Seorang pelukis akan terus menciptakan lukisan selama ia hidup. Sama dengan pesepakbola yang akan terus menendang bola selama ia masih hidup. Keduanya akan berhenti ketika tangan-tangannya tak sanggup melukis lagi (pelukis), dan kaki-kakinya tidak sanggup untuk berlari lagi (pesepakbola).
Dalam hidupnya, seorang pelukis lazimnya akan cukup banyak menggantungkan hidupnya dari lukisan yang ia buat. Bisa dibilang, pelukis akan bekerja sambil berkarya dan mencipta. Namun, dari sekian banyak lukisan yang dibuat oleh sang pelukis, kadang ada beberapa lukisan yang tak laku dijual di pasaran.
Soal tidak lakunya lukisan yang dijual di pasaran, ada nama Vincent William van Gogh, pelukis pasca-impresionis kenamaan dari Belanda. Zaman sekarang, tak ada yang meragukan hasil karya dari Van Gogh. Karya-karya yang ia buat, seperti The Starry Night ataupun The Potato Eaters, disebut oleh para pengamat seni sebagai karya yang melampaui zamannya.
Namun, ketika Van Gogh masih hidup, justru ia tidak menikmati buah dari hasil-hasil lukisannya tersebut. Total dari 2.100 lukisan yang ia ciptakan semasa hidupnya, hanya satu yang berhasil dijual oleh sang adik, Theo van Gogh. Theo adalah orang yang paling gigih dalam soal menjual lukisan Vincent kepada khalayak, sebelum perjuangannya selesai dan akhirnya diteruskan oleh sang istri, Johanna Bonger.
Pesepakbola pun hampir sama seperti pelukis. Ia bisa jadi punya kemampuan olah bola yang mumpuni, kemampuan teknik yang di atas rata-rata, yang membuatnya bak seorang pelukis di atas lapangan yang sedang menari-nari di atas kanvas hijau berupa lapangan sepakbola.
Hasil guratannya pun kadang menimbulkan decak kagum banyak orang yang menonton. Umpan tak terduga, giringan bola bak dewa, ataupun tendangan-tendangan menggelegar yang membuat seisi stadion sampai berdiri dan bertepuk tangan memberikan applause.
Namun, hampir sama seperti pelukis yang karya lukisannya kadang tidak laku dijual, kerap kali semua guratan hasll lukisan pesepakbola di atas lapangan tak menghasilkan sesuatu yang diinginkan sekaligus tanda bahwa permainannya laku dijual, yaitu sebuah trofi.
Inilah yang terjadi pada seorang Michel Platini, seorang pemain asal Prancis yang biasa beroperasi di lini tengah sebagai gelandang serang.
***
Platini lahir pada 21 Juni 1955 di sebuah daerah bernama Joeuf, Prancis. Ia lahir dari orang tua yang punya darah Italia. Perpaduan antara darah Italia dan tempat lahirnya Prancis, dua negara dengan kultur seni yang cukup kuat, menjadikan Platini punya jiwa seni dalam sepakbola yang ia mainkan.
Biasa bermain di posisi sebagai gelandang serang, membuat Platini berkembang menjadi seorang pelukis andal di lapangan hijau (baca: pemain). Umpan-umpannya, caranya mengelabui pemain lawan, serta gol-gol yang ia cetak bagi tim yang ia bela, selayak guratan pelukis di lapangan hijau.
Di kawasan Eropa, hasil lukisan Platini memperoleh pengakuan dan terhitung cukup laku dijual. Di Prancis, ia mendapatkan gelar Ligue 1, Ligue 2, dan Coupe de France. Di Italia, ia mendapatkan gelar Serie A dan Coppa Italia. Gelar Liga Champions berhasil ia dapatkan kala membela Juventus, begitu juga gelar Piala Eropa yang ia dapatkan pada 1984 bersama timnas Prancis.
Namun, seperti halnya Van Gogh, ada masa ketika lukisan Platini tidak laku dijual. Hal itu terjadi dalam ajang Piala Dunia 1982 di Spanyol dan ajang Piala Dunia 1986 di Meksiko. Dua momen itu, menjadi masa kala lukisan Platini kalah saing di pasar.
Van Gogh, walaupun ia didapuk sebagai pelukis kenamaan, sempat merasakan getir ketika lukisan yang ia cipta tidak laku semasa ia hidup. Platini, dengan segala kemampuan luar biasanya sebagai pesepakbola, juga sempat merasakan saat lukisannya tidak laku dijual di pasar. Hal itu terjadi saat Piala Dunia 1982 dan 1986.
Pada Piala Dunia 1982 dan 1986, hasil lukisan Platini, dibantu dengan rekan-rekannya di Carre Magique gagal dijual di pasaran. Total di dua Piala Dunia tersebut, Prancis hanya berhasil mencapai babak semifinal saja. Mereka gagal menjadi juara, dan uniknya, ada satu seniman yang sulit mereka kalahkan dalam dua perhelatan Piala Dunia tersebut: Jerman Barat.
Pada Piala Dunia 1982, mereka harus kalah dari Jerman Barat di semifinal lewat babak adu penalti, dibumbui dengan kejadian tabrakan antara Harald Schumacher dan Patrick Battiston. Di Piala Dunia 1986, Jerman Barat lagi-lagi mengalahkan Prancis dengan skor 2-0 di babak normal lewat dua gol dari Andreas Brehme dan Rudi Voeller.
Di ajang Piala Dunia, Platini gagal menjual lukisan terbaiknya. Uniknya, Jerman Barat-lah yang menjadi pengganjal dari kegagalan Platini menjual lukisan terbaiknya kepada dunia (baca: memenangkan trofi).
***
Lain hal dengan nasib Van Gogh, yang lukisannya mulai laku dijual selepas ia meninggal dunia, kegagalan Platini menjual lukisannya kepada dunia justru menjadi cacat tersendiri dalam kariernya sebagai seniman lapangan hijau. Walau di level Eropa ia menuai sukses, ia belum bisa bicara banyak dengan seniman-seniman lain kala bersaing di level dunia.
Cacat ini akan terus terekam dalam ingatannya, dan mungkin, akan terkenang secara tiba-tiba saat ia meratapi nasibnya yang harus kena hukum FIFA akibat keterlibatannya dalam kasus korupsi yang ia lakukan bersama Sepp Blatter.
Komentar