Sepakbola sekarang sudah merambah banyak aspek dalam kehidupan, salah satunya adalah bisnis. Seiring dengan perkembangan zaman, banyak pebisnis yang mulai mencoba bentuk-bentuk bisnis baru dalam sepakbola. Salah satunya adalah multi club ownership (MCO).
Dalam perkembangannya, sepakbola sebagai olahraga yang begitu digemari di seantero kolong langit ini menjadi sebuah magnet tersendiri bagi beberapa pihak. Kemampuan magis dari sepakbola yang mampu menyatukan, menghimpun, serta membawa orang banyak dalam sebuah euforia menjadi sebuah celah yang dianggap oleh beberapa pebisnis bisa dimanfaatkan, dengan tujuan utama untuk mendapatkan keuntungan.
Oleh karena itu, banyak sekali bentuk-bentuk dari bisnis yang diterapkan oleh para pebisnis di dalam sepakbola. Dari sekian banyak bentuk bisnis yang diterapkan, ada satu bentuk bisnis yang sedang marak digunakan dan diperkirakan akan menjadi sebuah tren di masa depan. Bentuk bisnis tersebut adalah multi club ownership, atau lazim disingkat sebagai MCO.
Apakah MCO itu dan bagaimana cara kerja dari MCO ini?
Sedikit mengenal tentang Multi Club Ownership (MCO)
Pernah mendengar tentang satu orang yang memiliki saham di banyak klub? Atau pernahkah Anda mendengar satu perusahaan memiliki banyak klub yang tersebar di beberapa negara di dunia? Jika Anda pernah mendengarnya, itulah salah satu praktik dari MCO ini.
Secara istilah, MCO ini berarti satu orang atau satu perusahaan yang menaungi dua atau lebih klub yang tersebar di seantero dunia. Sesuai dengan namanya, multi club ownership ini adalah bentuk/istilah bisnis yang memungkinkan perusahaan atau individu memiliki beberapa klub di bawah naungannya.
Disitat dari Outside of the Boot, kemunculan perdana dari praktik MCO ini sendiri dimulai pada sekira pertengahan 90an silam, saat sebuah perusahaan bernama ENIC membeli saham-saham dari klub-klub yang berkompetisi di Eropa. Ada Tottenham, Glasgow Rangers, AEK Athens, Basel, dan masih banyak lagi. Setelah itu, praktik MCO mulai berkembang, dengan beberapa perusahaan dan individu juga melakukan hal serupa.
Di Italia, ada keluarga Pozzo yang juga memiliki banyak klub, seperti Granada dan Watford. Perusahaan Red Bull juga menggunakan metode serupa dan sekarang sudah memiliki beberapa klub, seperti Red Bull Salzburg, RasenBallsport Leipzig (RB Leipzig), New York Red Bull, serta Red Bull Brazil. Yang terkini ada City Group yang menaungi beberapa klub seperti Manchester City, New York City FC, serta Melbourne City.
RB Leipzig, salah satu klub yang merupakan bagian dari MCO
Meski pada akhirnya metode ini dimaksudkan agar sang owner dari beberapa klub tersebut dapat meraih keuntungan finansial yang merupakan hasil dari kepemilikan sahamnya di beberapa klub, sebenarnya ada keuntungan lain yang juga bisa didapat dari bentuk bisnis MCO ini. Salah satunya adalah mendapatkan pemain bertalenta tanpa harus mengeluarkan biaya lebih untuk talent scout.
Memangkas ongkos sekaligus mendapatkan pemain bertalenta dengan lebih cepat
Naby Keita adalah salah satu prospek yang cukup banyak diperbincangkan dalam bursa transfer musim panas 2017 ini. Ia didatangkan Liverpool dari RB Leipzig dengan mahar yang lumayan mahal, yaitu 50 juta paun. Tapi, pernahkah Anda terpikir bagaimana talenta dari Guinea ini pada akhirnya mampu dikenal dunia? Itu karena MCO.
Sebelum tenar di Leipzig, Keita terlebih dahulu memulai kariernya di Istres, klub divisi tiga Liga Prancis. Ia kemudian direkrut oleh Red Bull Salzburg, sebelum akhirnya melebarkan sayapnya ke RB Leipzig dan menjadi salah satu gelandang kenamaan di Bundesliga.
Sekadar informasi, RB Salzburg masih berada dalam satu payung dengan RB Leipzig. Oleh karenanya, tak heran nama Naby Keita pada akhirnya mampu diangkut ke RB Leipzig, tanpa harus melalui perantara scout yang datang ke Austria untuk memantau bakatnya. Informasi mengenai pemain bertalenta menjadi lebih cepat didapat, tanpa campur tangan dari scout.
Selain Naby Keita, ada juga nama Igor, pemuda berusia 19 tahun yang sekarang membela RB Salzburg. Igor dibeli oleh Salzburg dari FC Liefering, klub yang berkompetisi di divisi dua Liga Austria. Liefering mendapatkan Igor dari Red Bull Brasil. Ketiga klub tersebut merupakan klub yang berada di bawah naungan perusahaan minuman energi Red Bull. Igor pun lebih mudah didapatkan, dan informasinya lebih mudah didapat.
Profesor dari Salford University yang fokus dalam bidang sports enterprise, Simon Chadwick, mengungkapkan bahwa MCO ini adalah cara mudah bagi klub untuk mendapatkan pemain bertalenta. Jika umumnya pemain bertalenta didapatkan setelah seorang talent scout melakukan blusukan, dengan bentuk bisnis MCO ini informasi mengenai pemain bertalenta lebih mudah didapat.
"Coba pikirkan kembali, bagaimana caranya Anda memantau pemain-pemain berbakat yang ada di seluruh dunia? Daripada menggunakan jaringan scout yang harganya cukup mahal dan talenta yang kerap terlewat, menggunakan klub franchise adalah salah satu cara untuk memangkas biaya scout dan jaminan bahwa talenta itu tidak akan terlewatkan oleh kita," ujar Chadwick seperti disitat The Guardian.
Naby Keita, salah satu produk dari MCO yang sekarang mulai terbang tinggi
Ben Marlow, konsultan yang berfokus menangani investasi di dalam sepakbola, menyebut bahwa MCO ini seperti halnya sebuah proses disneyfication. Selayak Disney yang membuka cabang-cabangnya di belahan dunia serta menjaring pasar di negara setempat, klub-klub franchise pun menjadi sebuah disney tersendiri di sebuah negara. Selain untuk menjaring pasar, klub franchise ini bisa menjadi jaring bagi para pemain bertalenta di negara tersebut.
"Menurut pandangan pribadi saya, multi club ownership ini adalah sebuah bisnis yang menarik. Akan ada sebuah keuntungan geografis yang didapat, dengan kehadiran dan kemampuan menjaring pasar lewat klub sepakbola yang ada di negara tersebut. Di satu sisi ia menolong klub menanamkan pengaruh ekonomi di sebuah negara, di sisi lain ia juga menolong klub untuk mendapatkan pemain ternama," ujarnya.
Menggugurkan kinerja dari scout?
Dengan model bisnis MCO ini, meski memang menguntungkan bagi pemilik dan juga klub yang ia naungi, hal ini menjadi sebuah ancaman tersendiri bagi pekerjaan lain. Talent scout, yang selama beberapa tahun ke belakang menjadi cara dalam menemukan pemain berbakat di dunia, bisa saja perlahan akan mulai tergusur perannya karena MCO ini.
Namun dalam sebuah tulisan di laman 21st Club, disebutkan bahwa model bisnis MCO ini sama sekali bukan bertujuan untuk menggerus kinerja dari talent scout sebuah klub. Justru dengan hadirnya MCO ini, akan membantu talent scout dalam menemukan bakat-bakat yang tidak terdeteksi oleh mereka. Ketidakmampuan talent scout dalam membaca pasar akan dibantu oleh model bisnis MCO ini.
Para pebisnis yang memahami situasi dan keadaan pasar, akan membantu talent scout yang tidak paham akan situasi pasar pemain dalam menjaring pemain-pemain berbakat. Kolaborasi antar keduanya akan menjadikan sebuah klub tidak membeli kucing dalam karung. Klub akan tahu talenta dari pemain tersebut, dan klub juga akan tahu berapa harga pasar dari pemain tersebut sehingga kelak jika sang pemain tidak berprestasi, klub tidak akan rugi-rugi amat.
***
Seiring dengan majunya zaman, apalagi sekarang sepakbola juga perlahan mulai menjadi sebuah industri, tidak bisa dimungkiri bahwa model bisnis MCO ini akan terus berkembang ke depannya. Dampak-dampak positif yang dihadirkan oleh MCO ini menjadi sebuah magnet bagi para pebisnis untuk menerapkan pola yang serupa di klub yang berbeda.
Walau banyak anggapan sebagai "kesebelasan plastik" yang menempel dalam klub-klub yang terlibat dari MCO ini, pada akhirnya model bisnis ini menjadi sebuah model bisnis yang menggiurkan. Selain mendapatkan keuntungan, pemain bertalenta pun menjadi lebih mudah dicari.
Di sisi lain, MCO juga akan sedikit membantu kinerja dari talent scout yang sudah lama menjadi cara dalam menemukan talenta-talenta berbakat di dunia. Apa yang terlewat oleh talent scout, bisa saja ditemukan lewat model bisnis MCO ini.
Komentar