Menjadi seorang maestro di olahraga sepakbola adalah hal yang luar biasa. Dari (sebenarnya) hanya sekian maestro sepakbola, Andrea Pirlo merupakan salah satu yang paling genius di dunia. Pada pertandingan antara New York City FC melawan Columbus Crew (06/11/2017), pemain asal Italia itu memainkan pertandingan terakhirnya.
New York City memang berhasil menang 2-0, tapi mereka tersingkir di babak play-off semifinal Eastern Conference karena pada leg pertama mereka dihajar 4-1 di kandang Columbus Crew.
Tidak seperti perpisahan biasa, Pirlo baru bermain di menit ke-90 menggantikan Ronald Matarrita.
https://twitter.com/totti_bsc/status/927330911112318976
Biasanya untuk menandakan perpisahan kepada salah satu pemain, pemain tersebut justru ditarik keluar di menit tertentu digantikan dengan pemain lainnya, seperti yang terjadi pada saat John Terry ditarik keluar di menit ke-26 sebagai perpisahannya dengan Chelsea.
Itu tidak terjadi pada pertandingan terakhir Pirlo bersama New York City. Meski dia diberi kesempatan bermain di waktu yang sempit, banyak orang yang berharap dia bisa menunjukkan magisnya untuk terakhir kalinya.
Akan tetapi, yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu sebuah tendangan yang menimbulkan decak tawa. Pirlo terpeleset saat memberikan umpan pertamanya ke depan. Kemudian Patrick Vieira, manajer New York City, ikut-ikutan terpeleset setelahnya.
https://twitter.com/dexglenniza/status/927420203171848192
Mau Apa Setelah Pensiun, Pirlo?
Mengakhiri karier di New York bisa jadi hal yang biasa-biasa saja. Tapi apapun itu, Pirlo tetap merupakan salah satu pemain genius. Kegeniusannya di atas lapangan ternyata bisa ia tuliskan juga di dalam bukunya yang berjudul I Think Therefore I Play (atau Penso quindi gioco dalam versi asli Bahasa Italia).
Buku tersebut dia tulis bersama dengan Alessandro Alciato yang merupakan seorang jurnalis. Buku ini sudah terbit pada 2013 namun terjemahan versi bahasa Indonesianya baru beredar pada Juli 2016.
Pirlo biasa menunjukkan sepakbola elegannya di atas lapangan terutama melalui visi permainannya. Semuanya dia lakukan dengan sunyi, tanpa berkata-kata, seolah semua yang dia lakukan (tanpa harus dia katakan) adalah hasil dari pemikiran geniusnya.
Sebuah konsep berpikir ini tentunya membuat kita sangat penasaran untuk membaca bukunya. Tidak heran kenapa bukunya memiliki judul yang sangat sesuai dengan gaya permainannya: Aku berpikir maka aku bermain. Karena tanpa konsep pemikiran geniusnya, Pirlo bukanlah Pirlo.
Tidak ada statistik yang bisa menggambarkan kegeniusan dan keindahan permainan seorang pemain sepakbola. Bahkan rekaman video juga mungkin tidak menunjukkan itu. Tidak seperti, misalnya, bagaimana kita mendefiniskan keindahan gocekan-gocekan Ronaldinho. Meski Pirlo mungkin pernah menunjukkannya pada sepakan penalti Panenka-nya saat melawan Inggris.
Pemain yang pernah menjadi juara dunia pada 2006 ini menyebut bahwa tendangan cungkilannya (Panenka) pada penalti saat melawan Inggris di perempat final Piala Eropa 2012 adalah murni kalkulasi yang pada saat itu merupakan pilihan paling aman dan paling produktif. Sulit dipercaya.
Kamu mungkin pernah mendeskripsikan sesuatu sebagai “hal yang tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata” (padahal mungkin bisa dilukiskan dengan kuas cat dan kanvas, ya?). Tapi buku I Think Therefore I Play ini adalah semua yang saya harapkan dari permainan Pirlo yang dilukiskan melalui kata-kata.
Dari bab pertama sampai ke bab 20, dia bersama dengan Alciato berhasil melukiskan keindahan tersebut melalui kata-kata. Dia bahkan menjelaskan kenapa dia berhenti pada bab 20, bukan bab 21, padahal angka 21 adalah angka favoritnya.
“Ayahku lahir tanggal 21. Itu juga tanggal pernikahanku sekaligus tanggal debutku di Serie A. Angka tersebut menjadi nomor punggungku sejak awal dan aku tidak akan pernah melepaskannya. Nomor itu membawa keberuntungan untukku, dan itulah alasan mengapa buku ini berhenti di bab 20,” tulis Pirlo.
Kemudian fakta bahwa dia mengawali bab pertama bukunya itu dengan kalimat “sebuah pulpen” juga membawa keindahan tersendiri. Sebuah pulpen yang dia maksud adalah pulpen mahal bermerek Cartier berlogo AC Milan.
Di bab pertama tersebut, “pulpen” tersebut dia gunakan untuk menggambarkan kontraknya yang habis di Milan. Meski dia masih ingin bermain di Milan, tapi Massimiliano Allegri (pelatih Milan saat itu) menganggapnya sudah tidak bisa memberikan kontribusi yang besar, sehingga hal tersebut adalah yang membawanya menuju Juventus.
“Aku senang beranggapan jika bab berikutnya (bab 21) terdiri dari halaman-halaman kosong, menunggu untuk diisi dengan kisah dan pengalaman lainnya yang akan datang. Dan satu hal yang pasti—aku sudah punya pulpen sendiri,” tutupnya di buku tersebut.
Addio, Pirlo. Kami semua menantikan bab 21 dari kisahmu yang selanjutnya. Bagi yang menerka-nerka, bisa jadi dia akan menjadi pelatih hebat. Pelatih hebat biasanya merupakan pemikir hebat. Kita tunggu saja.
https://twitter.com/ColumbusCrewSC/status/927333763759063040
Selengkapnya: Keindahan Sepakbola yang Berhasil Pirlo Lukiskan Melalui Kata-kata
Komentar