Di sepakbola Rusia saat ini, rivalitas antara CSKA Moscow dengan Spartak Moscow adalah yang terpanas dalam sekitar 25 tahun terakhir. Sebuah pertandingan yang selalu menyedot antusiasme besar dari penikmat sepakbola di Rusia.
Setiap pertandingan, lebih dari 1.100 polisi dikirim ke stadion karena kedua pendukungnya menonton langsung. Maka dari itulah mengapa pertandingan antara CSKA dengan Spartak dinamakan Main Moscow Derby (Derbi Moscow Utama). Lihat saja pertandingan Main Moscow pada 29 Oktober 2016.
Sudah ada pencurian spanduk dan bendera antara kedua pendukungnya ketika beberapa hari sebelum pertandingan. Saat itu, salah satu pendukung CSKA berhasil mencuri bendera Flint`s Crew, salah satu kelompok Ultras Spartak tertua, dari sebuah garasi rumah. Kemudian beberapa saat sebelum sepak mula, terjadi pertarungan kecil antara Shkola & Avangard, salah satu kelompok Ultras Spartak, dengan Fanblock yang merupakan salah satu kelompok Ultras CSKA.
Pertarungan itu membuat salah satu anggota Fanblock mengalami cedera setelah polisi membubarkan kedua kubu. Pertandingan juga bertepatan dengan hari ulang tahun Gladiators yang merupakan salah satu kelompok Ultras Spartak. Koreografi dengan spanduk raksasa bergambar gladiator menyala-nyala atas nyalanya red flare (suar).
Benda yang menyala-nyala itu juga dijadikan senjata bagi Ultras CSKA untuk dilemparkan ke tribun yang dihuni Ultras Spartak. Lemparan red flare itu pun dibalas Ultras Spartak dan mereka mendekati Ultras CSKA sehingga terjadi bentrokan. Alhasil pertandingan pun dihentikan selama lima menit pada babak kedua.
"Derby dengan CSKA adalah pertandingan paling utama dalam sejarah sepakbola Rusia baru-baru ini. Kembali pada hari itu (derby tertua di Moscow) Spartak melawan Dynamo (Kiev). Tapi seiring dengan waktu, derby dengan CSKA telah menjadi yang terbesar di sepakbola Rusia," kata Pavel yang merupakan pemimpin Fratria, salah satu kelompok Ultras Spartak, seperti dikutip dari RT.
CSKA sendiri dibentuk oleh pihak militer Rusia sehingga mendapat julukan The Army Men, meski sering juga dijuluki "Koni" yang artinya kuda dari Rusia. Sementara Spartak dibentuk oleh serikat pekerja sehingga dikenal sebagai klub rakyat. Kesebelasan itu juga dijuluk "Myaso" yang artinya daging.
Hal itu karena serikat pekerja Spartak pada waktu itu adalah buruh daging. Dua julukan itu juga sering menjadi ejekan satu sama lain. Salah satunya ketika Ultras Spartak menunjukan seekor babi hutan perkasa sedang menenteng kepala kuda yang kepalanya terpenggal.
"Pertandingan Spartak vs CSKA tidak hanya pertempuran di lapangan, tapi juga persaingan di teras (tribun). Kami akan menampilkan pertunjukan dan mencoba menunjukan kreativitas sebaik mungkin. Kami berharap orang-orang akan menyukainya. Ditambah dengan kebisingannya. Kami akan memastikan tidak akan ada yang mendengar `kuda` di stadion kami," ujarnya sebelum pertandingan Main Derby Moscow pada Oktober tahun lalu.
Para Ultras Spartak juga membentangkan spanduk raksasa bertulis "Kami datang untuk emas," saat Main Derby Moscow pada 30 April lalu. Makna tulisan itu sendiri menunjukan rasa haus gelar Liga Primer Rusia yang terakhir kali didapatkan Spartak pada 2001. Pada saat itu juga Spartak sedang bersaing dengan CSKA memperebutkan gelar juara Liga Primer Rusia 2016/2017.
Pada akhirnya, Spartak-lah yang berhasil mendapatkan gelar tersebut. Ultras CSKA pun bukan tanpa balasan. Mereka juga sering membentangkan spanduk raksasa yang memiliki pemaknaan. Hanya saja kalimatnya lebih visioner secara halus. Seperti pada Main Moscow Derby terakhir pada 12 Oktober lalu.
Ada spanduk bertulis, "Kami adalah CSKA! Anda siapa, kami tidak tahu," tulisnya. Memang spanduk raksasa, nyanyian, red flare dan lainnya dari pendukung kedua kesebelasan tersebut merupakan bab paling penting di dalam permusuhan mendalam antar mereka. Apalagi kelas pekerja dan tentara di Rusia sudah ada sentimentil tersendiri sejak era Uni Soviet.
Pada era itu, serikat pekerja sering dijadikan masalah besar. Salah satunya ketika saudara laki-laki Nikolai Starostin, pendiri Spartak, ditangkap atas perintah petinggi kepolisian bernama Lavrenty Beria yang juga merupakan salah satu petinggi Dynamo Moscow.
Hal itulah yang menjadi awal permusuhan antara Spartak dengan Dynamo. Sementara bumbu panas dengan CSKA terjadi setelah penangkapan itu. Saat Starostin dikirim ke kamp kerja paksa di Siberia. Selain itu iklim masyarakat di Soviet juga selalu diawasi militer. Apalagi pada zaman itu mewajibkan masyarakat sipil agar ikut wajib militer.
Atas kewenangan itu juga CSKA bisa leluasa merekrut pemain dengan dalih wajib militer. CSKA juga pernah mencuri pemain bernama Vagiz Khidiyatullin dengan alasan wajib militer. "Dalam seleksi skuatnya, CSKA adalah salah satu yang terbaik. Mereka memiliki kesempatan merekrut pemain dengan membawa mereka masuk tentara," aku sang mantan pemain seperti dikutip dari World Soccer Talk.
Di sisi lain, para pendukung Spartak yang merakyat pada waktu itu juga kebanyakan menolak wajib militer dan hal itu dianggap sebagai pilihan yang manusiawi. Pengaruh negara pada waktu itu memang sangat dirasakan Spartak karena agen keamanan negara sangat kuat mengawasi para pemain.
"Saya pikir penggemar 40 tahun pun masih mengambil bagian dari ideologi bahwa Spartak ini adalah tim sipi. Ini adalah cara yang lebih manusiawi untuk menjadi Soviet. Saya tidak berpikir mereka adalah pembangkang. Dengan cara atau bentuk apapun." ujar Robert Edelman, salah seorang pakar sepakbola dari University of California di San Diego.
Bahkan agen keamanan negara itu bisa tiba-tiba menghentikan pemain ketika akan atau sedang bermain di luar negeri. Kemudian sepakbola di Rusia mengalami pergeseran di masyarakat dan ikatan-ikatan Soviet telah melemah setelah negara itu runtuh pada 1991 era Yugoslavia.
Di sisi lain, antara pemberontakan rakyat dengan pihak militer semakin kuat. Tidak hanya berkisar di seputaran perebutan kekuasaan di masyarakat Soviet, tendensi justru semakin kuat di persaingan antara Spartak dengan CSKA. Apalagi dibumbui dengan masalah rasisme, hooliganisme dan lainnya yang membuat masa-masa dari Soviet semakin hebat di dalam rivalitas mereka.
"Kedua tim sekarang memiliki tingkat rasisme yang cukup kuat di antara mereka," cetus Edelman. "Kedua tim memiliki unsur hooliganisme, mungkin Spartak lebih banyak," sambungnya.
Spartak sendiri lebih mendominasi Liga Primer Rusia pada 1990an. Kesebelasan itu memenangkan seluruh kompetisi itu kecuali pada 1995. Sementara CSKA baru mendapatkan otoritasnya ketika mulai memasuki tahun 2000-an dengan mendapatkan enam gelar, yaitu pada 2003, 2005, 2006, 2012/2013, 2013/2014 dan 2015/2016.
Sejak resminya Liga Primer Rusia setelah runtuhnya Soviet pada 1991, kedua kesebelasan itu adalah pengoleksi gelar kompetisi domestik terbanyak. Spartak sejumlah 10 kali dan CSKA sebanyak enam kali. Maka dari itu persaingan mereka bukan hanya antar tribun saja, melainkan prestasi yang menjadi gengsi tersendiri atas warisan konflik internal dari era Soviet.
Sumber lain: Ultras-Tifo
Komentar