Mendapatkan tuduhan tidak beralasan, apalagi ketika tuduhan tersebut salah dan si penuduh tidak meminta maaf, tentu akan menyisakan rasa kesal tersendiri. Hal inilah yang menimpa Romelu Lukaku.
Nama Romelu Lukaku memang sempat menjadi pusat perhatian. Selain karena kedatangannya ke Manchester United yang memakan biaya sebesar 75 juta paun, penampilan Lukaku selama ajang pramusim pun terbilang cukup menjanjikan. Enam kali bermain di ajang pramusim, dengan jumlah menit yang bervariasi, tiga gol dilesakkannya.
Penampilan Lukaku di pramusim pun menuai harapan bagi United. Setelah ditinggalkan oleh Zlatan Ibrahimovic, setidaknya masih ada sosok penyerang yang cukup mumpuni di lini depan United. Namun, jelang memasuki musim 2017/2018, Lukaku mengalami kejadian yang cukup tidak mengenakkan. Ia mendapatkan sebuah tuduhan yang tidak akurat dari empat media besar Inggris.
Dilansir dari Independent, ada empat media yang menyebarkan sebuah berita tidak akurat tentang Romelu Lukaku sekira seminggu ke belakang. Keempat media tersebut adalah The Sun, Daily Express, Daily Mail, serta Daily Mirror. Keempat media tersebut memberitakan bahwa Lukaku adalah seorang Muslim, yang kabarnya menjadi penyebab ia gagal mendapatkan gelar Man of the Match ketika ajang ICC melawan Manchester City.
Sontak hal ini pun menimbulkan kekesalan publik, apalagi setelah diketahui bahwa keempat media tersebut tidak mengeluarkan permohonan maaf secara publik atas kesalahan ini.
Awal kisah dimulai dari International Champions Cup 2017
Kisah yang menyeret nama Lukaku ini berawal dari sebuah peristiwa yang terjadi dalam ajang ICC 2017, seusai laga yang mempertemukan antara Manchester United dan Manchester City. Pertandingan sendiri dimenangkan oleh The Red Devils dengan skor 2-0, dan Lukaku mencetak salah satu gol kemenangan United pada pertandingan tersebut.
Masalah pun dimulai ketika penganugerahan gelar Man of the Match dalam laga tersebut. Lukaku pun gagal mendapatkan gelar Man of the Match dalam laga tersebut. Keempat media tersebut: The Sun, Daily Express, Daily Mail, dan Daily Mirror memberitakan bahwa Lukaku gagal mendapatkan gelar tersebut karena ia Muslim. Memang hadiah dari Man of the Match sendiri adalah minuman beralkohol, minuman yang dilarang di dalam agama Islam.
Perkara Lukaku tidak mendapatkan gelar Man of the Match, ataupun perkara Lukaku adalah seorang Muslim atau bukan, itu adalah satu soal. Namun, perkara memberitakan hal yang salah, itu hal lain.
Ternyata, tidak lama setelah berita ini keluar di empat media tersebut, para pendukung Everton langsung bergerak. Para pendukung tim yang sebelumnya pernah dibela oleh Lukaku ini pun menyebut bahwa Lukaku bukanlah seorang Muslim, karena namanya pernah terdaftar dalam sebuah artikel di Christian Today sebagai lima pemain bintang beragama Kristen yang tampil di Piala Eropa 2016. Namanya ada bersama Daniel Sturridge, Wayne Rooney, Mario Götze, serta Christian Benteke.
https://twitter.com/Med_Goha/status/891722470146924544
Tulisan soal lima pesepakbola bintang beragama Kristen di Christian Today bisa Anda baca di sini
Hal ini pun sontak menimbulkan kekesalan di benak publik Inggris. Salah seorang wartawan sekaligus digital editor di Bloomberg, Siraj Datoo, menyebut bahwa Lukaku adalah penganut Kristen. Beberapa sumber dalam Independent pun menyebut bahwa Lukaku adalah seorang Katolik yang kerap membaca Alkitab setiap hari.
https://twitter.com/dats/status/890649747802931200
Namun, ada salah satu orang yang merasa khawatir akan kejadian ini. Ia adalah Miqdaad Versi, Assistant Secretary General of Muslim Council di Inggris. Ia khawatir, praktik jurnalisme yang buruk ini akan membangkitkan kembali praktik rasialisme minoritas yang pernah terjadi di Inggris.
Kekhawatiran akan bangkitnya kembali praktik rasialisme di Inggris
Dahulu kala, tepatnya pada kisaran 1980-an, Inggris lekat dengan stigma sebagai negara yang rasis. Di masa ketika praktik-praktik hooliganisme masih terjadi, orang-orang Inggris terkenal sedikit intoleran terhadap kaum-kaum minoritas, termasuk para kaum Muslim. Hal ini bisa dilihat dari film This is England karya Shane Meadows yang rilis di kisaran 2006 atau 2007 silam.
Hal inilah yang menjadi kekhawatiran tersendiri di diri seorang Miqdaad. Ia pun mengkritisi praktik jurnalisme yang buruk yang dilakukan oleh keempat media tersebut, tanpa mengindahkan kaidah fact-checking (pengecekan ulang fakta) sehingga berita tersebut pada akhirnya menjadi berita yang membuat suasana di Inggris sedikit keruh.
"Kasus terbaru ketidakakuratan berita yang terjadi sekarang ini di Inggris yang ada hubungannya dengan kaum Muslim menggambarkan sebuah praktik jurnalisme yang buruk. Berawal dari satu koran, menyambung ke koran yang lain tanpa adanya fact-checking sehingga mengakibatkan kabar yang kurang akurat menyebar ke media lainnya," ujar Miqdaad.
Bukan hanya perihal praktik jurnalisme yang buruk, Miqdaad khawatir bahwa ketidakakuratan berita ini merupakan cermin bahwa praktik rasialisme kepada kaum minoritas, termasuk Muslim, masih terjadi. Ia pun heran kenapa berita seperti itu menjadi berita penting di koran-koran tersebut.
"Sekarang, kita juga harus mempertanyakan kenapa kabar seperti ini menjadi kabar utama di koran-koran tersebut. Apa karena orang-orang Islam merupakan kaum minoritas di Inggris? Benar-benar mengecewakan," tambahnya.
https://twitter.com/miqdaad/status/891234142737879040
***
Menjadi tertuduh, apalagi jika tuduhan tersebut tidak akurat, tentu adalah hal yang tidak menyenangkan. Ini tentu menjadi pelajaran tersendiri bagi kita, bahwa sebelum melayangkan tuduhan kepada seseorang, ada baiknya melakukan kembali cek ulang berkali-kali, jangan sampai bahwa tuduhan yang disampaikan menjadi tuduhan tanpa argumentasi yang kuat..
Namun, ada satu hal yang bisa kita hindari agar kita tidak melemparkan tuduhan tidak akurat kepada seseorang, yaitu dengan menghilangkan praduga buruk atas seseorang. Dengan melakukan hal tersebut, kita tidak akan sekonyong-konyong melempar tuduhan pada seseorang, karena, apa yang tampak kadang tidak sesuai dengan apa yang ada di dalamnya.
foto: @SquawkaNews
Komentar