Mengenal Ball-Winning Midfielder, Gelandang yang Hobi Mendapatkan Kartu

Analisis

by Redaksi 24 46809

Redaksi 24

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Mengenal Ball-Winning Midfielder, Gelandang yang Hobi Mendapatkan Kartu

Gennaro Gattuso merupakan gelandang yang dikenal beringas dan tanpa kompromi. Legenda AC Milan itu merupakan gelandang bertahan agresif, ia tidak segan melancarkan tekel keras untuk merebut bola dari kaki lawan.

Gattuso memiliki khas permainan yang keras. Bermain di posisi gelandang bertahan menuntutnya bisa meredam agresi serangan lawan dari sektor tengah. Ia diwajibkan untuk menjadi palang pintu pertama yang bisa menghentikan laju serangan lawan, sebelum menembus jantung pertahanan sendiri.

Melihat gaya bermain Gattuso yang lugas dan tak mengenal kompromi saat berduel, banyak yang menyebut kalau Gattuso merupakan gelandang yang berperan sebagai anchor man, yang dengan segala cara harus bisa merebut bola dari lawannya. Melihat gaya bermainnya, sekilas memang seperti itu, tapi sebenarnya Gattuso merupakan gelandang bertipikal ball-winning midfielder (BWM).

Baik anchor man maupun BWM keduanya memang memiliki karakteristik yang mirip. Dua peran tersebut jamak dimainkan oleh pemain berposisi gelandang bertahan. Selain itu keduanya juga berfungsi sebagai perebut bola. Di masa lalu, peran ini bisa terlihat dari perbedan gaya bermain Roy Keane yang seorang anchor man dan Claude Makelele seorang BWM*.

Pembeda antara anchor man dan BWM adalah mobilitasnya di lapangan. Pergerakan anchor man bisa dibilang lebih pasif, lantaran ia hanya bergerak di area depan kotak penalti sambil menunggu lawan mendekat ke jantung pertahanan sendiri. Ketika lawan sudah mendekat, barulah ia akan bereaksi untuk menghentikan lawan agar mereka tidak bergerak lebih dalam lagi ke jantung pertahanannya.

Berbeda dengan anchor man, seorang gelandang bertahan dengan peran BWM biasanya lebih reaktif dalam usaha merebut bola dari kaki lawan. Tak jarang seorang BWM berlarian ke sana-kemari mengikuti gerakan lawan, mencari setitik peluang ia miliki, satu hantaman pun dilepaskan untuk mencuri bola.

Ruang gerakannya tidak hanya dibatasi di area zona depan kotak penalti saja, karena umumnya mereka juga kerap bergerak hingga daerah pertahanan lawan untuk bisa merebut bola. Jadi, anchor man lebih banyak menunggu pemain lawan datang untuk diterjang, BWM mengejar pemain lawan untuk dicecar.

Lebih agresifnya seorang BWM dibanding anchor man memang terlihat dari area covering-nya di lapangan tengah. Dalam permainan, fungsi utama seorang BWM adalah menyisir seluruh lapangan tengah untuk menutup ruang gerak dan sekaligus merebut bola dari kaki lawan.

Tugas seorang BWM mungkin terdengar simpel dibandingkan dengan peran gelandang lainnya. Tugas utama mereka adalah mengambil bola untuk memindahkan penguasaan bola dari lawan ke timnya sendiri. Meski begitu, mereka memiliki tanggung jawab yang sangat besar, oleh karena itu jangan heran kalau rata-rata seorang BWM memiliki gaya permainan yang keras karena di lapangan mereka memang seorang petarung atau perusak alur serangan lawan sehingga mereka menjadi gelandang yang sangat akrab dengan kartu kuning atau kartu merah.

Muncul dari Evolusi Gelandang Bertahan

Agak sulit untuk menelusuri kali pertama peran BWM muncul dalam sepakbola. Namun karena BWM merupakan turunan peran dari seorang gelandang bertahan, maka bisa dibilang kemunculannya juga beriringan dengan perkembangan peran dari posisi tersebut. Dari penelusuran kami, tampaknya peran ini sudah mulai digunakan sejak tahun 1960-an.

Tim Nasional Brasil menjadi salah satu kesebelasan yang sudah mulai menggunakan peran BWM pada tahun 1962. Kisahnya bermula pada akhir tahun 1950-an, Brasil saat itu mulai mendapatkan kesulitan dengan penggunaan formasi 4-2-4.

Melalui skema tersebut lini tengah Brasil lebih mudah dieksploitasi lawan. Brasil kemudian mencoba untuk melakukan eksperimen, mereka tetap menggunakan skeam 4-2-4 sebagai formasi dasar, namun pada saat bertahan akan ada salah satu winger untuk diperintahkan bergerak ke tengah, sehingga formasi saat bertahan akan berubah menjadi 4-3-3.

Sementara saat menyerang formasi berubah menjadi 3-3-4. Pergantian formasi saat menyerang dan bertahan dapat meminimalisasi masalah-masalah yang Brasil hadapi dengan pola dasar 4-2-4, hingga akhirnya pada tahun 1962, Brasil mulai menjadikan 4-3-3 sebagai formasi dasar mereka.

Dalam pola 4-3-3 itu, pada saat bertahan Brasil menggunakan dua gelandang bertahan dengan tipikal berbeda. Pada saat itu, terdapat satu pemain yang wajib merebut bola di setiap jengkal lapangan. Peran itu dimainkan oleh Zito. Ia berduet bersama Didi, yang merupakan gelandang kreatif namun mobilitasnya terbatas. Sementara satu gelandang lainnya adalah Mario Zagallo, seorang inverted winger, yang dipaksa bergeser untuk lebih banyak menerobos dari lini tengah.

Zito. Sumber Foto: Alchetron

Pada saat itu, istilah ball-winning midfielder belum digunakan secara resmi karena penggunaan gelandang bertahan dalam permainan pun masih terus berkembang. Terlebih saat dua sistem dalam sepakbola yang saling berlawanan, total football dan catenaccio, muncul. Meski memiliki filosofi permainan yang saling berlawanan, total football dan catenaccio sama-sama mengevolusi peran sweeper sebagai gelandang bertahan. Gaya bermain seorang sweeper yang lebih progresif, apalagi dalam skema tiga bek, membuat seorang sweeper memiliki peran yang jauh lebih defensif dan destruktif.

Memasuki dekade 1990-an hingga awal Millennium permainan sepakbola mulai berlangsung dalam tempo cepat. Peran gelandang dengan spesialisasi seperti box-to-box midfielder, ball winning-midfielder, hingga, deep-lying playmaker semakin dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan permainan di lini tengah. Tak ayal beberapa gelandang bertahan dengan tipikal, peran, dan spesialisasi berbeda pun bermunculan.

Bersambung ke halaman berikutnya..

Komentar