Dari serangkaian kegagalan timnas Indonesia kelompok usia muda selama 2017 ini, ada satu hal yang cukup menarik disoroti: hukuman kartu tidak perlu. Kartu tidak perlu didapatkan pemain-pemain muda Indonesia dalam situasi genting. Hal tersebut sedikit banyak merugikan tim yang berujung pada kegagalan.
Dimulai dari aksi Asnawi Mangkualam yang mendapatkan kartu merah di laga kualifikasi Piala U-23 melawan Malaysia, atau kartu-kartu yang bertebaran di ajang SEA Games 2017 sehingga Indonesia tampil pincang di semi-final, hingga yang terakhir aksi sikutan Saddil Ramdani di laga semi-final melawan Thailand. Bahkan lebih jauh, Abduh Lestaluhu melakukan tindakan tidak terpuji di partai final Piala AFF 2016 yang berujung kartu merah untuknya.
Cerita lengkap mengenai hukuman-hukuman kartu di atas, bisa dibaca di sini.
Emosi yang berlebih dari para pemain Indonesia menjadi sisi negatif dari penampilan atraktif yang secara tim mereka tunjukkan. Serangkaian kejadian di atas pun seolah menunjukkan bahwa seperti itulah mentalitas para pemain yang dipanggil timnas. Walau tidak semua pemain, namun tindakan satu pemain akan berdampak pada citra keseluruhan tim.
Atas hal itu saya menjadi bertanya-tanya, apa yang membuat para pemain Indonesia mudah emosi? Apalagi jika kita lihat pertandingan di liga. Emosi pemain seolah menjadi pemandangan umum. Bisa jadi emosi berlebih memang menjadi identitas banyak pemain di Indonesia.
Hal ini ternyata menjadi bagian tersendiri dalam sepakbola. Soal emosi pemain, ini ada kaitannya dengan winning mentality alias mental pemenang. Ini dijelaskan oleh Mauro van de Looij, seorang pelatih asal Belanda yang juga mendalami ilmu-ilmu psikologi. Dalam tulisannya di Believe Perform, mental pemenang pemain usia muda merupakan satu hal yang perlu diperhatikan oleh pelatih-pelatih.
Lalu apa itu mental pemenang? Bagaimana kita menciptakan mental pemenang pada pemain? Atau mental pemenang adalah sesuatu yang dimiliki dan tidak dimiliki oleh seorang pemain?
Mental pemenang di sini bukan sekadar sikap seorang pemain untuk meraih kemenangan dalam pertandingan. Tapi mental pemenang yang dimaksud adalah sikap pemain tersebut saat menghadapi situasi-situasi tertentu, khususnya hal negatif. Jika pemain tersebut bisa menang atas dirinya, maka ia juga akan mendekati kemenangan yang sesungguhnya (dalam hal pertandingan).
Seorang pelatih, masih menurut Van de Looij, tidak akan bisa memengaruhi pemainnya untuk menang hanya dengan mengatakan, "Saya ingin kamu memenangkan pertandingan". Menurutnya, sebelum meraih kemenangan secara tim, setiap pemain harus tanpa disadari membuat dirinya melakukan apapun yang bisa mengarahkan dirinya pada penampilan terbaik. Ini semacam motivasi yang datang dari diri sendiri, bukan dari orang lain. Ini disebut instrinsic motivation.
Instrinsic motivation tidak membutuhkan apresiasi atau hadiah. Tapi instrinsic motivation akan membuat seseorang dengan sendirinya melakukan apapun dengan ambisi terbesar sebagaimana itu merupakan pekerjaannya. Ia hanya akan fokus pada kinerjanya, tidak memikirkan hasil akhirnya seperti apa.
Instrinsic motivation tidak seperti extrinsic motivation, di mana motivasi justru lahir dari orang lain atau lingkungan sekitar. Extrinsic motivation bahkan memiliki tujuan mendapatkan apresiasi atau reward dari orang lain. Hal tersebut seringkali membuat seseorang lebih terfokus pada hasil akhir, bukan pada apa yang sedang dikerjakannya.
Sebagai contoh, ada orang yang secara sadar diri menjalankan ibadah agama, ada juga yang menjalan ibadah hanya karena disuruh oleh orang tuanya atau karena teman-temannya yang melakukan. Di situlah perbedaan instrinsic dan extrinsic motivation. Walau begitu ini bukan hitam dan putih, jika bukan A maka B atau sebaliknya. Karena bagaimanapun, terkadang motivasi pun sering hilang dalam diri setiap orang.
Pada pesepakbola yang mudah emosi, tampaknya instrinsic motivation pemain tersebut kurang terasah. Sehingga ketika fokus mereka terganggu oleh hal-hal lain, maka motivasi untuk menjalankan tugasnya dengan baik akan hilang. Inilah yang dialami oleh Saddil Ramdani, Hanif Sjahbandi, dan pemain-pemain lain yang mudah terpancing emosinya oleh lawan.
https://twitter.com/panditfootball/status/908628276175790081
Bermain di timnas, apalagi di timnas Indonesia yang benar-benar menuntut prestasi sejak usia dini, jelas akan menguji mental setiap pemain. Jika pemain tersebut memiliki instrinsic motivation yang kuat, maka tuntutan untuk menjadi juara tak akan menjadi beban sehingga pemain tersebut bisa tampil gemilang karena ia akan fokus pada "pekerjaannya" yaitu bermain sebaik mungkin. Tapi jika tidak, jika ia merasa tertekan, gugup, takut kalah, atau tidak nyaman ketika bermain, maka motivasinya untuk bermain sebaik mungkin akan tergerus dan lebih mengedepankan pengekspresian diri yang tertekan; emosi berlebihan.
Dalam buku falsafah perang Sun Tzu: Art of War, disebutkan bahwa seseorang akan melakukan apa saja, termasuk keluar dari strategi perang, ketika ia merasa tertekan dan takut akan kekalahan dan kematian. Itu terjadi karena ia tidak bisa berpikir jernih dan melupakan apa yang seharusnya ia lakukan dalam strategi perang tersebut.
Para pemain tersebut bereaksi negatif saat mendapatkan provokasi lawan. Sementara itu ketika pemain yang bisa mengendalikan emosinya mendapatkan provokasi dari lawan, kecil kemungkinan ia akan membalasnya. Itu karena sang pemain memiliki instrinsic motivation yang kuat. Dalam pikirannya hanya berusaha tampil sebaik mungkin, melakukan apapun itu yang kaitannya sesuai instruksi pelatih.
Ada beberapa penyebab motivasi seseorang bisa hilang atau terlupakan karena kehilangan fokus. Van de Hooij sendiri mengisahkan apa yang ditelurkan Abraham Maslow, seorang psikolog aliran psikologi humanistik mengenai lima hal yang menjadi tantangan setiap manusia.
Dalam teori Maslow, manusia itu terbagi dalam 5 babak untuk menjalani kehidupan dengan tenang (dan termotivasi). Seperti dalam permainan gim, seseorang tidak akan mencapai babak berikutnya sebelum babak yang ia jalani berhasil ia menangkan. Babak pertama adalah kebutuhan akan tubuh (makanan). Kedua kebutuhan akan keamanan dan kenyamanan. Ketiga memiliki hubungan sosial (diterima di lingkungan). Keempat pengakuan atas kemampuan, keterampilan dan prestasi. Kelima adalah kebutuhan aktualisasi diri, mewujudkan apa yang diinginkan.
Para pemain timnas jelas punya keterampilan dan prestasi (babak empat), dan sedang berusaha mendapatkan babak kelima (meraih kemenangan). Namun pada pemain yang emosi, tekanan yang tidak bisa mereka hadapi membuat mereka terjebak di babak kedua karena ia merasa tidak aman. Tekanan juga yang membuat seorang pemain lebih egois di depan gawang.
Soal pemain yang tidak aman, ini juga berlaku pada pemain-pemain yang menjalani laga tandang. Suporter lawan merupakan musuh tambahan bagi seorang pemain dalam memberikan tekanan. Walau tidak emosi, ketidakamanan (dibaca: ketidaknyamanan) seorang pemain akan membuatnya tidak fokus pada pertandingan. Hanya pemain dengan mental pemenang-lah yang bisa mengalahkan tekanan tersebut.
Mental pemenang seorang pemain pun terasah dari pengalaman dan motivasi dari pelatih. Pengalaman bertanding akan membuatnya lebih terbiasa menghadapi situasi-situasi yang menekannya. Pelatih yang bisa memberikan extrinsic motivation akan membuat seorang pemain terlepas dari tekanan yang mengganggu fokusnya.
Sementara itu, para pemain muda Indonesia terbilang minim pengalaman di level klub. Hanya Saddil Ramdani dan Asnawi Mangkualam yang bermain di divisi teratas. Pengalaman bermain mereka pun awalnya terkesan dipaksakan karena aturan wajib starter U-23 di Liga 1. Sementara itu ketika menghadapi tekanan yang lebih besar, bermain di timnas, pengalaman bermain mereka belum mengasah mental pemenang mereka sendiri. Ini berbanding dengan para pemain Thailand yang mayoritas merupakan pemain di klub divisi teratas negara mereka.
Sedangkan soal motivasi, Indra Sjafrie sepertinya bukan tipikal pelatih yang pandai memotivasi pemainnya di tengah pertandingan. Luis Milla juga terkendala bahasa untuk memberikan petuah-petuah pada pemainnya di lapangan yang berjalan cepat dan ketat.
Mental pemenang yang tidak dimiliki para pemain timnas usia muda Indonesia menjadi penjegal Indonesia kembali gagal berprestasi. Rasanya ini cukup masuk akal mengingat secara permainan, Indonesia tampil lebih baik dibanding tahun-tahun sebelumnya. Karenanya, menyalahkan Saddil, atau siapapun pemain yang emosi pada setiap kegagalan Indonesia, kurang tepat.
Setiap pemain memiliki kekurangan kelebihannya. Saddil mungkin pemain yang mudah terpancing emosi. Tapi di sisi lain ia punya skill yang mumpuni. Jangan lupa, dia dipuji banyak orang saat mencetak gol jarak jauh ke gawang Filipina di SEA Games 2017. Tinggal bagaimana pelatih bisa meredam emosinya tersebut, sebagaimana misalnya Diego Costa, pemain Spanyol yang mudah memprovokasi dan terprovokasi, bisa tetap menjadi andalan Antonio Conte saat Chelsea menjuarai Liga Primer musim 2016/2017.
Ada serangkaian penyebab mengapa seorang pemain dengan kemampuan teknik mumpuni seperti Saddil atau Diego Costa lebih mengedepankan emosinya saat bermain karena mental pemenangnya terbenam oleh ketidaknyamanan dan tekanan yang ia hadapi. Mereka hanya butuh keadaan yang bisa membuat mereka fokus dalam menjalani pertandingan.
Komentar