Jika seseorang penggemar sepakbola bisa menceritakan ulang tentang momen-momen sepakbola beberapa tahun, bahkan belasan tahun lalu, saya tidak begitu. Saya pernah tertegun mendapatkan pertanyaan dari Zen Rachmat Sugito tentang ingatan terjauh, ingatan tentang pertandingan di belasan tahun lalu yang pernah kita saksikan dan paling tidak bisa dilupakan.
Maka yang terjadi saat itu, jika Zen bisa menceritakan tentang pertandingan-pertandingan lawas yang saya sudah lupa (bahkan tidak tahu), saya masih sibuk berpikir untuk menjawab pertanyaan tersebut karena pada dasarnya saya pelupa.
Saya juga lupa kapan pertama kali saya jatuh cinta kepada sepakbola, padahal saat ini saya bekerja di bidang yang tak jauh-jauh dengan sepakbola. Yang saya ingat, dulu, ketika saya masih kelas 3 SD, saya melihat ayah saya, seorang libero, mencetak hattrick di pertandingan antar pabrik yang berlangsung di lapangan Saparua, Bandung.
Tapi selain momen di atas, ada satu ingatan lain tentang pertandingan sepakbola yang tidak bisa saya lupakan. Saat itu, saya masih kelas 4 SD, saya melihat seorang pria berambut emas menerima bola di sisi kanan, menggiring bola sedikit ke tengah, lalu melepaskan tendangan keras dari luar kotak penalti dengan kaki kirinya. Tendangannya itu merobek gawang Udinese.
Setelah melihat itu, ada beberapa hal yang berubah dalam hidup saya. Pertama, saya tidak menyukai lagi AC Milan. Jersey Milan bernomor punggung 7 bertuliskan Andriy Shevchenko tak lagi saya pakai. Gara-gara pria berambut emas itu, saya mulai mendukung Juventus, rival AC Milan. Saya pun kemudian dibelikan jersey Juventus bersponsor Fastweb (Jersey KW tentunya).
Kedua, saya ingin menjadi seperti pria itu. Menyisir sayap lawan, menggunakan nomor punggung 11, dan memiliki tendangan gledek. Saat itu, angan-angan untuk menjadi pesepakbola profesional di masa depan masih menggelora dalam jiwa. Pria berambut emas itu, Pavel Nedved namanya, saya jadikan role model.
Sebelum Nedved "datang", saya memang tidak punya hubungan khusus dengan kesebelasan mana pun. Menyukai Milan karena saya memiliki seragamnya. Tapi saat mengikuti turnamen antar SD, meski saya penyerang, saya memilih nomor punggung 5 karena terinspirasi Milan Baros di Liverpool. Tapi setelah gol itu, Nedved memang mengubah sepakbola dalam hidup saya.
***
Era 90-an hingga awal 2000-an, Pavel Nedved adalah sosok gelandang top dunia. Penampilannya yang membawa Timnas Ceko ke final Piala Eropa 1996 membuat kesebelasan-kesebelasan liga top Eropa meliriknya. PSV Eindhoven yang saat itu masih kandidat juara Piala Champions (sekarang Liga Champions) berusaha mendapatkannya. Namun akhirnya, Lazio-lah yang berhasil mendapatkan tanda tangannya.
Di Serie A Italia yang saat itu merupakan liga terbaik dunia, Nedved semakin menunjukkan kehebatannya. Bersama Nedved, Lazio berhasil menjuarai Serie A 1999/2000 beserta trofi-trofi lain seperti Coppa Italia, Super Coppa, Cup Winner`s Cup, dan UEFA Super Cup. Untuk trofi Serie A, hingga saat ini, Lazio belum lagi meraihnya.
Namun kariernya semakin meroket setelah hijrah ke Juventus pada 2001. Saat itu, sebenarnya ia diincar juga oleh kesebelasan Inggris seperti Manchester United. Tapi Si Nyonya Tua lebih berhasrat mendatangkannya. Apalagi saat itu mereka baru saja menjual salah satu pemain terbaik dunia, Zinedine Zidane, ke Real Madrid. Juve pun berani menebus Nedved dengan bayaran 41 juta euro. Fans Lazio tentu marah besar atas penjualan ini.
Menggunakan nomor 18 di Lazio, Nedved memilih nomor 11 di Juventus. Ia ditempatkan di sisi kiri serangan. Kapten timnas Ceko pada Piala Eropa 2004 ini juga punya tendangan gledek yang bisa membuat kiper ketar-ketir membendungnya. Tendangan-tendangan kerasnya itu bisa ia lepaskan baik menggunakan kaki kiri maupun kaki kanan.
Jika saat itu pemain-pemain sayap masih sangat tradisional, lebih banyak difungsikan sebagai pengumpan, Nedved memang cukup berbeda. Selain ia bisa ditempatkan sebagai gelandang serang, pergerakan dan tendangan kerasnya di area depan kotak penalti menjadi ciri khasnya tersendiri.
Ke-khas-an lain seorang Nedved adalah ia kalem di luar lapangan, tapi gahar di dalam lapangan. Di luar lapangan, ia tidak banyak bicara. Ia jauh dengan gemerlap kehidupan malam karena lebih senang menghabiskan waktu bersama keluarganya. Ia tidak suka kebisingan. Karenanya ia lebih senang menggeluti golf di waktu senggang.
Tapi di dalam lapangan, Nedved adalah pria liar. Selama 90 menit di lapangan hijau, ia akan mati-matian membela seragam kebesarannya seperti Sparta Praha, Lazio, Juventus, apalagi Republik Ceko sebagai negara kelahirannya. Ia adalah pria yang tak kenal lelah berlari. Bersama Gianluca Zambrotta, sisi kiri Juventus terbilang cukup aman karena Nedved tidak malas bertahan. Justru sebaliknya, ia bisa juga jadi perebut bola.
Keseriusan Nedved di lapangan bahkan seringkali berlebihan. Ia kadang tak segan melancarkan tekel-tekel berbahaya pada lawan. Kartu merah cukup akrab dengan kariernya. Tapi itu hanyalah bukti bahwa pemain kelahiran 30 Agustus 1972 ini selalu menampilkan yang terbaik di setiap pertandingannya.
Juventus beruntung mendapatkannya. Selain kualitasnya yang tak perlu diragukan lagi, loyalitasnya pada Si Nyonya Tua pun menjadi cerita tersendiri. Loyalitas dan kecintaannya terhadap Juventus ia buktikan saat Juve harus degradasi ke Serie B. Ketika pemain bintang lain seperti Fabio Cannavaro, Lilian Thuram, Patrick Vieira, Emerson, hingga Zlatan Ibrahimovic memilih meninggalkan Juve, Nedved, bersama Gianluigi Buffon, Mauro Camoranesi, Alessandro Del Piero, dan David Trezeguet memilih tetap tinggal.
Usia Nedved saat itu memang sudah menginjak 34 tahun, tapi bukan berarti tak ada kesebelasan lain yang meminatinya. Ia juga bisa saja pulang ke negaranya, pulang setelah ia menjadi pemain terbaik Republik Ceko tentu akan membuatnya disambut bak pahlawan. Akan tetapi, peraih Pemain Terbaik Eropa 2003 ini memilih untuk menghabiskan karier bersama Juventus.
Berbarengan dengan itu, usai Piala Dunia 2006, Nedved memutuskan pensiun dari timnas Republik Ceko. Tapi pada 2008, setelah Juventus kembali ke Serie A, ia mendapatkan panggilan kembali dari timnas Ceko untuk Piala Eropa 2008, walau ia menolak. Alasannya lagi-lagi berkaitan dengan Juventus. Saat itu, Nedved baru pulih dari cedera dan ia berkomitmen untuk hanya fokus bersama Juventus.
Walau begitu satu tahun kemudian, ia menemui akhir dari kariernya sebagai pesepakbola. Awalnya ia masih berusaha untuk mendapatkan Liga Champions bersama Juventus. Tapi dengan situasi Juventus yang tak kunjung membaik sementara usianya semakin tua, Nedved akhirnya memutuskan pensiun pada 2009.
"Saya rasa sudah cukup. Saya sudah berusia 35 tahun. Fisik, sudah tentu seperti yang terlihat (mulai menurun). Tapi yang paling saya rasakan adalah soal mental," ujar Nedved seperti yang dikutip fotbal.idnes.cz.
Akhirnya, 31 Mei 2009 menjadi hari terakhirnya sebagai pemain. Uniknya, di laga terakhirnya itu ia menghadapi kesebelasan pertamanya di luar Ceko, Lazio. Pada laga yang dimenangkan Juventus dengan skor 2-0 itu, ia mendapatkan penghormatan spesial dari penonton yang hadir. Tak mengherankan, karena total 327 penampilan telah ia bukukan bersama Juventus.
***
Nedved adalah legenda. Rasanya klub yang ditinggalkan Nedved tak menemukan lagi pengganti yang sepadan dengan pemain yang dijuluki Meriam Ceko ini. Lazio belum lagi merasakan gelar juara Serie A selepas ditinggalkan Nedved. Juventus tak punya pemain sayap kiri sehebat Nedved. Timnas Ceko pun tak punya lagi pemimpin yang bisa diandalkan dalam bertahan maupun menyerang seperti Nedved.
Karenanya, meski Nedved kini masih menjadi bagian dari manajemen Juventus, Lazio yang merupakan rivalnya akan tetap hormat pada Nedved. Apalagi Ceko dan Sparta Praha. Tidak hanya dalam ingatan saya, Nedved akan selalu ada dalam ingatan mereka, sebagai sosok gelandang yang pernah membawa mereka pada tangga kesuksesan.
Komentar