Oleh: Haris Chaebar
Senangkah Anda dengan sepakbola kick and rush yang dominan permainan fisik dan bola-bola atas? Tetapi gaya sepakbola seperti itu dianggap kuno, bahkan di Inggris sendiri. Kalau masih ingin menikmati permainan yang semakin langka itu, tontonlah liga-liga minor Inggris. Klub-klub gurem disana masih banyak yang setia dengan permainan yang penuh agresivitas itu.
Kalau tak sempat menengok Divisi Championship atau League One yang jarang tayang dan hanya bisa menyaksikan Liga Primer, jangan khawatir. Masih ada Burnley, salah satu klub yang sering memperagakan kick and rush, yang secara etimologi berarti “tendang dan lari”.
Memang kini jarang kita melihat gaya konvensional ini dimainkan oleh klub-klub Liga Primer. Manchester City, Chelsea atau bahkan sebagian besar klub lain di Liga Primer, rasanya tak sudi lagi terengah-engah berlari, berduel fisik, atau menyundul bola terus-terusan.
Dengan semakin banyak pelatih luar Britania berdatangan, sudah pasti sentuhan sepakbola Eropa daratan yang kaya taktik dan penguasaan bola tinggi, semakin menjamur di Liga Primer. Akibatnya, kick and rush semakin terkucilkan. Tidak hanya oleh klub besar, klub-klub semenjana sepertinya juga mulai bosan dengan hal itu. Salah satunya adalah Stoke City.
Perubahan Stoke City
Semenjak promosi ke level teratas Inggris, klub berjuluk The Potters ini dikenal sebagai salah satu tim yang gemar bermain fisik dan bola-bola panjang. Otak dibalik itu semua siapa lagi kalau bukan Tony Pulis, sang manajer.
Dinamika sepakbola yang cepat ternyata ikut memengaruhi Stoke City. Perkembangan taktik dan strategi ikut mempengaruhi ideologi bermain The Potters. Pemilik Stoke, Peter Coates mengubah cara pandang dan tak lagi melihat gaya kick and rush sebagai harga mati dan justru menganggap gaya ini ketinggalan zaman. Tony Pulis, yang mengusung gaya “ketinggalan zaman” plus permainan defensifnya, memilih mundur jelang akhir musim 2012/2013.
Selain minimnya pemain incaran Pulis yang didatangkan klub, permasalahan beda filosofi gaya main diduga sebagai biang keladi kenapa Pulis pergi. Benar saja, pengganti Pulis pada awal musim 2013/2014 adalah Mark Hughes. Mantan manajer Blackburn Rovers dan Manchester City itu mengubah Stoke menjadi lebih atraktif, bermain lebih indah, dan sering mengoper “via rumput” daripada era Pulis yang cenderung bertahan, sepakbola kaku, dan bola-bola terbang.
Hughes sukses membuat Stoke nangkring di sepuluh besar klasemen pada dua musim pertamanya. Namun hal itu tidak membuahkan suatu yang spesial atau tak pula berbuah tiket ke Eropa. Hanya gaya main saja yang berubah dari Stoke.
Soal nasib, mereka masih setia sebagai tim papan tengah. Bahkan mereka terdampar di posisi 13 klasemen akhir musim 2016/2017. Lagipula, apa makna bagi Stoke City dengan mengikuti arus tren sepakbola kekinian, kalau faktanya ketika jengah dengan kick and rush pun, takdir mereka tetaplah klub papan tengah?
Tony Pulis, sosok pembawa kick and rush di tubuh Stoke
Stoke dengan kick and rush-nya telah hilang dan lebih progresif dengan permainan rapi dan lebih indah. Dahulu dengan permainan keras dan bola panjang layaknya rugbi itu, sosok Rory Delap, Matthew Etherington, atau Ricardo Fuller menjadi idola suporter. Kini pahlawan publik Bet365 Stadium, markas Stoke adalah pemain seperti Joe Allen atau Xherdan Shaqiri.
Pemain-pemain rekrutan Stoke di era Tony Pulis, sangat berbeda “rasa” dibandingkan rezim Mark Hughes. Pulis gemar mencari pemain yang cocok dengan kick and rush. Untuk lini depan misalnya, Pulis tak mempermasalahkan penyerang yang kurang tinggi menjulang, asalkan dia jago udara dan punya daya juang tinggi. Maka tak heran penyerang yang mencuat di era manajer asal Wales itu, yakni Ricardo Fuller dan Jonathan Walters.
Hal ini bertolak belakang dengan pemikiran Hughes. Penyerang yang mangandalkan teknik seperti Marco Arnautovic lebih dikedepankan. Bahkan sampai-sampai penyerang mini (169 cm) seperti Bojan Krkic, bisa berseragam Stoke City. Andai masih di era Pulis, barangkali Arnautovic dahulu lebih difungsikan di udara dengan tingginya 192 cm. Sedangkan Bojan sudah yakin pasti akan digeser ke sayap, guna memaksimalkan cepatannya.
Mengenal Ricardo Fuller
Ketika membicarakan Stoke gaya lama, biasanya orang beromansa tentang taktik Pulis atau throw-in maut ala Rory Delap. Tetapi jarang ada yang membahas Ricardo Fuller. Padahal sosok ini punya peran yang terhitung penting dalam sejarah Stoke City.
Kalau anda bukan penggemar Stoke City atau minimalnya tidak mengikuti Liga Primer sejak lama, tentu asing dengan Ricardo Fuller. Padahal pemain ini memegang peran vital dalam kebangkitan Stoke, sejak mereka masih di Divisi Championship hingga mampu promosi dan membangun stabilitasnya di Liga Primer.
Pemain bernama lengkap Ricardo Dwayne Fuller ini bergabung ke Stoke musim 2006/20007, ketika Pulis sudah melatih di sana dan mereka masih berada di Divisi Championship kala itu. Fuller adalah tipikal penyerang yang mengandalkan permainan fisik. Tipe pemain tradisional sejenis ini marak di kompetisi Inggris, yang diresapi ruh kick and rush dalam sepakbolanya.
Memang Fuller tak setinggi Peter Crouch, karena ia hanya bertinggi badan 191 cm, ukuran yang standar dan wajar untuk penyerang di Eropa. Tetapi soal bola-bola udara, Fuller tak kalah jago dari Crouch.
Fuller sangat cocok menunaikan tugas sebagai penyerang di tim yang banyak memainkan bola-bola panjang karena kemampuan duel udaranya baik. Selain itu, badan kekar Fuller juga tak menyulitkan bagi dirinya untuk adu otot dengan bek-bek klub Inggris yang dikenal kokoh secara fisik.
Total ia mengemas 50 gol selama di Stoke City. Pemain asal Jamaika ini masuk daftar The All-Time Stoke City “Great XI”, dari hasil voting suporter di situs resmi stokecityfc.com, yang diumumkan pada 2013 silam. Di daftar skuat “Great XI”, Fuller satu tim dengan Gordon Banks, kiper legendaris Inggris dan legenda abadi The Potters, Stanley Matthews. Dalam daftar itu, Fuller mengalahkan nama John Rithcie, pencetak gol terbanyak sepanjang masa Stoke dengan 176 gol.
Fuller, bagi kisah Stoke City di era sepakbola modern adalah pahlawan bagi masyarakat Staffordshire, wilayah di mana Stoke City berada. Dialah juru gedor andalan kala mereka berjuang di Divisi Championship musim 2007/2008, sampai Stoke mendapat jatah naik ke Liga Primer di musim selanjutnya. Fuller membuat 15 gol untuk Stoke musim tersebut.
Keran gol Fuller tetap mengalir di musim 2008/2009. Total 11 gol ia persembahkan bagi Stoke di Liga Primer. Namun pada musim-musim selanjutnya, ia kedatangan pesaing seperti Jonathan Walters dan Kenwyne Jones. Hal itu membuatnya perlahan tersisih, hingga akhirnya hijrah ke Charlton Athletic pada musim 2012/2013, setelah habis masa kontrak.
Bab cerita tentang Fuller memang tak berbuku-buku dan berjilid-jilid bersama Stoke City, tetapi pemain ini dicintai oleh suporter. Sekali lagi, karena ia adalah salah satu sosok protagonis di masa-masa sulit (sebelum dan pasca promosi ke Liga Primer) Stoke City.
Besarnya apresiasi Stoke City kepada Fuller bisa dilihat dari video koleksi 50 golnya bersama klub itu. Video itu bisa anda lihat di Youtube, dengan judul “Fuller Week” di kanal resmi Stoke City. Di video itu, Fuller banyak mencetak gol dengan sundulan serta banyak gol-gol dirinya berawal dari proses bola udara.
Perubahan Tak Bermakna dan Ironi Kick and Rush
Ibarat sebuah kisah elegi, cerita tentang Stoke City dengan warna khas kick and rush-nya, kini telah memudar dan hilang ditelan zaman. Bersamaan dengan itu, pesepakbola dengan karakter dan jiwa petarung seperti Ricardo Fuller di sistem sepakbola kuno tersebut kini makin sulit ditemukan.
Semakin hari Liga Primer diserbu pendatang dari luar. Orang asing dalam bentuk pemain, pelatih, atau pemilik klub silih berganti menguasai sepakbola di sana. Lebih ironisnya, kini, cengkeraman ideologi sepakbola asing ikut membuat kick and rush seolah “terjajah” di negerinya sendiri.
Memang, tiada prestasi gemilang ketika Stoke memakai kick and rush. Wajar pula mereka ingin berubah haluan agar lebih bersinar. Tetapi walau mereka klub medioker, setidaknya dengan gaya sepakbola kaku itu, mereka stabil di level tertinggi. Dibuangnya kick and rush di Stoke tak bermakna apapun, toh mereka tetap saja klub semenjana.
Padahal, di sisi lain jika Stoke masih setia dengan kick and rush, mereka justru bisa menjadi satu dari sedikit klub yang secara tak langsung sedang melestarikan sisa-sisa kebanggaan diri sepakbola Inggris yang memudar di tanahnya sendiri.
foto: @stokecity
Penulis adalah mahasiswa di salah satu kampus di Yogyakarta. Biasa berkicau di akun Twitter @chaebar_haris
Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis lewat rubrik Pandit Sharing. Isi dan opini di dalam tulisan merupakan tanggung jawab penuh penulis
Komentar