Oleh: Rofi Ali Majid
Perhelatan final Liga Champions Eropa telah digelar pada awal Juni ini. Dua kesebelasan raksasa asal Eropa saling bertemu. Adu taktik dan tebar serangan telah terjadi dalam duel tersebut, demi menjadi kesebelasan terelok se-jagad Eropa.
Real Madrid sebagai kesebelasan dengan koleksi gelar juara Liga Champions terbanyak, akhirnya mampu mempertahankan statusnya sebagai juara bertahan. Juventus, akhirnya harus mengubur mimpi untuk membawa pulang piala Liga Champions untuk kali ketiga pada tahun ini.
Di luar persaingan dua tim tersebut, saya sangat senang mengetahui final Liga Champions jatuh pada bulan Ramadan. Tak ada alasan lain kecuali bisa nonton bola sekaligus sahur. Nikmat yang hanya bisa dirasakan oleh para pecinta bola karbitan seperti saya.
Jika kembali pada judul, maka timbul pertanyaan, ada hubungan apakah gerangan antara final Liga Champions di bulan Ramadan dengan menilai kesebelasan melalui perspektif pendidikan? Tentu saja tidak ada. Di sini saya hanya ingin mencoba menilai sepakbola melalui perspektif yang sesuai dengan latar belakang pendidikan saya, yakni sebagai calon pendidik.
Dalam dunia pendidikan, ada tiga aspek yang sering digunakan oleh pendidik untuk menilai peserta didik. Aspek tersebut adalah aspek kognitif, afektif, serta psikomotorik. Benyamin Bloom-lah yang mencetuskannya pada 1956, kemudian lebih dikenal dengan istilah Taksonomi Bloom.
Taksonomi sendiri berasal dari bahasa Yunani, dari kata tassein yang berarti klasifikasi dan nomos yang berarti aturan. Taksonomi juga bisa diartikan sebagai struktur hierarki yang mengidentifikasikan kemampuan mulai dari tingkat yang rendah, sampai tingkat yang tinggi.
Aspek pertama dalam Taksonomi Bloom adalah aspek kognitif. Ada beberapa poin yang digunakan sebagai acuan dasar menilai aspek kognitif. Acuan tersebut antara lain pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisa, sintesis, serta evaluasi. Dalam sepakbola, permainan cepat, imajinatif, kreatifitas tinggi, passing satu dua, serta menyerang merupakan aspek kognitif.
Dalam olahraga sepakbola, diperlukan keseimbangan antara otak dan tenaga. Berpikir cepat dan tepat dalam kondisi lelah tentu merupakan hal yang sulit. Tak jarang kesebelasan yang memiliki nilai kognitif rendah begitu mudah melakukan blunder, salah passing, serta sulit mengembangkan permainan.
Ada beberapa kesebelasan yang menurut saya mempunyai nilai kognitif tinggi. Tottenham Hotspur, Arsenal, dan Barcelona adalah termasuk di antaranya. Ketiganya sering memperagakan permainan indah. Komposisi pemain dengan kemampuan individu yang mumpuni, memudahkan sang pelatih dalam meracik strategi di lapangan hijau.
Selanjutnya adalah aspek afektif. Penilaian aspek ini menitikberatkan pada emosi, misalnya nilai, perasaan, penghargaan, minat serta motivasi. Sepakbola, sebagai olahraga sejuta umat, memiliki penikmat dengan jumlah yang besar pula. Mereka mendukung kesebelasan kesayangan mereka dengan semangat tinggi. Sayangnya rasa cinta terhadap kesebelasan sering membuat manusia bertindak irasional. Ultra-klub-isme dapat merugikan orang lain.
Sebagai contoh, pada 2012 terjadi kerusuhan suporter yang menelan 79 korban jiwa, serta ribuan luka-luka. Tragedi ini terjadi di Stadion Port Said, Mesir. Suporter kesebelasan Al-Masyri yang menjadi tuan rumah, mengamuk, menghajar, serta mengejar pemain sekaligus suporter kesebelasan Al-Ahly yang menjadi lawan duel mereka waktu itu. Padahal kemenangan sudah diraih tuan rumah dengan skor 3-1. Dari kasus ini dapat dinilai aspek afektif dari suporter Al-Masyri sangat buruk.
Aspek yang menjadi penilaian terakhir adalah psikomotorik. Aspek ini menekankan pada kemampuan yang dihasilkan dari motorik manusia. Saya menilainya dari kengototan kesebelasan dalam bermain. Di Liga 1 2017, kita bisa melihat permainan dari PSM Makasar dan PS TNI sebagai contoh penggunaan aspek psikomotorik dalam sepakbola.
Kedua kesebelasan memiliki kesamaan, yakni permainan ngotot. Hal ini dapat dilihat dari jumlah pelanggaran yang mereka buat. Dilansir dari Kumparan per tanggal 16 Mei 2017, dalam enam laga berjalan, PSM telah membuat 97 pelanggaran, dengan 21 kartu kuning dan tiga kartu merah.
Hal tersebut tidak sia-sia, karena berhasil membawa PSM ke puncak klasemen sementara. Tidak berbeda jauh, PS TNI pun telah membuat 93 pelanggaran, dengan 18 kartu kuning dan dua kartu merah. Namun PS TNI masih berkutat di papan tengah klasemen.
Dari aspek-aspek yang telah disebutkan tadi, aspek-aspek di atas dapat dijadikan acuan dalam bermain sepakbola. Jika aspek kognitif, afektif, serta psikomotorik dilatih dalam kesebelasan, tentu akan menghasilkan permainan yang hebat. Permainan hebat tidak berarti sempurna karena kesempurnaan itu hanya milik Tuhan semata.
Kesebelasan yang dicatut namanya dalam tulisan ini hanya interpretasi penulis. Pembaca dilarang baper, marah, apalagi sampai mengamuk jika kesebelasan idolanya tidak masuk dalam nominasi penilaian. Jika ingin memiliki kesebelasan yang bagus, maka setidaknya berlatihlah memanajemen tim.
Mencoba permainan Football Fantasy atau Top Eleven adalah salah satu caranya. Kita akan belajar bagaimana meracik strategi, menjaga moral pemain, serta membangun kesebelasan yang hebat dari level paling bawah. Akhirnya, semoga dunia persepakbolaan Indonesia semakin maju, serta suporter semakin dewasa dalam mendukung kesebelasan kesayangan.
foto: juventus.com
Penulis adalah mahasiswa yang berkuliah di salah satu universitas di Yogyakarta. Biasa berkicau di akun @rofialimajid
Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis lewat rubrik Pandit Sharing. Isi dan opini di dalam tulisan merupakan tanggung jawab penuh penulis.
Komentar