Oleh: Waradhika Hari Ramunggaran
Sepakbola saat ini sudah bukan lagi sekadar olahraga. Sekarang sepakbola sudah menjadi alat bisnis yang sangat menguntungkan. Ramai-ramai perusahaan menginvestasikan dananya ke bisnis sepakbola. Ada banyak motif perusahaan menginvestasikan dananya. Ada yang murni untuk mencari keuntungan, ada yang mencari ketenaran dan kejayaan, serta ada yang melakukannya karena hasrat dan keinginan.
Dalam bisnis sepakbola ini, ada banyak pihak yang mendapatkan keuntungan. Tidak hanya pemilik klub saja yang mendapatkan keuntungan. Pemain, pelatih, dan orang-orang yang menjadi pelaku utama dalam sepakbola juga dimanjakan oleh gaji besar dan fasilitas mewah. Pihak-pihak yang tidak bersinggungan langsung seperti akuntan, pengacara, dan pebisnis transportasi juga turut mendapatkan cipratan keuntungan.
Negara juga ikut mendapatkan keuntungan yang tidak sedikit dari pajak serta pendapatan-pendapatan lainnya. Banyaknya orang yang menggeluti bisnis sepakbola membuat negara berpotensi mendapatkan pajak yang besar, terutama dari sisi pajak penghasilan. Dengan begitu, negara bisa membiayai pengeluaran negaranya dan turut terbantu untuk mengatasi pengangguran karena banyaknya orang yang terlibat dalam sepakbola.
Ada banyak negara yang mendapatkan pendapatan pajak yang besar dari bisnis sepakbola seperti Inggris, Jerman, dan Spanyol. Akan tetapi langkah Jerman patut dicermati. Liga Jerman (Bundesliga) adalah liga yang tidak memiliki banyak pemain hebat, tetapi keuntungan yang dihasilkan beserta pendapatan pajak dari kompetisi tersebut terhitung besar. Selain itu prestasi tim nasionalnya juga bagus.
Bahkan pada 2017 ini Jerman mampu menjuarai Piala Konfederasi hanya dengan memainkan pemain-pemain muda atau pemain-pemain yang belum memiliki jam terbang di partai internasional. Dalam The 2017 Report Bundesliga, pada musim kompetisi 2015/2016, Bundesliga mencatatkan keuntungan sebesar €3.852.644.000 dan pendapatan pajak yang diterima pemerintah Jerman dari berjalannya Bundesliga sebesar €1.133.693.070.
Ada beberapa kebijakan yang membuat bisnis sepakbola di Jerman mampu menghasilkan keuntungan dan pendapatan pajak yang besar. Kebijakan yang pertama adalah kewajiban kepemilikan 50%+1. Arti dari kebijakan ini adalah suporter harus memiliki saham klub sebesar 50% dan memiliki satu hak suara pada majelis umum klub.
Kebijakan ini akan membuat klub terjaga dari invasi investor luar yang hendak mengeksploitasi klub secara sewenang-wenang. Suporter dapat mengetahui kondisi keuangan klub dan dapat mempengaruhi kebijakan klub sehingga klub tetap sehat secara keuangan.
Di Bundesliga, suporter punya hak untuk bersuara di dalam klub
Kebijakan kedua adalah sistem lisensi. Maksud dari kebijakan ini adalah klub harus menyerahkan laporan keuangan dan proyeksi keuangan klub ke depan kepada Deutsche Fussball League (DFL) supaya mendapatkan lisensi. Dengan lisensi tersebut, klub dapat berkompetisi di Bundesliga. Klub juga wajib mendapatkan opini dari auditor atas laporan keuangannya. Kebijakan ini membuat klub terbuka terhadap kondisi keuangannya sehingga jika ada klub yang kesulitan keuangan, klub lain bisa turut membantu.
Kebijakan ketiga adalah kebijakan dana jaminan. Semua klub yang berkompetisi di Bundesliga wajib menyetorkan dana jaminan sebesar €10.000.000 ke DFL per musim. Dana jaminan ini akan membantu menjaga keberlangsungan hidup suatu klub. Jika klub mengalami masalah keuangan pada saat musim kompetisi berjalan, klub akan mendapatkan dana talangan yang berasal dari dana jaminan tersebut. Namun, jika kondisi keuangan klub tetap aman sampai akhir musim, uang jaminan tersebut akan dikembalikan bersamaan dengan pembayaran uang hak siar.
Ketiga kebijakan di atas mampu membuat Jerman mampu mendapatkan pendapatan pajak yang besar dan prestasi tim nasional sepakbola yang bagus di pentas internasional. Lalu bagaimana dengan Indonesia?
Indonesia adalah negeri yang dianugerahi masyarakat yang memiliki kegilaan yang besar pada sepakbola. Akan tetapi bisnis sepakbola di Indonesia belum mampu menghasilkan pendapatan pajak sebesar Jerman. Bahkan untuk mendapatkan data keuangan tentang kompetisi sepakbola di Indonesia saja sangat susah. Data keuangan yang bisa didapatkan secara luas hanyalah ISL Financial Highlight. ISL Financial Highlight merupakan potret dari kondisi keuangan kompetisi Indonesia Super League musim 2013/2014.
Laporan tersebut menunjukkan fakta-fakta yang mencengangkan. Dari 22 klub yang mengikuti kompetisi ISL, hanya empat klub yang menyampaikan laporan keuangan yang telah diaudit, 14 klub sedang dalam proses audit, dan empat klub tidak menyampaikan laporan keuangan. Dan yang lebih miris lagi, dari 22 klub tersebut hanya ada dua klub yang dinyatakan surplus yaitu Persipura Jayapura dan Semen Padang.
Klub-klub di Indonesia juga tidak mampu mengelola pengeluaran gajinya. Rata-rata turnover to wage ratio klub-klub di Indonesia lebih dari 50%. Dengan rasio pendapatan pada gaji di atas 50% tersebut dapat disimpulkan bahwa lebih dari 50% pendapatan klub digunakan untuk membayar gaji saja. Hal tersebut akan berefek ke defisit anggaran klub yang besar sehingga membuat kelangsungan hidup klub ke depan akan terancam. Klub bisa bangkrut dan orang-orang yang bekerja di klub itu terancam kehilangan pekerjaannya.
Dengan kondisi semiris itu, potensi pajak dari bisnis sepakbola Indonesia bisa dibilang tidak besar. Ketidakterbukaan klub akan membuat investor ragu-ragu sehingga enggan menanamkan dananya. Jika investor tidak mau menanamkan dananya, kelangsungan sepakbola Indonesia tidak terjamin. Akan banyak klub yang bangkrut dan kompetisi pun bisa bubar.
Persegres Gresik United, klub yang kerap telribat masalah keuangan
Supaya bisnis sepakbola di Indonesia bisa sebesar Jerman, ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Yang pertama adalah dengan memasukkan orang-orang yang memiliki kepedulian besar terhadap sepakbola, dan sebisa mungkin bukan anggota parpol atau pejabat pemerintah. Anggota parpol atau pejabat pemerintah cenderung akan memanfaatkan sepakbola sebagai alat pencitraan untuk meraih simpati konstituen. Bukan fokus untuk memajukan sepakbola.
Yang kedua, menerapkan sistem lisensi dan dana jaminan seperti di Jerman. Klub sepakbola profesional di Indonesia wajib memiliki NPWP, melaporkan laporan keuangan yang telah diaudit, dan menyajikan laporan proyeksi keuangan tahun depan. Dengan begitu akan didapatkan data keuangan klub secara terbuka yang membuat investor tidak ragu untuk menginvestasikan dananya.
Yang ketiga, mewajibkan klub profesional Indonesia memiliki akademi sepakbola dan harus memainkan minimal 3 pemain asli binaannya dalam setiap pertandingan. Ini akan membuat klub tidak boros belanja pemain dan akan menghasilkan bibit pemain baru yang potensial.
Yang keempat, pemerintah turut berkontribusi dengan memberikan insentif pajak pada perusahaan yang mau menginvestasikan dananya di bisnis sepakbola. Hal tersebut akan mampu menarik dana dari investor yang besar terutama dari luar negeri.
Lewat ketiga hal di atas, kondisi keuangan klub di Indonesia bisa terus membaik sehingga tidak ada lagi cerita penunggakan gaji pemain atau pelatih yang selalu menghiasi setiap musim kompetisi. Jika unsur-unsur dalam sepakbola telah mendapatkan penghasilan yang layak di atas PTKP setiap tahunnya, pemerintah akan mendapatkan pajak yang besar yang dapat digunakan untuk membiayai pembangunan Indonesia. Selain itu dengan banyaknya pihak yang terlibat dalam sepakbola, perekonomian akan berjalan dan pengangguran akan terserap. Sepakbola Indonesia maju, negara untung.
Penulis adalah pegawai negeri sipil di Menteri Keuangan. Biasa berkicau di akun Twitter @waradhika_hr
Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis lewat rubrik Pandit Sharing. Isi dan opini di dalam tulisan merupakan tanggung jawab penuh penulis
Komentar