Suasana Vodafone Park, kandang dari tim yang berlaga di Liga Super Turki, Besiktas, pada 9 Oktober 2017 malam waktu setempat begitu riuh. Suasana seperti ini lazimnya terjadi ketika Besiktas bertanding dengan klub lain yang bertandang ke sana. Namun malam itu, yang bertanding bukanlah Besiktas, melainkan tim sepakbola difabel (amputee) Inggris dan Turki.
Tim sepakbola difabel Inggris dan Turki bertanding dalam ajang Piala Eropa Sepakbola Difabel (EAFC). Pertemuan mereka sendiri adalah partai final dari turnamen yang baru digagas untuk pertama kalinya di Turki pada 2017 ini. Setelah melalui perjalanan panjang, kedua negara pada akhirnya mampu lolos ke babak final.
Setelah bertarung sengit, Turki akhirnya keluar sebagai pemenang dengan skor akhir 2-1. Dua gol yang dicetak oleh Omer Guleryuz dan Osman Cakmak bagi Turki hanya mampu dibalas satu oleh Inggris lewat Ray Westbrook. Dengan euforia yang begitu menggema, Turki akhirnya menggondol gelar juara Piala Eropa Sepakbola Difabel yang pertama.
Namun, inti dari pertandingan ini bukan hanya soal kemenangan Turki semata. Ada semacam kebahagiaan yang menyeruak di sela-sela pertandingan antara Turki dan Inggris tersebut.
Mengenal tentang sepakbola difabel (amputee)
Seperti halnya sepakbola CP, sepakbola difabel (amputee) ini adalah cabang olahraga yang mengakomodir orang-orang yang memiliki keterbatasan untuk tetap bisa bermain sepakbola. Jika sepakbola CP melibatkan atlet yang memiliki keterbatasan dalam soal koordinasi otak dan otot mereka, maka sepakbola difabel (amputee) ini melibatkan atlet yang kehilangan salah satu kaki atau tangannya.
Atlet-atlet yang tampil dalam sepakbola amputee ini lazimnya mengenakan tongkat untuk menopang badan mereka agar tetap bisa berlari dan menggerakkan badan mereka. Prosthesis (kaki atau tangan buatan) biasanya tidak dikenakan dalam pertandingan, terkecuali jika atlet yang bersangkutan kehilangan dua kaki atau dua tangan mereka.
Sepakbola amputee ini pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan sepakbola pada umumnya. Perbedaannya hanya terletak di beberapa peraturan yang dimodifikasi untuk memudahkan atlet yang bertanding. Untuk peraturan sendiri, jumlah pemain yang terlibat adalah 7 pemain (7 lawan 7), dengan luas lapangan sebesar 70x60 meter, luas gawang 2,2x5 meter, serta waktu pertandingan 2x25 menit.
Aturan offside, sama halnya dengan sepakbola CP, tidak berlaku di dalam sepakbola amputee. Pergantian pemain bisa dilakukan secara bebas, dan setiap tim mendapatkan waktu time-out dua menit dalam satu babak. Sepakbola amputee ini sendiri sudah memiliki beberapa ajang sendiri, dan salah satu yang cukup prestisius adalah Piala Dunia Sepakbola Difabel yang sudah dilaksanakan sejak 1984 silam.
Khusus untuk Piala Eropa Sepakbola Difabel sendiri, tahun 2017 menjadi tahun pertama dari penyelenggaraan ajang tersebut. Oleh karena itu, tak heran ajang ini disambut dengan cukup antusias oleh masyarakat Turki.
Merasakan bersama atmosfer kebahagiaan di partai final
Keramaian sudah tampak di Vodafone Arena, markas dari tim Liga Super Turki, Besiktas. Namun bukan karena timnas Turki sedang bertanding ataupun Besiktas sedang menjamu klub lain, melainkan partai final Piala Eropa Sepakbola Difabel sedang berlangsung. Dilansir dari Bleacher Report, diperkirakan sekira 40.000 orang memadati Vodafone Arena. Stadion tampak sesak jelang laga final tersebut.
https://twitter.com/brfootball/status/917669331261157376
Meski ini bukan laga final Piala Eropa ataupun laga final Liga Champions, tampak penonton begitu antusias menghadiri pertandingan tersebut. Dari video di atas, terdengar penonton yang tampak dengan semangat mendukung timnas Turki, sekaligus menyaksikan dengan mata kepala mereka bagaimana di tengah keterbatasan, atlet-atlet yang sedang berada di dalam lapangan bertarung dengan sekuat tenaga.
Hal ini ternyata menyisakan sebuah kesan tak terlupakan di benak para pemain yang tampil. Salah satu pencetak gol untuk timnas Turki, Omer Guleyruz, mengungkapkan bahwa tak terbayangkan sebelumnya bahwa akan banyak penonton yang datang ke stadion mendukung tim Turki. Baginya, ini adalah pengalaman yang pertama sekaligus berkesan bagi mereka.
"Saya tidak bermimpi bermain di dalam sebuah atmosfer seperti ini. Benar-benar dukungan yang luar biasa. Ini adalah pengalaman tak terlupakan bagi saya," ujar Guleyruz seperti disitat dari Hurriyet Daily News.
https://twitter.com/brfootball/status/917473727889268736
https://twitter.com/RT_Erdogan/status/917447073477353473
Tampak kebahagiaan menyeruak di Vodafone Arena malam itu. Kebahagiaan ini, semata-mata hadir bukan karena Turki menang saja. Ada semacam pesan tersirat yang entah tersampaikan atau tidak kepada para penonton, bahwa keterbatasan bukan halangan bagi para atlet-atlet tersebut untuk berprestasi dan memberikan yang terbaik bagi negaranya.
Hal ini pun langsung disinggung oleh salah satu kolumnis di Hurriyet Daily News, Kanat Atkaya. Menurutnya, pekerjaan rumah tersendiri menjadi milik Recep Tayyip Erdogan, Presiden Turki. Di samping ucapan selamat yang ia ujarkan di akun Twitter pribadinya, Atkaya menyinggung bahwa ini bisa jadi salah satu cara agar mata pemerintah terbuka dalam menyikapi situasi sulit yang kerap dialami oleh para difabel di Turki.
"Kita membuat mereka menderita dan mereka memberikan kemenangan kepada kita. Tak ada yang bisa dikatakan," sindir Atkaya.
Namun, terlepas dari apapun makna di balik kemenangan Turki ini, pada dasarnya yang harus dikedepankan adalah kebahagiaan itu sendiri. Kebahagiaan yang muncul ketika melihat seseorang menendang bola dengan bebas. Kebahagiaan yang tidak dibatasi oleh hal-hal seperti difabilitas ataupun keterbatasan-keterbatasan fisik yang lain.
Karena, sepakbola itu untuk semua dan tidak pandang bulu. Semua berhak menikmati sepakbola, juga berhak berbahagia ketika bermain sepakbola.
foto: @RT_Erdogan
Komentar