Oleh: Ibham Veza
Perusahaan apparel seperti Nike, Adidas, Puma, Under Armour, dan sebagainya; hingga rumah judi seperti Bet and Win (Bwin) telah lama merasakan manisnya lonjakan omzet penjualan dari aktivitas promosi di lapangan hijau. Kini, langkah mereka mulai diadopsi oleh banyak perusahaan ban di seluruh dunia.
Merek-merek ternama seperti Continental, Hankook, dan Yokohama Tyres tak asing berjejer di sisi lapangan. Mereka saling berdesakan untuk mengisi slot iklan pada liga-liga top Eropa.
Ketimbang melakukan marketing campaign-nya di jalanan beraspal Formula 1 atau MotoGP, mereka malah justru berekspansi ke lapangan hijau. Adakah motif tertentu di balik strategi ini?
Tulisan ini berusaha melihat sejarah panjang keterlibatan produsen ban dalam industri sepakbola Eropa dan memahami alasan yang melatarbelakangi mengapa mereka begitu ekspansif di lapangan hijau.
Sekilas tentang sponsor dan sepakbola
Tingginya jumlah penonton sepakbola di seluruh dunia telah menggoda banyak korporasi besar dunia untuk melakukan aktivitas promosinya di lapangan hijau. Mulai dari penempatan logo perusahaan di seragam hingga pemasangan iklan di sisi lapangan. Mulai dari promo produk yang berhubungan langsung dengan sepakbola seperti minuman berenergi (Lucozade), hingga produk yang tidak berhubungan langsung; seperti mie instan (Nissin), transportasi online (Uber), hingga perusahaan gas (Gazprom).
Otoritas liga-liga Eropa telah berhasil mengubah sepakbola yang tadinya hanya sebagai ajang event olahraga biasa menjadi sebuah industri besar lengkap dengan unsur entertainment di dalamnya.
Keberhasilan dalam mengelola dan memanfaatkan potensi pasar yang besar ini bahkan dijadikan rujukan oleh basket dan american football. Tahun ini, NBA dan NFL baru mulai memperkenalkan pemasangan iklan di seragam klub, sebuah hal yang ironisnya telah lama dilakukan oleh klub-klub sepakbola Eropa sejak 30 tahun yang lalu.
Sejarah keterlibatan produsen ban dalam industri sepakbola
Profesionalitas dan kepopuleran sepakbola telah menjadikan banyak perusahaan ban berlomba-lomba memasuki industri si kulit bundar. Adalah Continental yang berani untuk pertama kalinya menjadikan sepakbola sebagai medan pertempuran lini pemasarannya.
Sejak tahun 1995, perusahaan ban Jerman ini telah berhasil menebarkan citra (image) perusahaannya ke pentas internasional melalui berbagai macam skema sponsorship. Continental memulai strategi pemasarannya dengan menjadi sponsor Liga Champions Eropa dari tahun 1995 hingga 2000, sebelum akhirnya melebarkan sayapnya sebagai sponsor Piala Eropa dan Piala Dunia.
Setelah namanya berkibar dan dikenal luas, Continental menarik diri dari kejuaraan internasional namun tidak sepenuhnya meninggalkan arena si kulit bundar. Perusahaan yang bermarkas di Kota Hanover, Jerman ini justru memfokuskan area marketing-nya di Asia dengan menandatangi kontrak dengan PSSI-nya Tiongkok, CFA (Chinese Football Association) di tahun 2015.
Keberhasilan Continental membangun pencitraan global ditambah dengan meningkatnya omzet penjualan dalam skala internasional, membuat produsen ban lainnya berbondong-bondong ingin merasakan manisnya industri sepakbola.
Bridgestone dan Hankook tak mau kalah ketinggalan. Pada tahun 2012, Bridgestone menjalani sebuah kesepakatan bergengsi untuk mejadi sponsor utama Copa Libertadores di Amerika Selatan. Deal ini menjadikan Bridgestone memiliki hak penamaan untuk liga paling bergengsi di benua latin ini.
Sedangkan produsen ban asal Korea, Hankook, fokus menaklukkan benua biru dengan memilih menjadi sponsor Liga Europa UEFA. Hankook juga menjadi sponsor kesebelasan ternama seperti Real Madrid dan Borussia Dortmund. Goodyear pun ikut tergoda. Perusahaan ban asal Amerika Serikat ini menyetujui kesepakatan sponsor dengan raksasa sepakbola Jerman, Bayern Muenchen, pada 2016.
Jauh sebelum hiruk pikuk Continental, Bridgestone, dan produsen ban lainnya, Pirelli telah lama menjadi ikon sepakbola kesebelasan asal Milan, Internazionale Milan. Mustahil membicarakan keterlibatan produsen ban dalam dunia sepakbola tanpa melibatkan Pirelli.
Saking eratnya hubungan diantara keduanya, logo Pirelli seakan menjadi ikon tak terpisahkan dari kesebelasan berjuluk La Beneamata ini. Kolaborasi mereka telah terjalin lebih dari 21 musim dan menghasilkan 5 gelar Serie A, 4 Piala Italia, satu trofi Liga Champions, dan satu UEFA Cup.
Pada 2016, Pirelli kembali memperpanjang kontraknya dengan Inter selama lima tahun hingga 2021. Produsen ban asal Italia ini juga pernah menjadi sponsor kesbelasan Swiss, FC Basel, selama satu dasawarsa, dari 2005 hingga 2015.
Di tanah Britania Raya, tren sponsor ban diawali oleh Maxxis yang pada tahun 2009 menjalin hubungan erat dengan Liverpool. Beberapa kolaborasi lainnya yang pernah terjadi di Premier League antara lain adalah Kumho dengan Tottenham Hotspur, Cooper dengan Arsenal, Toyo dengan Leicester, dan Avon dengan Everton.
Sebuah kontrak besar terjadi antara Yokohama dengan Chelsea pada 2015. Kesepakatan senilai 40 juta paun disepakati untuk durasi per satu musim. Di tahun yang sama, Nexen juga melakukan perjanjian kontrak kerjasama dengan Manchester City. Puas dengan hasil kolaborasi dengan Menachester biru, Nexen kembali menandatangi kontrak untuk pemasangan iklan di lengan baju, menjadikannya sebagai sponsor pertama dalam sejarah City yang tertera di lengan jersey pemain.
Produsen ban Turki dan Indonesia pun tak ingin ketinggalan. Lassa, sebuah perusahaan ban ternama asal Turki, memilih FC Barcelona dan menggunakan pemainnya, Arda Turan, yang juga berasal dari Turki, untuk mempromosikan merek itu di Eropa. Baru-baru ini di awal 2017, produsen ban asal tanah air, Achilles, telah sepakat untuk menjadi sponsor kesebelasan Ligue 1 yang bermarkas di Kota Paris, yaitu Paris Saint-German.
Daftar lengkap rekam jejak keikutsertaan para perusahaan ban dalam dunia sepakbola - Sumber: https://tyres.rezulteo.co.uk
Mengapa mereka beriklan di sepakbola, bukan di F1 atau MotoGP?
Jawaban sederhananya hanya ada dua. Jam tayang dan pencitraan. Jam tayang sepakbola Eropa memungkinkan hampir semua penduduk bumi bisa menikmatinya secara live.
Pertandingan akhir pekan liga-liga top Eropa bisa disaksikan oleh warga Asia saat mereka sedang makan malam. Di saat yang sama, penduduk Benua Amerika pun masih bisa menyaksikannya ketika masih menyantap sarapan pagi. Inilah salah satu alasan utama yang membuat sepakbola begitu popular di seluruh dunia, terlebih di Asia di mana sepertiga penduduk bumi mendiami benua kuning ini.
Jika kita lihat statistik penjualan ban di seluruh dunia, Asia masih menempati urutan pertama untuk angka penjualan ban global. Jadi bukan sebuah kebetulan jika para produsen ban begitu giat melebarkan sayapnya merambah dunia sepakbola, olahraga yang begitu digila-gilai di Asia..
Alasan kedua adalah karena pencitraan. Faktor utama mengapa banyak produsen ban yang kurang berminat berpromosi di jalanan beraspal adalah karena citra yang dihadirkan dalam acara olahraga yang mereka sponsori.
Citra paling kuat yang ditampilkan dari ajang F1 dan MotoGP adalah tentang kecepatan dan akurasi. Itulah mengapa perusahaan arloji seperti Tag Heuer giat berpromosi di F1/MotoGP. Namun sepakbola adalah tentang kekuatan dan ketahanan. Inilah image yang dicari oleh para perusahaan ban.
Adapun mengapa para produsen ban kurang berekspansi pada cabang olahraga lain adalah karena masalah kepopuleran saja. MotoGP, tennis, kriket, dan golf termasuk olahraga yang juga cukup populer. Nnamun, semuanya memerlukan alat dan fasilitas lapangan yang cukup mahal dan tidak terjangkau bagi kebanyakan masyarakat biasa.
Bahkan ada olahraga yang mengisyaratkan “satu orang, satu perangkat”. Hal ini menjadikan olahraga-olahraga ini terkesan eksklusif sehingga tidak bisa menyaingi popularitas sepakbola di negara-negara berkembang, area di mana penjualan ban justru paling bergeliat.
Bagaimana dengan Liga Indonesia?
Di Indonesia sendiri ada Corsa yang telah melakukan kerjasama dengan 13 kesebelasan Liga Indonesia. Corsa menyeponsori tiga kesebelasan Liga 1 (Bali United, Arema FC, dan Persib Bandung) serta 10 kesebelasan Liga 2 (PSIS Semarang, Persewangi Banyuwangi, PSMS Medan, PSIM Jogjakarta, PSS Sleman, Persiba Bantul, Persis Solo, Celebest FC Palu, Persik Kediri, dan PSCS Cilacap).
Jika kita menggabungkan alasan-alasan di atas; tingginya popularitas sepakbola di seluruh dunia ditambah dengan citra tentang endurance (kuat dan tahan lama) yang diciptakan dari permainan si kulit bundar, kita bisa memahami mengapa banyak produsen ban yang bernafsu untuk melakukan kampanye marketing-nya di lapangan hijau.
Penulis adalah mahasiswa PhD di Automotive Development Centre, UTM Johor Bahru. Alumni Teknik Mesin ITB ini pernah menetap tiga tahun di UK dan sempat kuliah di King’s College, London. Mengundurkan diri dari kampus karena kebanyakan nonton bola di Emirates and Stamford Bridge. Tulisan dan buku-bukunya dapat dibaca melalui www.ibham-veza.com.
Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis lewat rubrik Pandit Sharing. Isi dan opini di dalam tulisan merupakan tanggung jawab penuh penulis.
Komentar