Liverpool 2-2 Spurs: Kontroversi Wasit Hanya karena Masalah Sudut Pandang

Analisis

by Dex Glenniza 25333

Dex Glenniza

Your personal football analyst. Contributor at Pandit Football Indonesia, head of content at Box2Box Football, podcaster at Footballieur, writer at Tirto.ID, MSc sport science, BSc architecture, licensed football coach... Who cares anyway! @dexglenniza

Liverpool 2-2 Spurs: Kontroversi Wasit Hanya karena Masalah Sudut Pandang

Pertandingan Liverpool dan Tottenham Hotspur berakhir dengan drama. Skor imbang 2-2 tidak banyak membuat para pemain menjadi sorotan utama, termasuk dua gol Mohamed Salah yang salah satunya adalah gol kelas dunia, gol tendangan jarak jauh Victor Wanyama yang luar biasa, serta gol penalti Harry Kane yang menandakan golnya yang ke-100.

Sorotan terlupakan dari tiga sosok dan setidaknya empat kejadian di atas, tapi tajam menyorot menuju wasit dan asistennya. Menjelang akhir pertandingan, Spurs mendapatkan dua penalti yang patut diperdebatkan.

Saat itu kedudukan sedang imbang 1-1. Pada penalti pertama di menit ke-87, asisten (hakim garis) Eddie Smart menilai jika Kane offside, tapi wasit Jon Moss (bukan Mike Dean, ya) menilai jika Kane onside dan terjadi pelanggaran. Penalti diberikan, Kane gagal mengeksekusinya menjadi gol.

Kemudian Salah membuat gol cantik di menit ke-90, tapi tak berselang lama terjadi insiden penalti kedua. Pada kejadian penalti kedua ini yang paling menjadi sorotan. Insiden berawal saat Erik Lamela dinilai melakukan simulasi saat tidak sengaja terkena tendangan lutut dari Virgil van Dijk.

Pada insiden itu, wasit berkata tidak penalti, tapi asistennya berkata bahwa itu penalti. Penalti pun diberikan lagi, dengan Kane menjadi algojo lagi, tapi kali ini Kane berhasil mencetak gol.

Dugaan asisten wasit melakukan selebrasi

Tanpa melihat rekaman video, kita bisa menilai jika ada miskomunikasi antara wasit dan asistennya. Namun, di sini yang menimbulkan banyak perdebatan adalah karena asisten wasit, Smart, tertangkap seperti sedang melakukan perayaan `fist pump` atas penalti tersebut.

Mengesampingkan video di atas yang bisa berarti banyak hal, termasuk salah satunya Smart bukan sedang melakukan selebrasi (bisa saja ia sedang pegal karena terus memegang bendera), sebenarnya segala dugaan soal wasit dan/atau asistennya yang berat sebelah telah gugur.

Itu terjadi karena dua insiden menunjukkan proses berkebalikan: pada penalti pertama wasit menilai penalti tapi asistennya tidak; sedangkan pada penalti kedua wasit menilai tak penalti tapi asistennya menilai penalti.

Di pertandingan sepakbola, kuasa tertinggi ada pada wasit. Itu lah kenapa wasit selalu memikul beban berat. Pada dua kejadian itu, wasit Moss meminta pendapat dan berdiskusi dengan asisten Smart. Itu diperbolehkan dalam Laws of the Game, bahkan kedua asisten bisa menginterupsi wasit utama lewat alat komunikasi.

Bedanya, di kejadian pertama Moss bersikukuh kepada pendapatnya, tapi di kejadian kedua Moss menyetujui pendapat asistennya. Sebagai wasit utama, Moss menjalankan tugasnya dengan tepat, artinya sesuai dengan Laws of the Game.

Sementara soal asisten Smart yang "tidak smart" karena menilai Van Dijk melakukan pelanggaran padahal tidak, kita bisa meninjau dari sudut pandang yang bersangkutan.

Menilai dari sudut pandang wasit dan asistennya

Di sepakbola, asisten atau hakim garis berperan melihat pertandingan dari sudut pandangnya di pinggir lapangan. Tak heran, perspektifnya ini sering menjebaknya sendiri dengan membuat keputusan keliru, terutama saat offside.

Maka dari itu, hakim garis harus memposisikan dirinya dengan benar (gambar di bawah adalah contoh posisi yang salah), meski saat posisinya benar juga masih bisa melakukan kesalahan.

Selengkapnya: Kenihilan Peraturan Offside

Kita, sebagai penonton, memiliki akses "mewah" berupa tayangan ulang (replay), sementara wasit dan para asistennya tidak, kecuali pada kasus VAR (Video Assistant Referee).

Oleh karena itu, wasit dan asistennya akan sepenuhnya mengandalkan sudut pandang mereka. Pergerakan mereka menjadi kunci. Itu juga kenapa wasit diperbolehkan meminta pendapat kepada asistennya, karena ia membutuhkan sudut pandang berbeda dalam mengambil keputusan.

Secara banal, kita bisa marah-marah karena kita punya "bukti" jika Smart telah melakukan kesalahan. Dalam video di bawah ini, terlihat jelas Van Dijk tidak melakukan pelanggaran serta Lamela melakukan simulasi.

Namun, itu kan dari sudut pandang kita, yang kita dapatnya pun dari tayangan ulang setelah beberapa menit (atau paling cepat juga beberapa detik setelah kejadian). Jika mau tahu bagaimana sudut pandang hakim garis Smart pada saat itu, kita bisa menilainya kurang-lebih dari video berikutnya.

Bagaimana? Ada bedanya? Pada video yang kedua itu, kita bisa melihat dari perspektif Smart jika Van Dijk melakukan pelanggaran. Ini masalah sudut pandang, lho, ya, bukan masalah benar atau salah.

Keraguan adalah kunci kebijaksanaan

Analoginya begini: Jika kita lihat koin dari sisi yang benar-benar atas (muka), kita melihat bentuknya bulat. Namun, jika kita lihat koin dari sisi yang benar-benar samping, kita melihat bentuknya tipis agak memanjang.

Masing-masing orang bisa memberikan penafsirannya sendiri sesuai sudut pandang mereka. Begitu pula kita memberi makna pada kehidupan berdasarkan sudut pandang kita. Hanya kebijaksanaan yang bisa memberikan pandangan sempurna tentang eksistensi, yaitu dengan cara melihat sesuatu dari berbagai sudut pandang. Ya, setidaknya dua sudut pandang, lah.

Kunci kebijaksanaan adalah keraguan. Kalau kita ragu sedikit saja, kita tidak akan terlalu angkuh.

Sementara bagi wasit, ketika mereka ragu maka mereka bisa: (1) memutuskan sesuatu dengan mengesampingkan keraguan, (2) diam saja, artinya tak memutuskan apa-apa, atau (3) bertanya kepada asisten mereka.

Wasit adalah manusia; Klise. Ronaldo dan Messi adalah alien; Nah!

Dalam salah satu bab paling menarik dari buku Soccer and Philosophy, Jonathan Crowe menguraikan dengan cantik kondisi yang dialami wasit itu dengan istilah "the loneliness of the referee".

Baca selengkapnya: Saya Meniup Pluit, Maka Saya Ada

Keputusan wasit adalah final, bahkan walau pun itu keputusan yang salah dan buruk. Aturan main memang memberinya kekuasaan untuk mengambil keputusan yang buruk. Namun, FIFA atau UEFA atau dalam hal ini adalah FA, tidak akan tinggal diam jika mengetahui wasit dan/atau asistennya melakukan kesalahan.

Wasit Moss dan hakim garis Smart bisa saja dihukum jika terbukti bersalah. Akan tetapi, itu akan didapatkan melalui proses yang terjadi di luar lapangan, yaitu melalui komite disiplin, dan itu tetap saja tidak akan mengubah hasil pertandingan. Meski demikian jangan salah, protes kepada wasit usai pertandingan itu boleh saja, tapi memang itu percuma.

Pada akhirnya, wasit adalah manusia. Tak ada manusia yang sempurna. Klise banget, ya? Namun, memang begitu adanya. Kesalahan adalah bagian inheren dari sepakbola, lebih karena sepakbola memang adalah permainan manusia.

Dalam sepakbola, kesalahan wasit bahkan seringkali membuat sepakbola terangkat levelnya menjadi sebuah kisah yang tak akan pernah berhenti dibicarakan, termasuk pada pertandingan Liverpool melawan Spurs yang berakhir 2-2 ini. Padahal, penulis kembali mengingatkan: Salah sudah mencetak dua gol, salah satunya gol cantik, Wanyama juga mencetak gol long range luar biasa, belum lagi Kane mencetak gol ke-100-nya.

Sementara kita di sini, di Indonesia, jauh dari Anfield, malah ramai membicarakan wasit. Mari memperkaya sudut pandang, dengan begitu kita bisa belajar dari kesalahan, bukan menggembor-gemborkan kesalahan. Kemudian juga, ya, benar adanya jika tulisan ini jadi bertajuk analisis wasit, bukan analisis pertandingan. Hiks.

Komentar