Sumpah Pemuda dan Perjuangan Kebangkitan Sepakbola Indonesia

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Sumpah Pemuda dan Perjuangan Kebangkitan Sepakbola Indonesia

Oleh: Vyatra Yosep

Delapan puluh sembilan tahun yang lalu, saat sekumpulan pemuda berkumpul menyuarakan sebuah pernyataan yang kemudian dikenal sebagai Sumpah Pemuda, permasalahan penindasan penjajah adalah tema utama yang mengumpulkan mereka untuk berdiskusi dan bersuara. Luar biasa sekali kongko-kongko anak muda, menghasilkan sesuatu yang besar bagi keberlangsungan Republik Indonesia.

Apa yang mereka hasilkan adalah sebuah tonggak sejarah yang akan selalu dikenang sebagai salah satu kegiatan kepemudaan paling keren dalam sejarah Republik Indonesia. Titik, tidak ada sanggahan. (Salah satu hal keren lainnya adalah berhasil turunnya Orde Baru setelah dicecar habis oleh para mahasiswa di tahun 1998).

Adalah hal yang wajar ketika pemuda dipenuhi akan keresahan dan kegelisahan. Sumpah Pemuda adalah buah keresahan dan kegelisahan para pemuda jaman itu, keresahan atas apa yang mereka alami dan keresahan atas apa yang akan mereka wariskan. Apakah mereka akan mewariskan sebuah bangsa yang masih terjajah atau bangsa yang sudah merdeka bagi anak cucunya dan bersyukurlah kita, warisan mereka adalah kemerdekaan yang kita nikmati sama-sama sekarang ini.

Kita memang tidak hidup di saat penindasan dari zaman penjajahan begitu terasa atau mengangkat senjata sebagai salah satu cara menuntut hak perlu dilakukan, akan tetapi di era kita ada berjuta keresahan lain yang mungkin akan membuat kita hanya akan dikenang sebagai “pewaris masalah” jika tidak terus menjadi apatis dan masa bodoh. Tidak ada yang lebih menyedihkan selain mewariskan masalah ke generasi berikutnya, tanpa sekalipun berusaha mereduksi masalah itu di generasi kita.

Di antara kegelisahan suasana politik yang “melelahkan” yang (amit-amit) akan kita wariskan ke generasi berikutnya ada satu hal remeh yang menjadi kegelisahan saya sebagai sebuah warisan ke generasi berikutnya: prestasi sepakbola Indonesia.

Percaya atau tidak, saya selalu dihantui ketakutan akan mati sebelum melihat timnas Indonesia berlaga di Piala Dunia. Sialnya bagi dunia sepakbola ukuran keberhasilan sebuah negara dalam mengurusi sepakbolanya hanya sesempit ini: Berapa kali berpartisipasi di putaran final Piala Dunia. Kegelisahan saya jelas hal yang remeh, dan terkutuklah saya yang teramat sangat mencintai olahraga maha romantis ini, ketakutan dan selalu mendoakannya.

Saya jelas tidak akan sampai hati, jika Indonesia harus senasib dengan Brasil yang merayakan pesta sepakbola dunia dengan membiarkan kelaparan dan kemiskinan di mana-mana. Saya juga setuju dengan kepedulian George Weah (dulu sebelum menjadi presiden) yang konon katanya tidak mau mengurusi soal sepakbola Liberia lebih dalam, sebelum kelaparan dan kemiskinan tuntas di Liberia.

Saya cukup mengerti, mimpi saya agak muluk-muluk. Berada di titik mana kita saat ini dalam mengurusi sepakbola, rasanya (sekali lagi, amit-amit) selaras dengan usaha Sisifus mendorong batu ke puncak gunung yang tak kunjung rampung, karena akhirnya terjatuh kembali, begitu seterusnya, berulang. Lantas, apakah saya menjadi kafir jika harapan saya melihat prestasi sepakbola Indonesia tetap saya imani dan doakan dengan setaat-taatnya dan sebaik-baiknya? Rasanya tidak.

Untuk kegelisahan itu, saya cukup sadar, menyalahkan PSSI beserta pengurusnya adalah cara paling mudah. Tapi saya tak tega jika terus memelihara sebuah sikap yang sudah menjadi madzhab kita bersama, “Carilah orang untuk disalahkan, bukan solusi”. Mereka memang bobrok namun berkilah tanpa berbenah, rasanya bukan pilihan bijaksana.

Bahwa sepakbola Indonesia sudah terlanjur carut marut dan menjadi tanggung jawab banyak pihak untuk membenahinya, benar, tapi energi pemuda yang masih tura-tura untuk membawa perubahan, adalah sebuah berkah yang harus dipertanggungjawabkan dan sepakbola adalah salah satunya. With great power comes, great responsibility, begitu kata paman Ben di Spiderman-nya Sam Raimi.

Dalam sejarah pembentukannya dulu di masa perjuangan, PSSI adalah sarana bagi pemuda Indonesia untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah, dan rasanya tidak berlebihan jika pemuda sekarang punya tanggung jawab untuk menjaga sepakbola Indonesia tetap menjadi perlawanan dalam menjunjung tinggi harga diri Indonesia di dunia internasional.

Terlepas dari PSSI yang sekarang berkembang menjadi kendaraan politik dan segala tetek-bengek yang tak ada hubungannya dengan sepakbola, rasanya apatisme bukan sikap yang baik untuk menanggapi ini semua.

Kita mungkin teramat akrab dengan seruan “PSSI goblok” atau “wasit goblok” sampai satu-satunya cara mengubah sepakbola kita menjadi lebih baik adalah dengan “menunggu” induk organisasi sepakbola ini membaik dengan sendirinya. Pernah terbayangkan tidak, untuk membalik kesadaran itu semua dari kita, dari hal yang kecil.

Perubahan yang paling mudah dilakukan sebagai seorang suporter sepakbola, rasanya sudah kita lakukan bersama. Percaya atau tidak seburuk-buruknya timnas bermain, semangat kita sebagai pendukung yang terlalu sering dikecewakan sama sekali tak pernah berkurang. Ada satu-dua kasus ketika sebagai pendukung malah mendoakan kekalahan, sebagai ekspresi kekecewaan sesaat, sejatinya itu semua mengingkari hasrat di lubuk hati yang paling dalam bahwa kita tetap pendukung “tim miskin prestasi ini”.

Euforia kita akan sepakbola nasional adalah kunci. Kembali ke level klub, antusias kita terhadap klub sama meriahnya dengan saat kita mendukung timnas. Jika euforia ini disalurkan dengan cara yang baik, rasanya PSSI pun akan “terpaksa” ikut berubah. Ada banyak hal positif yang bisa kita lakukan untuk itu. Saya pribadi melakukan itu semua dengan sebuah hal kecil, menjadi pendukung positif bagi klub kesayangan sendiri.

Sepakbola memang teramat kompetitif, sampai kadang kita lupa ada proses pembinaan yang memang memerlukan kesabaran. Kita selalu ingin klub kesayangan menjadi pemenang sampai melupakan proses pembinaan. Mari lihat Liga 1 sebagai citra tertinggi sepakbola Indonesia. Di level junior menghargai pembinaan usia muda kalah tenar maka pencurian umur di kompetisi muda adalah hal yang biasa.

Klub sepakbola memang bertanggung jawab atas latahnya fenomena marquee player dan pecat-memecat pelatih, sama dengan kelompok sepakbola lainnya yang berusaha mencuri umur untuk menang. Standar yang tinggi serta tuntutan tidak masuk akal kita-lah yang mengizinkan mereka menghalalkan segala cara itu. Mereka hanya produsen yang menghasilkan apa yang diinginkan konsumen (suporter sepakbola).

Menyoal sepakbola sebagai industri, banyaknya orang yang mengharapkan gratisan, lalu melompat pagar dengan pembenaran “ini pengorbanan saya dalam mendukung klub kesayangan” adalah hal yang tidak masuk akal, sama halnya dengan memakai merchandise bajakan yang sama sekali tidak menjadi pemasukan klub. Merujuk pada ajaran Nasrani, kita bangga seolah-olah sedang memanggul salib pengorbanan. Percayalah Anda sedang memanggul salib yang salah.

Kita harus belajar banyak dengan PSS Sleman untuk hal ini. Setelah mereka tersangkut sepakbola gajah, pembenahan luar biasa terjadi dengan cepat. Bali United, sekalipun dianggap tim siluman, tapi pembenahan mereka terhadap industri sepakbola harus diacungi jempol. Persib, walaupun agak menyedihkan di tabel klasemen punya strategi bisnis yang keren.

Merayakan sepakbola dengan menjadi sedikit peduli memang hal yang susah-susah gampang. Melihat tim sedang berproses namun belum berprestasi maksimal jelas akan membuat kita hilang kesabaran. Membeli tiket harus keluar uang, membeli merchandise orisinal jelas lebih mahal dari yang bajakan, tapi ini adalah harga yang harus dibayar. Belum lagi kebiasaan kita “membela” klub kesayangan sekalipun tampil kurang bagus, lalu adu pernyataan tentang mana tim terbaik yang diakhiri rusuh.

***

Berpartisipasi membangun sepakbola nasional, rasanya bisa dimulai dengan hal-hal sederhana yang saya sebutkan di atas, sambil berusaha membuat lingkungan yang baik bagi mereka yang mau membangun sepakbola, sekalipun bukan mantan pemain ataupun pelatih untuk berkarya di sepakbola.

Saya pribadi kagum dengan Bayu Eka Sari, Sarjana Ekonomi yang membaktikan karyanya untuk sepakbola nasional. Bahwa ia akhirnya dekat dengan lingkaran dunia sepakbola dan terlibat secara langsung dalam sepakbola, tetap tidak menutupi fakta bahwa ia memulai itu semua dengan menjadi karyawan kantoran di sebuah perusahaan.

Di Pusamania Borneo FC ada nama Nabil Husein yang berusaha membangun kejayaan sepakbola nasional dimulai dari dari daerah asalnya dan dari kekecewaan akan klub yang ia dukung. Dua anak muda ini adalah aset untuk mengubah sepakbola bola nasional, semoga akan banyak anak muda lainya yang turut ambil bagian.

Ada banyak momen yang kita pakai untuk menganalogikan dengan semangat kebangkitan sepakbola nasional, entah yang masuk akal sampai dengan yang cocoklogi semata seperti tulisan saya ini. Apapun itu demi kejayaan sepakbola Indonesia tak apalah.

Selamat Hari Sumpah Pemuda H+ Sekian, semua...

Selamat Hari Sumpah Pemuda H+ Sekian, Ricko Andrean, Catur Yuliantoro, Banu Rusman, dan Cak Huda, para “pemuda sepakbola” yang pergi meninggalkan kita saat merayakan sepakbola nasional.

Salam…

Penulis adalah seorang karyawan swasta. Biasa berkicau di akun Twitter @josephvyatra


Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis lewat rubrik Pandit Sharing. Isi dan opini di dalam tulisan merupakan tanggung jawab penuh penulis

Komentar