Perjuangan Islandia pada Piala Eropa 2016, yang digambarkan dengan jelas oleh Zen RS dalam esainya yang berjudul "Terima Kasih, Islandia" masih terngiang di pikiran. Setelah membaca esai tersebut, terbersit sebuah pikiran dalam benak saya: kenapa Islandia bisa tampil begitu gigih di saat mereka tahu mereka sudah kalah sejak awal?
Perempat-final Piala Eropa 2016 mungkin adalah tempat yang tidak disangka-sangka oleh Islandia, sebuah negara kecil yang berada di dekat lingkar Laut Arktik di Kutub Utara sana dengan populasi penduduk sekira 332.529 penduduk. Berstatus sebagai underdog, apa yang mereka capai dalam Piala Eropa 2016 membekas di benak pecinta sepakbola dunia.
Dalam babak perempat-final, mereka memang kalah 5-2 dari Prancis yang pada akhirnya menjadi runner-up Piala Eropa 2016 di bawah Portugal. Namun perjuangan mereka di babak kedua, yang mampu mengejar sampai dua gol, memberikan sebuah pelajaran berharga bagi orang-orang. Kadang dari kekalahan, masih ada sebuah kemuliaan yang bisa didapat. Setidaknya itulah yang Zen RS ujarkan dalam esainya tersebut.
Namun, meski kehebatan dari Islandia ini sudah terlihat dan dijabarkan sedemikian rupa, saya masih bertanya-tanya: apakah faktor lain yang membuat Islandia tampil begitu spartan dan penuh determinasi dalam ajang Piala Eropa 2016? Mengapa mereka bisa seperti itu? Saya pun sedikit membaca-baca literatur soal Islandia, termasuk kondisi geografisnya yang memang berdekatan dengan Kutub Utara.
Lalu, seketika terbayanglah gunung-gunung api yang menjulang tinggi dan masih aktif, tanah-tanah vulkanis yang hijau dan subur, kondisi cuaca yang dingin, serta keadaan yang serba sulit karena cuaca ekstrem yang kerap melanda Islandia. Perlahan saya paham, kenapa Islandia bisa menunjukkan penampilan yang penuh dengan determinasi.
Perihal keterkaitan keadaan penduduk dan lokasi geografis
Penduduk, jika memadukan pengertian para ahli geografi, adalah sekelompok orang yang mendiami atau meninggali suatu wilayah tertentu. Jika mereka terikat di dalam sebuah negara, maka penduduk tersebut menjadi seorang warga negara. Namun pada intinya, penduduk tidak mesti seorang warga negara, tapi jika ia adalah warga negara, maka sudah tentu ia adalah seorang penduduk.
Mendiami sebuah wilayah tertentu, penduduk akan berkembang mengikuti keadaan geografis dari wilayah tersebut. Dalam sebuah tulisan di laman Astalog, disebutkan bahwa aktivitas penduduk di suatu daerah sangat dipengaruhi oleh kondisi geografis terutama kondisi fisiknya. Kondisi geografi dari suatu wilayah juga memengaruhi karakter dan juga kondisi penduduk di wilayah tersebut.
Sebagai contoh, karakter masyarakat yang tinggal di daerah pegunungan, dataran rendah, serta wilayah pinggir pantai akan saling berbeda satu sama lain. Masyarakat yang tinggal di pantai akan cenderung memiliki volume suara yang lebih keras karena deburan ombak memaksa mereka untuk saling berteriak agar suara mereka terdengar. Hal ini berbeda dengan masyarakat pegunungan yang cenderung lebih santai karena sepinya hutan dan gunung membuat mereka tidak perlu berteriak satu sama lain.
Pada dasarnya, keadaan geografis dari sebuah wilayah cukup besar memberikan pengaruh bagi pembentukan karakter masyarakat di daerah tersebut. Hal ini pula yang berlaku bagi Islandia. Salah satu karakter atau kebiasaan masyarakat Islandia adalah untuk menamai anak laki-laki mereka dengan akhiran -son.
Semangat juang dari sebuah wilayah yang serba terbatas
Dengan luas wilayah yang tidak kelewat besar (hanya 102.775 km2), dan juga kondisi cuaca yang ekstrem, membuat masyarakat Islandia harus berjuang keras untuk bertahan hidup. Situasi inilah yang membikin Islandia melakukan beberapa penyesuaian, termasuk juga dalam soal pembinaan sepakbola yang mereka jalankan. Situasi ini pula yang memengaruhi karakteristik dari masyarakat Islandia itu sendiri.
Sadar bahwa cuaca di Islandia terbilang ekstrem, berbagai penyesuaian di bidang sepakbola dilakukan oleh KSÍ (federasi sepakbola Islandia). Berbagai lapangan indoor disiapkan, untuk mengatasi masalah kompetisi sepakbola yang kerap terhenti ketika Islandia memasuki musim dingin. Tercatat ada enam lapangan indoor, 20 lapangan buatan, serta 130 lapangan mini yang sudah dibangun oleh KSÍ, bekerja sama dengan pemerintah Islandia selama 13 tahun ke belakang.
Dengan adanya infrastruktur seperti ini, Islandia tetap mampu mengembangkan sepakbolanya walau wilayah mereka kerap dilanda cuaca ekstrem. Penyesuaian yang dilakukan oleh KSÍ dan pemerintah Islandia ini adalah cermin bagaimana masyarakat Islandia menyesuaikan diri dengan kondisi yang serba terbatas.
Baca Juga: Perencanaan, Faktor Utama Kesuksesan Islandia
Selain mampu menyesuaikan diri, kondisi di Islandia yang serba terbatas ini juga membentuk karakter masyarakat Islandia menjadi masyarakat yang tangguh dan mau berjuang. Cuaca yang ekstrem, serta kondisi wilayah yang dipenuhi oleh gunung api, geyser, dan juga gletser, membuat masyarakat Islandia harus bersiap sedia di kala bencana alam datang mengguncang wilayah tersebut. Tapi di sisi lain, hal ini menjadi berkah tersendiri bagi Islandia, karena tanah yang subur dan juga hasil laut cukup melimpah di Islandia.
Karakter masyarakat Islandia yang tangguh itu tampak dalam perjuangan timnas Islandia, setidaknya dalam ajang Piala Eropa 2016. Mengalahkan Inggris setelah tertinggal terlebih dahulu dalam laga 16 besar, serta tetap berjuang dengan gigih meski sudah kalah 4-0 dari Prancis dalam laga delapan besar, adalah ejawantah dari masyarakat Islandia yang tidak serta-merta menyerah karena keterbatasan.
Karakter kuat inilah, yang juga berhasil mengantarkan Islandia ke Piala Dunia pertama mereka pada 2018 kelak. Di Rusia, negara yang juga sama-sama bersuhu dingin, mereka akan kembali melanjutkan perjuangan mereka. Tentu saja, ada satu hal yang akan dirindukan, yaitu Viking Clap yang kerap mereka lakukan ketika usai menjalani sebuah pertandingan.
***
Setelah membaca sedikit literatur tentang Islandia, akhirnya rasa penasaran saya pun terjawab. Rasa penasaran yang muncul setelah membaca esai Zen RS yang berjudul "Terima Kasih, Islandia", tentang semangat dan ketangguhan masyarakat Islandia. Rasa tangguh dan semangat ini, ternyata pada dasarnya lahir dari segala kesulitan yang biasa mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari.
Lewat udara dingin dan juga gunung api yang mengelilingi wilayah Islandia, masyarakatnya belajar bagaimana caranya bertahan hidup di tengah keterbatasan. Lewat wilayah yang kecil, mereka belajar bagaimana caranya memanfaatkan ruang dan sumber daya yang ada. Hal inilah yang membentuk sikap kuat dan tangguh masyarakat Islandia, sehingga kita masih akan mendengarkan Viking Clap bergema di Piala Dunia 2018.
Komentar