Daniel Kindberg dulunya seorang tentara. Seorang letkol, tepatnya. Ia pernah ditugaskan di Bosnia dan Republik Demokratik Kongo. Pada 2004, ia ditempatkan di Barak Östersunds, nyaris 500 km dari Stockholm. Setahun setelahnya Kinberg menjadi pengusaha. Ia bergabung dengan dewan direksi Östersunds FK, klub kecil dengan ambisi besar.
“Dunia bisnis mudah karena tidak ada yang menembakimu,” kata Kindberg sebagaimana dikutip dari ESPN.
Ambisi Östersunds adalah untuk bersaing di dua divisi tertinggi liga Swedia. Pada 2010, Östersunds terdegradasi ke divisi keempat. Kindberg mundur.
“Saya tidak menyukai sifat negatif dan cara kami mempermasalahkan hal-hal bodoh,” ujarnya. “Itu normal di sepakbola: pria-pria kulit putih, heteroseksual, dan punya kuasa bertengkar dan menyalahkan satu sama lain karena ini dan itu. Saya muak, maka saya pergi.”
“Kemudian suatu hari, saat saya sedang di rumah, ada yang mengetuk pintu. Para pemain bilang mereka ingin saya kembali. Jika tidak, mereka semua juga akan meninggalkan klub. Saya pikirkan itu selama beberapa hari. Seorang pejabat militer dan pengusaha tidak bisa mengambil keputusan berdasar perasaan, namun dalam sepakbola, kita semua kembali menjadi anak-anak, dan saya mengambil keputusan emosional untuk kembali.”
“Kami nyaris tak punya apa-apa: hanya beberapa pemain, sebuah stadion, seorang karyawan paruh waktu, dan omset tahunan 300 ribu euro,” ujar Kindberg berkisah. “Kami mulai lagi dari nol.”
Kembali memulai dari nol ternyata artinya adalah menentukan ulang identitas klub. Kindberg kemudian memilih untuk menjadikan Östersunds FK eljest.
Bahkan tidak semua orang Swedia mengerti kata eljest, yang diambil dari bahasa kuno yang digunakan di wilayah Swedia bagian utara, yang jumlah penduduknya sedikit. Artinya kurang lebih: aneh, sedikit berbeda dan eksentrik.
“Kami harus memikirkan apa yang kami inginkan, gaya sepakbola seperti apa yang perlu kami mainkan, siapa kami sebenarnya dan kenapa,” ujar Kindberg sebagaimana dikutip dari ESPN. “Kami putuskan tujuan-tujuan kami dan selebihnya adalah sejarah.”
Sejarah, memang. Sedikit -- bahkan mungkin tak ada -- klub kesenian yang sukses mencapai 32 besar Europa League seperti Östersunds yang tampil luar biasa pada beberapa musim terakhir.
Bagaimana Östersunds menjadi klub kesenian sangat dipengaruhi oleh pertemuan Kindberg dengan Karin Wahlen, putri dari Lasse Landin, salah satu pendiri Östersunds.
“Saya bertemu dengan pengarang Swedia yang sangat termahsyur segera setelah saya memutuskan untuk kembali ke Östersunds, dan ia berkata kepada saya: ‘Daniel, kamu tahu apa yang paling ditakuti orang-orang Swedia? Mereka paling takut naik ke panggung dan tampil di hadapan orang-orang,’” ujar Kindberg. “Saya terus memikirkan ucapannya, dan saya jadi punya gagasan untuk menciptakan Culture Academy, di mana kami menentukan tema setiap tahun, mengembangkannya dalam loka karya, dan menampilkannya pada musim gugur. Penampilan sama dengan pertandingan.”
Maka didirikanlah Culture Academy, dan dipercayakanlah jabatan pelatih kesenian kepada Wahlen. Semua bagian dari Östersunds -- pemain, staf pelatih, staf administrasi, hingga dewan direksi -- harus ambil bagian dalam penampilan seni tahunan. Semua, tanpa kecuali.
Bersama-sama, Östersunds telah menulis buku, menggelar pameran seni dan membuat karya seni interpretatif mereka sendiri, menggelar konser, dan menggelar pertunjukan balet di teater setempat.
Selain berkesenian, Östersunds juga ambil bagian dalam kegiatan sosial: membawa para pengungsi menonton pertandingan secara gratis, membantu di barak pengungsian setempat, dan melaksanakan ronda malam untuk memastikan perempuan-perempuan Östersunds pulang ke rumah dengan aman.
“Culture Academy bertujuan untuk menjadikan semua orang lebih baik,” kata Kindberg kepada CNN. “Ini metode latihan untuk dua hal eksplisit: yang pertama adalah keberanian, yang lainnya adalah pengambilan keputusan.”
Billy Reid, asisten pelatih kepala Östersunds, berkisah kepada CNN mengenai kebingungannya saat pertama kali bergabung pada 2010: “Ketika saya pertama kali datang ke sini, saya diberi tahu bahwa kami akan menggelar pameran seni. Saya pikir, ‘tunggu dulu!’ Saya benar-benar dipaksa keluar dari zona nyaman -- saya bukan pelukis -- tapi saya segera sadar ini bukan tentang melukis. Tujuannya adalah mendekatkan para pemain dan mempelajari hal baru.”
Östersunds, walau demikian, tetap klub sepakbola. Pada akhirnya, manfaat berkesenian terasa pula di lapangan. Mengatasi demam panggung, kata Brwa Nouri (kapten kesebelasan) kepada ESPN, “membuat kami merasa mampu menghadapi apa pun. Kami menjadi lebih berani di lapangan.” Latihan kesenian sebagai latihan sepakbola pun diakui oleh Kindberg.
“Kami melakukannya untuk memenangi pertandingan sepakbola. Manfaatnya terasa langsung,” ujar Kindberg. “Orang-orang bilang, ‘kalau begitu, semua klub harus melakukannya,’ tapi silakan saja mencoba karena kami tahu cara ini berhasil karena konteks situasi yang kami miliki di sini. Kami memiliki lingkungan kreatif yang membuat orang-orang bisa tampil dan melakukan sesuatu.”
“Kami tidak melakukannya untuk bersenang-senang. Memang Anda pikir menyenangkan menari Swan Lake di hadapan 500 orang? Rasanya mengerikan. Para pemain sangat ketakutan. Mati tidak ada apa-apanya! Namun setelah penampilan seperti itu, rasanya tak tergambarkan. Kami merasakan banyak keberhasilan sepakbola, tapi setelah berjuang mati-matian untuk menggelar pertunjukan, rasanya lebih manis. Setiap tahun kami meraih kemenangan (kesenian), dan sebagian besar identitas kami berasal dari sana."
Komentar