Rio de Janeiro merupakan kota perang di Brasil. Setiap hari selalu ada pemberitaan tentang kekerasan di sana. Kekerasan itu muncul karena Rio adalah tempat persaingan di Brasil. Apalagi kawasan itu merupakan kota terbesar keempat di dunia.
Kebesaran Rio itu pun sudah bisa terjawab melalui sepakbola. Ada empat kesebelasan besar dengan persaingan yang hebat di sana antara Botafogo, Flamengo, Fluminense dan Vasco da Gama. Duel Flamengo dengan Fluminense dianggap paling panas dan terbesar. Begitu pun dengan Flamengo dengan Vasco da Gama.
Tapi pertandingan antara Botafogo dengan Fluminense adalah persaingan yang memiliki waktu paling lawas sehingga dinamakan Clasico Vovo atau The Grandfather Derby. Dinamakan seperti itu karena menjadi laga derby tertua di Brasil yang sudah berlangsung sejak 22 Oktober 1905.
Bahkan Clasico Vovo merupakan derby tertua ketiga di Benua Amerika Selatan setelah Nacional VS Penarol (Urugugay) dan Newell`s Old Boys VS Rosario Central (Argentina). Fluminense sendiri didirikan pada 21 Juli 1902 di Rio oleh sekelompok pemuda elite yang bersentuhan dengan sepakbola saat studi di Eropa, salah satunya Oscar Cox yang sekolah di Inggris.
Dua tahun kemudian, berdirilah Botafogo pada 12 Agustus 1904. Gagasan mendirikan Botafogo muncul dari siswa Alfredo Gomes College. Di sana terjadi perbincangan antara murid antara Emmanuel Sodre dan Flavio Ramos tentang rencana mendirikan kesebelasan sepakbola.
Awalnya berdirilah Electro Club dan kemudian berganti nama menjadi Botafogo setelah mendapatkan saran dari nenek Flavio bernama Dona Chiquitota. Warna hitam putih bergaris karena terinspirasi dari Juventus. Dari situlah ada dua kesebelasan sepakbola di Rio antara Fluminense dengan Botafogo.
Kemudian Flamengo dan Vasco da Gama menyusul mendirikan kesebelasan sepakbola meskipun sudah memiliki klub olahraga. Maka dari itu pertandingan Botafogo dengan Fluminense merupakan pertandingan sepakbola paling populer di Rio pada kurun waktu tersebut.
Ada pun latar belakang kemasyarakatan di antara Botafogo dan Fluminense. bahwa Fluiminense merupakan kesebelasan dengan budaya Eropa dan memiliki perbedaan kelas sosial. Hal itu karena Fluimenense dibentuk, dikelola dan didukung oleh rakyat mapan di Rio (Selengkapnya: Derby Fla-Flu, Gengsi Terbesar Sepakbola Brasil). Sementara Botafogo merupakan kesebelasan dari kalangan intelektual tanpa kekuatan politik dan finansial.
Pertandingan pertama Clasico Vovo pun terdapat perbedaan mencolok antara kedua kesebelasan yang bertanding pada 22 Oktober 1905. Fluminense menghadirkan pemain-pemain yang memiliki keunggulan fisik dan lengkap dengan kumis-kumisnya.
Pada awal 1900-an, memelihara kumis tebal dan panjang merupakan simbol dari orang-orang berkelas. Sementara Botafogo dihuni pemuda berusia sekitar 16 tahun yang beranjak dewasa dan justru terlihat kagum kepada para pemain Fluminense. Pada laga itu juga masih dikelilingi iklim yang bersahabat.
Pihak Fluminense pun menawarkan makan malam bersama kepada Botafogo setelah pertandingan. Sementara laga resmi pertama Clasico Vovo adalah pada 13 Mei 1906 dan dimenangkan Fluminense dengan skor 8-0 dalam pertandingan Campeonato Carioca, sebuah kompetisi sepakbola lokal di Rio.
Tapi persaingan antara mereka semakin ketat karena kekuatan Botafogo semakin diperhitungkan pada Campeonato Carioca musim berikutnya. Puncaknya, aroma permusuhan mereka muncul setelah Fluminense menyatakan diri sebagai juara Campeonato Carioca 1907 walau memiliki poin yang sama.
Konon, pada waktu itu masih belum ada penghitungan selisih gol dan head to head. Pengabaian itu mengacu kepada aturan statuta Liga Olahraga Brasil yang berlaku sejak Februari 1907. Aturan itu menjelaskan bahwa tidak ada kriteria lain menjadi juara kecuali jumlah poin.
Tapi Fluminense menyatakan diri sebagai juara karena merasa lebih unggul daripada Botafogo karena menang selisih gol dan head to head. Di sisi lain, Botafogo pun yakin bahwa mereka pun layak menjadi juara sesuai dengan aturan mengenai jumlah poin. Permasalahan itu baru selesai pada 1996 setelah pihak pemerintah mendeklarasikan bahwa Botafogo dan Fluminense merupakan juara bersama Camponato Carioca 1907.
Bayangkan, selama 89 tahun terjadi debat yang luar biasa antara kedua pihak tentang satu kompetisi pada masa lampau. Bahkan sampai ke ranah hukum melalui berbagai proses pengadilan. Kendati pada akhirnya mendapatkan titik temu melalui juara bersama, tapi aroma permusuhan kadung terpelihara selama ratusan tahun.
Apalagi Fluminense mengoleksi gelar Serie-A Brasil lebih banyak daripada Botafogo. Fluminense sudah meraih empat gelar sementara Botafogo baru dua kali. Terakhir kali Botafogo meraih gelar itu pada 1995 dan Fluminense baru sekitar lima tahun yang lalu.
Derby paling tua di Rio itu pun akan terjadi pada pekan ini di Stadion Nilton Santos yang menjadi kandang Botafogo, Minggu (5/11) dini hari waktu Indonesia. Masing-masing kesebelasan memiliki harga diri begitu tinggi atas sejarah kesuksesan mereka yang sempat tercoreng dan terlanjur saling membenci.
Pada Clasico Vovo pada Agustus 2014, Fred gagal mengeksekusi penalti sehingga kalah dari Botafogo dengan skor 2-0 sehingga ia dituntut agar pergi dari Fluminense. Pertandingan nanti pun diperkirakan semakin panas karena Flamengo baru disalip Botafogo pada klasemen sementara Serie-A Brasil 2017.
Hasil imbang Fluminense dengan Bahia membuat mereka digusur Botafogo dari posisi enam menuju peringkat tujuh. Hal itu karena Botafogo berhasil mengalahkan Corinthians pada pertandingan sebelumnya. Maka bukan tanpa alasan jika derby tertua di Rio ini akan panas di dalam maupun luar lapangan.
Sumber: FIFA, Goal
Komentar