Bagi pemain sepakbola, mereka mungkin melihat kesuksesan mereka dengan seringnya mereka bermain untuk kesebelasan mereka, diandalkan kesebelasan, dan pada akhirnya mempersembahkan gelar juara.
Jika salah satu dari tiga aspek di atas tidak bisa tercapai, sangat mungkin seorang pemain akan memilih kesebelasan lain, umumnya kesebelasan yang sudah menjadi langganan juara (sebut saja Real Madrid, Barcelona, atau Bayern München). Gelar pribadi seperti top skor atau pemain terbaik adalah “bonus” lain yang bisa menjelaskan kesuksesan seorang pemain sepakbola.
Kemudian bagi sebuah kesebelasan, faktor kesuksesan sebuah kesebelasan di sepakbola mungkin masih bisa diperdebatkan. Apakah kesebelasan yang paling sering juara bisa disebut sukses? Bagaimana dengan kesebelasan yang paling bisa memaksimalkan keuntungan finansial mereka?
Kalau kita membicarakan “kesebelasan besar” seperti Real Madrid, Barcelona, atau Bayern München yang sudah disebutkan di atas, mereka mungkin bisa membicarakan gelar juara hampir setiap musimnya. Tapi, bagaimana dengan “kesebelasan kecil”, misalnya Eibar atau Union Berlin?
Apakah mereka harus menjadi juara dahulu baru bisa disebut sukses? Dalam beberapa kesempatan, kita mungkin bisa menemukannya seperti pada kasus Leicester City (2015/2016), VfL Wolfsburg (2008/2009), atau Deportivo de La Coruña (1999/2000).
Tapi tidak perlu jauh-jauh menjadi juara, kadang kesuksesan bagi mereka yang dianggap “kesebelasan kecil” bisa sebatas promosi ke Serie B Italia (Castel di Sangro pada 1996), sekadar mengalahkan “kesebelasan besar” seperti Arsenal (Wrexham pada Piala FA 1992), atau menghasilkan pemain fenomenal seperti Jamie Vardy (Stocksbridge Park Steels yang sekarang berlaga di kompetisi level 7 di sistem liga sepakbola Inggris).
Relatifnya kesuksesan ini membuat kita harus melihat definisi sukses dari perspektif yang lain bagi sebuah kesebelasan yang tidak seberuntung mereka yang langganan juara atau dimiliki oleh pengusaha tajir, yaitu bisa menghasilkan dan memakai pemain yang mereka hasilkan sendiri.
Memberdayakan para pemain muda
CIES Football Observatory pernah menganalisis kesebelasan-kesebelasan divisi teratas di 31 negara UEFA. Mereka ingin mencari kesebelasan mana yang paling bisa memberdayakan para pemain muda (usia 15-21 tahun) untuk bermain bagi kesebelasan mereka sendiri dalam tiga musim terakhir.
Kita mungkin akan langsung berpikir La Masia (Barcelona), La Fábrica (Real Madrid), akademi Bayern München, akademi Manchester United, atau akademi Ajax Amsterdam yang menjadi kesebelasan paling konsisten menelurkan dan memainkan pemain-pemain didikan mereka.
Tapi ternyata berdasarkan data dari CIES tersebut, FC Tatran Prešov dari Slovakia berhasil berada di peringkat paling atas dengan persentase penggunaan pemain muda sebesar 74,5%. Para pemain muda hasil didikan mereka sendiri yang sudah berada di kesebelasan mereka setidaknya dalam tiga musim terakhir, ternyata juga bermain secara reguler.
Di peringkat berikutnya ada Volyn Lutsk dari Ukraina (71,4%), Aalborg BK dari Denmark (68,3%), Dnipro Dnipropetrovsk dari Ukraina (67,7%), dan JJK Jyväskylä dari Finlandia (64,1%).
Kelima kesebelasan di atas bisa jadi sangat asing di telinga kita. Namun jangan khawatir, CIES juga menganalisis hal ini khusus pada lima liga top Eropa saja (La Liga Spanyol, Bundesliga Jerman, Liga Primer Inggris, Serie A Italia, dan Ligue 1 Prancis).
Dari kelima liga teratas berdasarkan koefisien UEFA tersebut, didapatkan bahwa Athletic Bilbao menjadi kesebelasan yang paling memberdayakan para pemain muda mereka dengan persentase 64%. Di peringkat kedua ada Real Sociedad tapi terpaut jauh, yaitu 50,1%.
Berikutnya ada Olympique Lyonnais (46,8%), Nantes (41,1%), dan Toulouse (38,4%). Sementara kesebelasan asal Jerman yang paling banyak memberdayakan pemain muda mereka adalah Schalke 04 (35%), di Italia ada AC Milan (25,4%), dan di Inggris ada Arsenal (24,8%).
Beberapa “kesebelasan besar” yang disebutkan di bagian awal sub-pembahasan ini memiliki persentase yang beragam, yaitu Barcelona dengan 34,3%, Ajax dengan 31,8%, Bayern dengan 27,7%, Real Madrid dengan 21,1%, dan Manchester United dengan 20,2%.
Sementara beberapa kesebelasan yang tidak memberdayakan pemain muda binaan mereka sama sekali (ditunjukkan dengan angka 0%) dalam tiga musim terakhir antara lain adalah Manchester City, Crotone, Leganés, dan RB Leipzig. Secara umum, negara Spanyol, Prancis, dan Jerman adalah tiga negara yang kesebelasan-kesebelasannya paling bisa memberdayakan para pemain muda mereka.
Namun dalam membaca analisis CIES di atas, kita jangan sampai salah kaprah. Analisis CIES tersebut adalah analisis yang menunjukkan kesebelasan dengan akademi yang menghasilkan pemain utama terbanyak bagi kesebelasan mereka sendiri, bukan menunjukkan kesebelasan dengan akademi terbaik yang menghasilkan banyak pemain terbaik pula. Daftar selengkapnya bisa dilihat di sini.
Sebagai informasi tambahan, FK Senica dari Slovakia adalah kesebelasan termuda dengan rata-rata pemain yang bertanding di atas lapangan berusia 22,14 tahun. Berikutnya ada Lokomotiva Zagreb dari Kroasia (22,33 tahun), Twente (22,82 tahun), Ajax (22,90 tahun), dan Krško dari Slovenia (22,92 tahun).
Sementara dari lima liga top Eropa, Toulouse menjadi kesebelasan termuda dengan 23,91 tahun, selanjutnya ada RB Leipzig (24,45 tahun), Bayer Leverkusen (24,84 tahun), Granada (24,98 tahun), dan Nice Côte d`Azur (25,06 tahun). Selengkapnya bisa dilihat di sini.
***
Pemain muda adalah fondasi dari sepakbola. Sepakbola harus terus menghasilkan pemain jika ingin terus berlangsung. Sebuah kesebelasan turut berperan dalam menghasilkan pemain ini karena pemain tidak tiba-tiba muncul menjadi bintang lapangan.
Kesebelasan yang baik adalah kesebelasan yang bisa menghasilkan pemain muda, yang mereka didik sendiri untuk dimainkan dan menjadi pemain yang lebih besar. Tapi menghasilkan pemain muda yang kemudian diberdayakan saja memang tidak menjadi sebuah kesuksesan.
Memberdayakan pemain muda, sesuai data dari CIES di atas, bukan hanya membicarakan soal kualitas pemain tersebut, melainkan kuantitas. Sebagai contoh, bisa jadi FC Tatran adalah kesebelasan yang menghasilkan dan memberdayakan banyak pemain muda, tapi belum tentu mereka menghasilkan pemain muda yang berkualitas.
Jika kesebelasan mereka tidak memiliki fasilitas atau kualifikasi yang baik dalam membesarkan pemain, pemain muda mungkin harus pergi untuk berkembang dan memaksimalkan potensi mereka. Lionel Messi mungkin tidak akan menjadi Messi yang sekarang jika berlatih dan bertanding di FC Tatran. Messi bisa menjadi salah satu pemain terbaik dunia karena La Masia dan Barcelona.
Namun di sepakbola yang sudah semakin modern, kesebelasan yang kaya akan memiliki kemungkinan kesuksesan yang lebih tinggi. Sehingga kita bisa melihat kesuksesan sebuah kesebelasan, terutama “kesebelasan kecil”, dari produksi pemain muda mereka, dan bagaimana kesebelasan itu bisa dan mau memberdayakan para pemain hasil didikan mereka tersebut.
Sepakbola harus terus menjadi sesuatu yang sustainable. Memperdayakan pemain muda adalah salah satu syarat untuk melanjutkan sepakbola.
Komentar