Menjadi orang terkenal di media sosial adalah sebuah berkah sekaligus tuntutan. Berkah karena akan banyak orang yang mengenal kita, tuntutan karena kita harus selalu tampil baik di hadapan orang-orang. Hal yang tidak jauh juga dialami oleh seorang pesepakbola.
Sebuah tulisan di Digital Sports menyebut bahwa media sosial dan pesepakbola, di zaman yang sudah serba era digital ini, adalah dua hal yang tak terpisahkan. Lewat media sosial, baik itu Instagram, Faceboook, ataupun Twitter, seorang pesepakbola dapat meraih pangsa pasar yang lebih besar. Hal ini membuat pesepakbola, meminjam istilah dari tulisan tersebut, tidak lagi sekadar menjadi seorang pahlawan lokal semata.
Dengan semakin berkembangnya teknologi, eksklusifitas seorang pesepakbola kian mengabur dan menghilang. Apalagi setelah munculnya media sosial, para pesepakbola yang notabene dulu dianggap sebagai seorang yang eksklusif, tiba-tiba saja menjadi orang yang mudah untuk dijangkau oleh kalangan luas. Segala unggahan yang ada di media sosial pemain bisa direspons secara bebas oleh orang-orang, bahkan oleh orang-orang yang tidak dikenal oleh si pemain sekalipun.
Jika dulu sang pemain hanya punya pengikut seratus orang, mungkin setelah jadi pemain terkenal ia bisa punya pengikut sebanyak satu juta orang. Pengikut sebanyak itu, punya berkah, efek, serta risiko tersendiri bagi sang pemain, dan mungkin kesebelasan atau timnas yang ia bela.
Kisah David Stockdale, tentang efek dari media sosial
Ketika terjun ke media sosial, kita harus siap dengan dua reaksi yang akan bermunculan dari para followers yang mengikuti media sosial ketika: reaksi negatif dan reaksi positif. Apapun yang kita unggah, tak selamanya unggahan tersebut akan mengundang reaksi positif dari orang-orang yang melihatnya.
Hal tersebut adalah hal yang tak terhindarkan. Semakin Anda terkenal, maka apapun yang akan Anda unggah di media sosial Anda akan memunculkan reaksi dan komentar yang beragam dari para pengikut Anda di media sosial. Seperti yang tercantum di dalam tulisan Digital Sport, ketika Anda terjun ke media sosial dan diikuti banyak orang, Anda harus siap dengan budaya berbeda-beda yang dibawa oleh orang-orang tersebut.
Aturan "tak tertulis" ini pun berlaku bagi para pesepakbola. Pesepakbola, orang yang bermain di lapangan dan disaksikan oleh banyak orang, punya potensi besar untuk diikuti banyak orang. Apalagi pesepakbola yang menorehkan prestasi besar macam Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi, akun-akun media sosialnya sudah barang tentu diikuti oleh banyak orang. Bukan hanya orang-orang Portugal, Argentina, atau Spanyol saja, tapi diikuti oleh orang-orang di seluruh dunia.
Inilah yang membuat para pemain tersebut seolah mendapatkan dua hal sekaligus: berkah dan tuntutan. Berkah karena dengan dikenal oleh banyak orang, maka akan banyak promosi yang bisa mereka lakukan. Berkah karena dengan begitu, bukan hanya ia yang semakin dikenal, tapi juga klub atau timnas tempat ia bermain.
Di sisi lain, ada tuntutan yang mengikuti. Tuntutan untuk selalu tampil sempurna di depan para pengikut. Tuntutan untuk selalu menampilkan yang terbaik dalam unggahan yang ia masukkan di media sosial mereka. Tak ada ruang untuk melakukan kesalahan, bahkan tak ada ruang untuk hal-hal yang bersifat pribadi.
Menyoal tentang hal ini, ada sebuah kasus menarik yang dialami oleh David Stockdale, penjaga gawang asal Inggris yang per musim 2017/2018 mulai membela Birmingham City. Ini berhubungan tentang apa yang ia unggah di media sosial, ketika ia mengunggah foto anaknya yang sedang menggenggam jersey Leeds.
Foto ini adalah awal mula dari kisah David Stockdale di media sosial bersama dengan para penggemarnya. Foto ini ia ambil kala anaknya berulang tahun yang kelima. Dalam foto, tampak sang anak menggenggam jersey Leeds, dengan caption bahwa seorang kawan Stockdale telah memberikan jersey itu kepada anaknya. Raut kebahagiaan juga tampak di wajah anak Stockdale, tapi tidak dengan jawaban dari unggahan tersebut.
Dalam kolom komentar unggahan di atas, tampak jawaban-jawaban negatif dari para pengikut Stockdale perihal anaknya yang mengenakan jersey Leeds tersebut. Orang-orang menganggap bahwa unggahan tersebut bersifat provokatif, apalagi Stockdale baru saja meresmikan kepindahannya ke Birmingham City.
Merasa bahwa privasinya diusik, Stockdale pun langsung angkat bicara di akun Twitter-nya. Ia menjelaskan bahwa itu hanya sekadar ungkapan kebahagiaannya atas ulang tahun anaknya yang kelima, tidak ada maksud lebih dari unggahan tersebut. Ia juga menyebut bahwa ia dan keluarganya berasal dari Leeds, dan ia menyebut bahwa anaknya punya hak untuk mendukung tim mana pun yang ia suka. Unggahan ini tidak ada hubungannya dengan karier sepakbola yang sedang ia jalani.
https://twitter.com/stockogk1313/status/874388548778168321
https://twitter.com/stockogk1313/status/874388786444214272
https://twitter.com/stockogk1313/status/874390243859984384
Klarifikasi dari Stockdale ini pun masih menimbulkan reaksi yang beragam. Ada beberapa pengikut yang mulai melunak, dan sadar bahwa dalam unggahan tersebut posisi pemain kelahiran Leeds ini adalah sebagai seorang ayah, namun ada juga yang tetap keras. Tapi ada dua reply menarik yang diunggah oleh pengikut berdasarkan cuitan Stockdale di atas. Yang satu menyebut Stockdale berada dalam posisi mega privileged position, dan yang satu lagi menyebut media sosial adalah outlet for a stupid.
https://twitter.com/cocamalia/status/874541150740336640
https://twitter.com/Garethclarke24/status/874389406211350528
Kasus Stockdale ini mungkin hanya merupakan satu dari sekian banyak kasus di media sosial yang pernah dialami pemain sepakbola. Dengan posisi yang terkenal, setingkat pesohor atau artis, pesepakbola riskan mengundang kontroversi dalam setiap hal yang ia unggah ke media sosial.
***
Dengan adanya media sosial, batasan jarak ataupun lokasi antara pengikut dan yang diikuti seakan menjadi tidak ada. Ia adalah jembatan panjang yang membentuk sebuah ikatan antara pengikut dan yang diikuti. Bahkan, tak jarang ikatan emosional terbentuk antara pengikut dan yang diikuti, saking sudah tidak adanya jarak yang membatasi.
Tapi di sisi lain, media sosial juga menghilangkan batas privasi seseorang. Kebebasan berkomentar membuat orang-orang kerap melontarkan hinaan atau cacian, tanpa ada yang menyaring sama sekali. Inilah kadang yang membuat kontroversi karena kadang si pengikut tak tahu makna sebenarnya dari unggahan orang yang ia ikuti di media sosial.
Perkembangan ini tak bisa ditahan. Ke depan, kasus-kasus serupa mungkin bisa saja terjadi, selama media sosial masih menjadi salah satu platform orang-orang untuk berkomunikasi. Satu hal yang bisa dilakukan oleh kita sebagai pengguna media sosial, adalah kita harus mengerti batasan dan etika dalam bermedia sosial, sehingga kelak ke depan, kasus Stockdale yang dicampuri urusan pribadinya tidak terjadi kembali.
foto: @TheFLZone
Komentar