4-1-2. Musim itu Juventus memenangkan Serie A dan masuk final Liga Champions dalam dua musim berturut-turut. Sayang di final mereka kembali kalah oleh Real Madrid lewat gol Predrag Mijatovic.

Kala itu Lippi merekrut seorang Edgar Davids untuk membantu Zidane. Gaya kreatif Zidane, dilengkapi kengototan dan kerja keras a la Davids membuat lini tengah Juventus menjadi kuat. Fungsi gelandang bertahan pekerja keras yang ngotot untuk melengkapi gelandang kreatif kini diterapkan Zidane pada kombinasi Casemiro yang menggenapi Toni Kroos dan Luka Modric. Pengalaman manis Zidane yang diberikan Davids oleh Lippi tentu menjelaskan taktik Zidane tersebut.

Di Juventus, Conte melengkapi kejeniusan Andrea Pirlo dengan karakter-karakter gelandang pekerja keras seperti Paul Pogba, Arturo Vidal, dan Claudio Marchisio. Keindahan Eden Hazard pun digenapi Conte dengan kehadiran N`Golo Kante dan Nemanja Matic di Chelsea.

Keseimbangan tim yang dulu jadi dasar Marcello Lippi terlihat pula pada tim Zinedine Zidane dan Antonio Conte sekarang. Walaupun pada Madrid-nya Zidane, keseimbangan itu belum meyakinkan. Madrid sudah kebobolan 41 gol dari 38 pertandingan La Liga. Bandingkan dengan Chelsea yang baru kebobolan 33 gol dari 38 pertandingan liga atau Juventus yang baru kebobolan 26 gol dari 37 laga Serie A.

Kebebasan berkreasi yang dipercayakan Lippi pada Zidane dan Del Piero saat di Juventus 20 tahun silam dapat menjelaskan keputusan Zidane membebaskan Cristiano Ronaldo, Gareth Bale, Karim Benzema, Kroos dan Modric untuk berimajinasi di lini serang.

Zidane juga pragmatis dalam taktik. Pada pertandingan melawan Sevilla (15/05/2017), ia memasukkan Casemiro untuk meringankan kinerja Kroos dan Mateo Kovacic setelah lini tengah Madrid tertekan gelandang Sevilla. Zidane juga memasukkan Lucas Vazquez untuk menajamkan serangan sayap. Hasilnya, Madrid menang 4-1.

Pada pertandingan melawan Atletico Madrid (10/05/2017), setelah tertinggal 2-0 dalam 17 menit pertama, Zidane mengubah skema permainan agar timnya menguasai lini tengah dan menurunkan tempo pertandingan. Madrid memang kalah, tapi mereka bisa mencetak satu gol untuk maju ke final Liga Champions musim ini.

Pada awal musim 2011/2012 bersama Juve, Conte menerapkan formasi 4-4-2 yang bisa berubah menjadi 4-2-4 atau 4-1-4-1. Namun pada pertandingan melawan Napoli (29/11/2011), Conte mengadaptasi formasi tiga bek Walter Mazzari. Conte saat itu coba mengantisipasi bek kanan Napoli Christian Maggio.

Conte menggunakan formasi 3-5-2. Conte memaksimalkan Andrea Barzagli, bek juara dunia 2006, yang kariernya suram beberapa musim sebelumnya. Juve yang saat itu sempat ketinggalan 2-0, mengakhiri pertandingan dengan seri 3-3.

Setelah pertandingan itu, Conte konsisten menggunakan formasi 3-5-2. Hasilnya, pertahanan Juve menjadi tembok yang sulit ditembus. Conte juga menciptakan trio Barzagli-Bonucci-Chiellini (BBC) di lini belakang. Conte mempersembahkan tiga Scudetto berturut-turut dengan memakai 3-5-2.

Awal datang ke Stamford Bridge, Conte tampaknya sadar para pemain Liga Inggris tak terbiasa dengan formasi tiga bek. Conte menerapkan formasi empat bek. Kebobolan tiga gol pada babak pertama saat melawan Arsenal (24/09/2016) mengubah semuanya.

Pada babak kedua, Conte mengubah formasi menggunakan tiga bek. Chelsea memang tetap kalah 3-0. Namun sejak itu Chelsea selalu menang dalam 13 pertandingan dengan formasi 3-4-3 sampai kalah melawan Tottenham (04/01/2017). Skema 3-4-3 pun akhirnya mengantar Chelsea juara Liga Inggris musim 2016/2017.

Pada awal turnamen Piala Eropa 2016, Didier Deschamps menerapkan formasi 4-3-3. Saat melawan Islandia di perempat-final, Deschamps mengubah formasi menjadi 4-2-3-1 yang bisa berubah menjadi 4-4-2.

Gelandang bertahan Kante diganti oleh Moussa Sissoko yang lebih bisa menyerang dan bertahan. Hasilnya, Prancis menang 5-2 melawan Islandia. Dengan skema permainan yang sama, Prancis menyingkirkan favorit juara Jerman di semi-final. Prancis melaju ke final sebelum dikalahkan 1-0 oleh Portugal.

Spartak Moscow yang dibentuk Carrera bermain dengan intensitas tinggi, bertahan dengan galak dan rapat serta menyerang dengan cepat. Formasi mereka juga fleksibel. Pakem utama Carrera adalah 4-2-3-1 atau 4-3-3. Namun saat bertahan mereka bisa membentuk 4-4-2 atau 4-4-1-1.

Desain taktik yang mengutamakan hasil dan keseimbangan permainan a la Lippi terlihat pada cara berpikir Zidane, Conte, Deschamps, dan Carrera. Para mantan anak asuh Lippi tersebut tidak segan mengubah taktik jika dapat memenangkan pertandingan. Kultur pragmatis sepakbola Italia dapat menjelaskan pula cara mereka merancang skema permainan.

Permainan tim

Lippi menekankan permainan tim. Menurut Lippi, mengumpulkan pemain terbaik dunia dalam satu tim tidak menjamin mereka akan membentuk tim terbaik dunia. Lippi mengibaratkan pemain seperti mozaik. Semua dirangkai menjadi satu kesatuan.

Boleh dibilang Juventus-nya Marcello Lippi era 90-an hanya punya satu sampai dua pemain berteknik tinggi. Mereka adalah Roberto Baggio, Zinedine Zidane, dan Alessandro Del Piero. Namun, Lippi menjadikan pemain-pemain pekerja keras seperti Angelo Di Livio, Antonio Conte, dan Mark Iuliano sebagai bagian penting tim.

Filosofi permainan tim pula yang menjelaskan kelanjutan prestasi Juventus sekali pun Lippi berani menjual pemain-pemain penting. Setelah Baggio pergi, Del Piero muncul. Tim Lippi tak goncang ketika Paulo Sousa, Vladimir Jugovic, Boksic, dan Vieri pergi. Pemain-pemain seperti Davids dan Inzaghi terbukti sukses menggantikan mereka.

Di bawah Zidane musim ini, 20 pemain Real Madrid sudah bermain di atas 1000 menit. Namun, untuk pertama kali dalam sejarah Real Madrid, tidak ada yang mencapai 2500 menit. Bahkan Cristiano Ronaldo hanya bermain 2550 menit musim ini. Padahal musim lalu ia bermain 3183 menit.

Morata sukses mencetak 15 gol walaupun hanya lima kali bermain penuh dari 26 kali bermain di La Liga sampai laga ke 38. Gelandang James Rodriguez mencetak delapan gol dan 44 peluang, padahal dia hanya lima kali bermain 90 menit dari 22 kali diturunkan. Begitupun Isco, dari lima kali bermain penuh dalam 30 laga, Isco sudah mencetak 10 gol dan 38 peluang. Semua itu menunjukkan Zidane mampu menyatukan dan mengarahkan ego individual pemain untuk kemenangan tim.

Kolektivitas juga menjadi ciri khas tim Conte. Juventus, Italia, dan Chelsea bertahan dengan sangat rapi. Saat diserang para gelandang ikut membantu bek untuk bertahan. Mereka semua menutup celah sehingga lawan akan gagal mengalirkan bola ke pertahanan tim Conte.

Dalam menyerang, tim Conte bisa merangsek ke pertahanan lawan dengan empat sampai lima pemain. Dua bek sayap Lichtsteiner dan Asamoah menekan lawan bersama Vidal, Marchisio atau Pogba saat menyerang bersama dua penyerang Juve, Tevez dan Llorente di musim terakhir Conte. Dua bek sayap Alonso dan Moses menekan lawan bersama trio Pedro, Diego Costa, dan Eden Hazard di Chelsea saat menyerang.

Deschamps meracik timnas Prancis pada Piala Eropa 2016 tanpa playmaker kreatif yang bisa bermain indah. Tidak ada pemain bertipe Zinedine Zidane dalam skuat Deschamps. Permainan tim menjadi kunci utama Prancis melaju ke final.

Carrera pun menyusun permainan Spartak Moscow berdasarkan organisasi yang rapi. Mirip seperti apa yang dilakukan Conte dan Lippi. Wajar saja, Carrera pernah menjadi mantan asisten Conte sejak di Juventus hingga timnas Italia. Ia bahkan pernah ditunjuk sebagai caretaker yang tidak mengecewakan saat Conte dihukum atas dugaan skandal pengaturan skor tahun 2012.

Permainan kolektif ala Marcello Lippi kini dicerminkan pula dalam permainan anak asuh Antonio Conte, Zinedine Zidane, Didier Deschamps, dan Massimo Carrera.

Semangat pantang menyerah

Soal semangat, skuat Juventus asuhan Lippi diakui hasrat meraih kemenangannya oleh Alex Ferguson, manajer Manchester United. Ferguson pernah menjadikan Juventus-nya Lippi sebagai contoh untuk Manchester United asuhannya. United memiliki taktik dan teknik yang Juventus miliki. Namun United harus mencontoh gairah untuk menang yang dipunyai Juventus.

Conte mengakui Lippi sangat ahli memotivasi pemain. Lippi terkenal dekat dengan para pemainnya secara personal. Lippi menekankan pentingnya berdialog dengan pemain. Mantan pelatih Atalanta itu juga menekankan disiplin dan kerja keras membangun tim. Sejak dua kali kalah beruntun dari Liverpool (16/09/2016) dan Arsenal (24/09/2016), Chelsea asuhan Conte tak pernah lagi kalah lebih dari satu pertandingan berturut-turut, hingga menjuarai Liga Primer musim 2016/2017.

Kala melawan Manchester City (03/12/2016), keberingasan bertanding a la Conte terlihat jelas dalam reaksi Costa dan kawan-kawan di lapangan. Chelsea membalikkan keadaan, menang 3-1 di akhir pertandingan setelah ketinggalan 1-0 di babak pertama.

Dari 37 pertandingan La Liga musim ini, Real Madrid di bawah Zidane tidak pernah kalah dalam dua pertandingan berturut-turut. Rangkaian periode terburuk mereka hanya seri dalam tiga pertandingan melawan Villarreal, Las Palmas, dan Eibar pada akhir September hingga awal Oktober 2016.

Madrid di bawah Zidane berhasil menang setelah ketinggalan lewat gol Gerard Pique di menit ke-56, pada El Clasico kedua musim 2015/2016 melawan Barcelona (02/04/2016). Gol Benzema (menit ke-62) dan Ronaldo (menit ke-90) membalikkan keadaan. Padahal Los Blancos harus bermain hanya dengan 10 orang akibat kartu merah yang diterima Sergio Ramos pada menit ke-85.

Didier Deschamps sukses membawa Juventus promosi ke Serie A pada musim 2006/2007. Padahal, Juventus saat itu habis terguncang skandal Calciopoli yang mengakibatkan mereka terhukum degradasi ke Serie B. Deschamps mampu menyatukan ego bintang besar seperti Buffon, Nedved, Del Piero, dan Trezeguet ke dalam tim untuk membawa Juve promosi.

Setelah mengundurkan diri dari Juve, Deschamps menangani Marseille. Marseille sukses juara Ligue 1 musim 2009/2010 untuk pertama kali dalam 18 tahun bersama Deschamps. Mantan kapten timnas Prancis itu juga berhasil memberi hattrick Piala Liga Prancis tahun 2010, 2011, dan 2012.

Massimo Carrera berhasil membawa Spartak Moskow juara Liga Rusia 2016/2017. Itu adalah trofi Liga Rusia pertama kali bagi Spartak sejak tahun 2001. Dalam waktu semusim penuh melatih, Carrera mampu membangkitkan mental pemenang Spartak.

Mental pemenang dalam pasukan Conte, Zidane, Deschamps dan Carrera dapat dijelaskan oleh semangat pantang menyerah yang menjadi ciri khas tim asuhan Marcello Lippi di era pertengahan sampai akhir 90an dan awal 2000an.

Akademi Marcello Lippi

Beberapa musim belakangan kita sudah melihat keberhasilan Luis Enrique, Pep Guardiola, Jose Mourinho, Ronald Koeman, Frank De Boer, dan Philip Cocu. Mereka semua punya satu garis persamaan. Pernah bekerja sebagai asisten pelatih atau menjadi pemain di bawah Louis van Gaal.

Tidak semua pelatih mampu membuat asisten atau pemain-pemainnya menjadi pelatih sukses. Alex Ferguson sangat sukses sebagai manajer Manchester United. Namun mantan asisten pelatih dan pemain-pemainnya seperti Steve McClaren, Bryan Robson, Steve Bruce, Ole Gunnar Solskjaer, Mike Phelan, Carlos Queiroz, sampai Roy Keane belum ada yang mampu mendekati kesuksesan Fergie.

Melihat beberapa kemiripan taktik dan gaya manajemen Conte, Zidane, Deschamps, Carrera dengan Marcello Lippi dan mengingat mereka semua pernah bermain di bawah Lippi, wajar jika kita kini menyebut ‘akademi Marcello Lippi’ sebagaimana kita menyebut ‘akademi Van Gaal’. Setelah akademi Van Gaal, kini akademi Lippi sedang menguasai Eropa.

Penulis adalah pecinta sepakbola yang biasa berkicau di akun twitter @Pradhana_Adi


Tulisan ini adalah hasil kiriman penulis lewat rubrik Pandit Sharing. Isi dan opini dalam tulisan merupakan tanggung jawab penulis

Komentar