Terdegradasinya Aston Villa pada akhir musim Liga Primer Inggris 2015/2016 menghadirkan satu pertandingan yang menarik di Liga Championship. Karena di divisi dua Liga Inggris itu, mereka akan kembali bertemu dengan rival satu kotanya, yaitu Birmingham City.
Pertandingan derby di Birmingham itu bertajuk Second City Derby karena kawasan tersebut dianggap sebagai kota terpenting kedua di Inggris pada 1707 silam. Sebutan tersebut tak lepas dari populasi, kepentingan ekonomi dan kontribusi budaya di kota Birmingham sendiri. Pertandingan Second City Derby itu pun digelar di Stadion St Andrew`s kemarin malam waktu Indonesia, Minggu (20/10).
"Second City Derby adalah salah satu kesempatan yang gemilang di dalam karier saya. Atmosfernya sangat berbobot dan persaingannya begitu hebat sehingga Anda bisa merasakan bumi seperti sedang bergerak," ujar Robie Savage, mantan pemain Birmingham dari 2002 sampai 2005, seperti dikutip dari Mirror.
Begitu pun dengan Steve Sidwell yang merupakan mantan pemain Villa sejak 2008 sampai 2011. Ketika ditanya tentang pertandingan derby favoritnya, dengan cepat ia langsung menjawab Second City Derby. Sidwell menganggap bahwa ada persaingan secara masif dan ia merasakan kebencian murni antara kedua pendukung kesebelasan tersebut.
"(Pertandingan) itu sangat besar. Ketika Anda turun dari bus dan ketika mulai melakukan pemanasan, Anda melihat sekitar stadion dan para pendukung, Anda bisa melihat kebencian murni itu," ujarnya seperti dikutip dari Birmingham Mail.
Pertandingan Second City Derby merupakan persaingan antara dua kesebelasan lokal di Kota Birmingham yang sengit dan disertai emosi tinggi. Partai ini selalu dihadiri banyak penonton dengan dibumbui rivalitas dan kecintaan kepada kesebelasannya masing-masing.
Seorang penulis sepakbola bernama Keith Dixon, dalam bukunya berjudul Bad Blood, menganggap bahwa pertandingan itu selalu berdampak kepada masalah ketertiban umum. Hal itu karena terdapat dua kelompok pendukung garis keras yang sering melakukan aksi hooliganisme ketika mendukung kesebelasannya.
Di kubu Villa, ada kelompok bernama Aston Villa Hardcore yang menjadi salah satu di antara tujuh kelompok garis keras suporter yang paling ditakuti di Inggris. Nama Villa Hardcore muncul sejak 1993 karena sebutan dari pihak kepolisian yang mengamankan para garis keras itu pada pertandingan tandang ke West Ham United.
Sementara di sisi seberang, garis keras pendukung Birmingham menamakan diri Birmingham Zulus atau lebih akrab disapa Zulus Warriors. Sama seperti Villa Hardcore, Zulus pun merupakan salah satu kelompok suporter garis keras yang paling ditakuti di Inggris. Nama Zulus diambil karena nyanyian "Zulu, Zulu" yang menggema ketika bertandang ke Manchester City pada 1982. Zulus ini berbeda dengan kelompok garis keras suporter lainnya di Inggris yang kebanyakan berkulit putih dan bahkan beberapa di antaranya menganut fasisme.
Zulus memiliki banyak anggota dengan latar belakang etnis yang berbeda daripada kelompok lainnya. Sedikit multi etnis yang ada di Zulus bisa dilihat dari film Green Street Hooligans. Tapi pada aslinya bahwa Zulus tidak mudah dikalahkan seperti yang ditontonkan dalam film tersebut.
Tensi yang Mereda Setelah Bentrokan Bertahun-tahun
Banyak pertempuran yang terjadi di antara Villa Hardcore dengan Zulus. Pada November 2007, keributan terjadi di kawasan perbelanjaan pusat kota. Sekitar 300 pendukung Birmingham menunggu para pendukung Villa di sana. Para pendukung Birmingham kemudian melempari pendukung Villa memakai batu, botol hingga rudal kecil yang merusak kendaraan di sekitaran jalan. Bahkan lebih dari 20 anggota polisi mengalami luka-luka karena membutuhkan waktu hampir satu jam untuk membubarkan keributan tersebut dan 17 perusuh berhasil ditangkap.
Sementara keributan pada Desember 2010 disebut-sebut seperti zona perang oleh media setempat dan para penonton yang menonton pertandingan di Stadion St Andrew`s. Saat itu invasi lapangan dilakukan oleh para pendukung Birmingham setelah pertandingan yang dimenangkan kesebelasannya dengan skor 2-1. Perayaan itu memicu emosi para pendukung Villa dan langsung menanggapinya dengan lemparan suar (red flare) dan kursi-kursi tribun stadion. Dampak dari keributan itu adalah 27 orang terluka dan lima orang ditangkap.
Pub dan mobil yang berada di luar stadion rusak pada pertandingan Carling tersebut. Kejadian itu mengingatkan kepada masa-masa hooliganisme 1980-an. Sejak keributan itulah polisi hanya mengizinkan pertandingan Second City Derby hanya digelar pada malam hari.
"Banyak masalah sudah terjadi sebelum pertandingan. Tapi adegan itu benar-benar memalukan. Anak laki-laki saya yang berusia 11 tahun harus meludah berkali-kali karena ada gas yang digunakan mereka untuk melawan polisi. Kami diimbau seorang perwira wanita untuk keluar dari stadion. Ini benar-benar seperti medan perang," kata Rob, salah satu penonton pertandingan itu seperti dikutip dari BBC.
Bisa dikatakan bahwa keganasan antara Villa Hardcore dengan Zulus lebih tinggi dibanding North East Derby dan Derby Merseyside. Namun seiring berjalannya waktu, gesekan antar suporter ini semakin berkurang.
Simak opini dan komentar Rochy Putiray terkait para pemain Indonesia yang berkarier di luar negeri:
Komentar