Persib Bandung menjalani Liga 1 Indonesia 2017 dengan berstatus sebagai juara Indonesia Super League 2014. Walaupun begitu, performa mereka hingga 11 pertandingan yang sudah dijalani, terbilang di luar ekspektasi. Minggu malam (18/06), Persib menelan kekalahan dari Barito Putera dengan skor 1-0.
Saat artikel ini ditulis, Persib menempati posisi ke-12, atau empat strip di atas zona degradasi. Dari 11 laga, Persib hanya mampu meraih empat kemenangan saja. Sisanya, skuat berjuluk Maung Bandung ini meraih empat imbang dan tiga kalah, sehingga total hanya mengumpulkan 16 poin.
Total 16 poin sebenarnya bukan sebuah bencana besar karena secara hitung-hitungan satu kemenangan saja bisa membuat Persib langsung kembali menempati posisi lima besar. Namun, yang menjadi bencana bagi Persib adalah permainan mereka yang bisa dibilang tidak istimewa, tidak mencerminkan sebagai kesebelasan papan atas dengan skuat bertabur bintang.
Bukan hanya dari kesulitan Persib dalam meraih kemenangan, namun Persib pun sangat sulit mencetak gol. Penampilan yang tidak impresif Persib hanya mampu melesakkan sembilan gol dari 11 laga, jumlah yang sama dengan torehan gol top skorer sementara Liga 1 2017 yakni Peter Odemwingie. Apalagi jumlah tersebut merupakan tersedikit ketiga bersama Arema FC dan Persegres Gresik.
Tentu hal tersebut menunjukkan ada yang salah dengan Persib. Padahal Persib musim ini sebenarnya masih ditukangi oleh Djajang Nurjaman, pelatih yang membawa Persib juara pada 2014, serta dihuni oleh pemain top di segala lini dari susunan pemain utama hingga cadangan. Lantas apa yang salah dari Persib?
Belakangan, situasi dalam internal Persib sendiri cukup panas karena mendapatkan kritikan keras dari Bobotoh sebagai pendukung Persib. Banyak yang menyebut adanya intervensi, sebagian lain menyebutkan monotonnya strategi yang diterapkan Djanur.
Perihal intervensi, hal ini masih simpang siur dan dari manajemen Persib pun, termasuk sang pelatih sendiri, membantah adanya intervensi. Tapi soal monotonnya strategi, hal ini cukup bisa diperdebatkan, sesuai kaca mata taktikalnya masing-masing.
Pada tulisan ini, saya sendiri akan coba membahas penyebab tidak istimewanya strategi yang diterapkan Djanur di Liga 1 ini. Dan saya rasa hal inilah yang menjadi penyebab utama Persib tampil inferior di Liga 1 2017 ini.
Tidak mendapatkan pengganti pemain kunci yang tepat
Djanur masih menggunakan formasi dasar 4-2-3-1 selayaknya yang ia terapkan pada ISL 2014. Beberapa pemain yang memperkuat skuat juara Persib pada 2014 masih berada dalam tim seperti I Made Wirawan, Vladimir Vujovic, Atep, Tantan, Hariono, hingga Tony Sucipto. Sementara itu Achmad Jufriyanto dan Supardi Nasir yang sempat mampir ke Sriwijaya FC pun kembali direkrut. Maka bisa dibilang, skuat Persib saat ini tak terlalu jauh berbeda dengan skuat Persib 2014.
Namun dalam skuat Persib saat ini, mereka kehilangan pemain seperti Ferdinan Sinaga, Muhammad Ridwan, Makan Konate, dan Firman Utina. Padahal keempat pemain ini merupakan figur penting Persib saat menjadi juara.
Persib sebenarnya punya pemain pengganti sepadan untuk menjaga kualitas mereka. Dedi Kusnandar bisa menjadi tandem ideal bagi Hariono. Wildansyah terbukti bisa menjadi pilihan utama di Sriwijaya FC. Kim Jeffrey Kurniawan adalah gelandang enerjik yang menjadi pemain kunci Pelita Bandung Raya. Raphael Maitimo merupakan pemain naturalisasi yang berlabel timnas. Sergio van Dijk masih merupakan penyerang jempolan di Indonesia. Shohei Matsunaga pun sebelumnya menjadi andalan di Persegres Gresik dan Persiba Balikpapan. Ditambah lagi, Persib punya pemain sekelas Michael Essien dan Carlton Cole. Jangan lupa juga pemain muda berbakat dalam diri Gian Zola dan Febri Hariyadi.
Sialnya, para pemain anyar tersebut berbeda gaya bermain dengan para pemain kunci yang meninggalkan Persib. Ini yang menyebabkan pola penyerangan Persib tidak seefektif dan seefisien pada 2014 lalu.
Di lini depan, Ferdinan digantikan oleh Van Dijk dan Cole. Secara teknik permainan, Van Dijk dan Cole tentu di atas rata-rata pemain Indonesia. Namun keduanya bertipikal target man, seorang penyerang yang area bermainnya tak jauh dari kotak penalti. Keduanya merupakan pemain no. 9 murni. Pemain lain harus berupaya memanjakan penyerang seperti ini, maka tak heran keduanya tak banyak berlari mengejar atau pun menggiring bola.
Peran tersebut tentu berbeda dengan apa yang dilakukan Ferdinan di lapangan. Penyerang yang kini membela PSM Makassar ini punya kecepatan yang bisa diandalkan untuk mengejar bola daerah atau menggiring bola untuk merusak sistem penjagaan pemain lawan. Ia bisa ada di sayap, di tengah (pada posisi gelandang) dan dengan cepat berada di kotak penalti. Perbedaan peran Ferdinan dan Van Dijk/Cole ini cukup menjelaskan mengapa Persib kesulitan menciptakan gol lewat serangan balik.
Soal kecepatan, Persib sendiri kerap mereplika apa yang dilakukan Ferdinan tersebut dengan menempatkan Shohei atau Tantan di Liga 1 2017. Akan tetapi keduanya pun punya tipikal permainan yang berbeda dengan Ferdinan. Tantan cepat, tapi bukan penyelesai akhir yang andal (Ferdinan mencetak 11 gol pada 2014, Tantan hanya dua). Matsunaga cepat dan kreatif, tapi ia bukan tipikal penyerang utama sebagaimana di Persiba ia selalu ditempatkan di belakang penyerang no. 9 (Pedro Javier di Gresik dan Vinicius Reis/Maycon Calijuri di Persiba).
Pemain seperti Van Dijk dan Cole membutuhkan pemain-pemain yang memberikannya umpan-umpan manis ke kotak penalti. Dalam pola 4-2-3-1, pemain sayap punya peranan besar untuk memaksimalkan penyerang target man lewat umpan-umpan silangnya. Sialnya, sayap Persib saat ini berbeda dengan 2014.
Baca juga: Carlton Cole Ingin Persib Memaksimalkannya Sebagai Target Man
Toncip dan Supardi masih ada, namun pemain seperti Atep dan Febri mengisolasi agresivitas mereka dalam menyerang. Di sisi kanan, Ridwan bisa men-delay bola untuk memberikan kesempatan Supardi melakukan overlap, membuat Persib sering unggul jumlah pemain di sayap. Kombinasi ini merupakan senjata utama Persib dalam mengobrak-abrik pertahanan lawan.
Tapi saat ini, Supardi terbilang jarang membantu penyerangan. Hal ini tak lepas dari gaya permainan sayap kanan Persib, yang kerap diisi oleh Febri, berbeda dengan Ridwan. Jika Ridwan sering memberikan umpan daerah pada Supardi, Febri lebih senang menggiring bola sendiri, entah itu ke ujung lapangan maupun ke dalam kotak penalti. Maka tak heran kontribusi Supardi untuk lini serang pada musim ini terbilang minim, karena ia jarang melakukan overlap.
Tantan, yang pada 2014 bermain sebanyak 26 kali dari 29 pertandingan ISL, memang tak seperti Ridwan dengan kemampuan umpan silangnya saat ditempatkan di sayap kiri. Namun, Tantan merupakan pemain sayap yang rajin membantu pertahanan. Kecepatan dan kengototannya dalam bermain ini bisa meng-cover full-back Persib dalam melakukan transisi menyerang ke bertahan. Hal ini yang tidak ditemukan dalam diri Atep, sehingga Toncip lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan untuk membantu penyerangan. Apalagi saat lini depan Persib tumpul, Atep lebih banyak dijadikan sebagai goal-getter, lebih sering berada di kotak penalti.
Bersambung ke halaman berikutnya
Komentar