Di Finlandia, pamor sepakbola tak lebih besar dari hoki es. Namun bukan berarti Finlandia tak mampu mencetak pesepakbola hebat yang mampu mengguncang Eropa. Buktinya, mereka punya Jari Litmanen.
Bagi publik sepakbola Finlandia, Litmanen tak hanya seorang legenda. Lebih dari itu, sosoknya pun dipandang layaknya seorang raja. Prestasi dan pencapaiannya selama berkarier di dunia sepakbola, menjadi faktor dominan yang membuat nama besar Litmanen dikenal di seantero Finlandia.
***
Bagi Litmanen, sepakbola adalah segalanya – meski tak dipungkiri bahwa sewaktu kecil dirinya pun gemar bermain hoki es bersama teman-temannya. Sejak kecil, Litmanen serius menggeluti sepakbola dan hoki es. Tapi pada usia 14 tahun, ia dihadapkan pada pilihan sulit dalam hidupnya: memilih salah satu di antara sepakbola dan hoki es sebagai bidang olahraga yang ditekuni.
Pada akhirnya Litmenen memilih sepakbola, olahraga yang telah mendarah daging dalam kehidupannya. Litmanen memiliki bakat alami sebagai pesepakbola. Ia lahir dari kedua orang tua yang juga pesepakbola. Ayahnya, Olavi, menghabiskan seluruh kariernya bersama FC Lahti. Begitu pula dengan ibunya, Alice, yang juga bermain untuk tim nasional dan FC Lahti.
"Keputusan yang sulit bagi saya untuk meninggalkan hoki es karena saya menyukainya. Lebih biasa memilih hoki es karena kondisi cuaca, dan tradisi dan sejarah, tapi jantungnya lebih merupakan jantung sepakbola. Mudah untuk memilih sepakbola jika saya perlu memilih salah satu dari keduanya, tapi sulit untuk meninggalkan hoki es,” kata Litmanen, dilansir dari Anfield Index.
Sejak usia enam tahun, Litmanen bermain untuk Reipas Lahti. Perkembangannya terbilang pesat. Saat usianya baru menginjak 16 tahun ia sudah mendapat tempat di tim utama Reipas. Karier profesionalnya pun dimulai sejak tahun 1987. Reipas bukan satu-satunya kesebelasan yang dibela Litmanen di Finlandia; setelah tiga tahun berkostum Reipas, ia sempat menjajal karier bersama Helsingin Jalkapalloklubi (HJK) Helsinki pada 1991 dan Myllykosken Pallo (MYPA) pada 1992.
Kala membela MYPA, permainan Litmanen kian terasah. Dalam pertandingan final Piala Liga Finlandia menghadapi FF Jaro, Litmanen tampil brilian. Sebuah gol dicetaknya untuk membawa MYPA meraih kemenangan dua gol tanpa balas atas FF Jaro dalam pertandingan yang berlangsung di Stadion Olimpiade Helsinki. Penampilan memukau di final Piala Liga Finlandia menarik minat pemandu bakat Ajax Amsterdam yang langsung menawarinya bergabung bersama Ajax.
Gayung bersambut, Litmanen pun menyambut tawaran Ajax itu dengan tangan terbuka. Hingga akhirnya, pada musim panas 1992, Litmanen resmi diikat Ajax. Awal karier Litmanen bersama Ajax tak berlangsung mulus.
Proses adaptasi dengan gaya permainan Ajax, yang kala itu dilatih Louis van Gaal, berlangsung lambat. Litmanen yang merupakan pemain yang biasa berperan sebagai playmaker di lini tengah itu juga kesulitan bersaing dengan Dennis Bergkamp yang saat itu merupakan jenderal lapangan tengah.
Musim pertamanya di Amsterdam berjalan tak sesuai ekspektasi. Kesan awal menunjukkan bahwa van Gaal tidak terkesan dengan kualitas Litmanen. Tapi ia tidak peduli, dan terus berusaha menunjukkan kualitasnya. Semangatnya tak pernah padam, hingga akhirnya pada 1993, Bergkamp pun hengkang ke FC Internazionale Milan.
Kepergian Bergkamp menjadi pembuka jalan bagi Litmanen mendapat tempat utama Ajax. Benar saja, selepas kepergian Bergkamp, Litmanen mendapatkan lebih banyak kesempatan bermain. Kesempatan tersebut tak ia sia-siakan untuk membuktikan kualitasnya sebagai gelandang hebat.
Sepanjang musim 1993/94, Litmanen tampil dalam 38 pertandingan di semua ajang, mencatatkan 34 gol dan satu asis. Penampilan gemilang Litmanen berbuah manis bagi Ajax yang pada akhir musim menjadi jawara Eredivise dengan catatan tak terkalahkan dan mencetak 106 gol.
Litmanen menjaga konsistensi permainannya di musim 1994/95. Saat itu ia tak hanya berkontribusi membawa Ajax meraih gelar di ajang domestik, namun juga di Liga Champions. Litmanen kemudian menjadi pesepakbola Finlandia pertama yang mengangkat trofi Liga Champions.
Permainan Litmanen sangat memukau. Reputasinya sebagai playmaker andal berkembang pesat di Amsterdam. Para penggemar memanggilnya `Merlin` karena kemampuannya yang luar biasa. Selain piawai mengatur serangan, Litmanen juga memiliki insting mencetak gol yang sangat baik. Tak ayal, kala itu banyak yang menyebutnya sebagai playmaker paling mematikan di kancah sepakbola Eropa.
Namun roda kehidupan Litmanen berputar saat musim 1998/99. Saat itu tubuhnya mulai rapuh, hingga membuatnya lebih sering berkutat dengan cedera. Ajax pun menjualnya ke Barcelona. Kebetulan pada saat itu Barcelona dilatih oleh Van Gaal. Harapannya, bersama Van Gaal di Barcelona, Litmanen kembali menemukan permainan terbaiknya.
Tapi kenyataan tak sesuai dengan ekspektasi. Reputasi sebagai playmaker paling mematikan di pentas Eropa itu babak belur di Barcelona. Kariernya mengalami kemunduran. Apalagi setelah Van Gaal terdepak di akhir musim 1999/00. Setelah kepergian Van Gaal, nasib Litmanen semakin tak jelas di Barcelona. Blaugrana pun memutuskan melepasnya secara cuma-cuma ke Liverpool pada awal musim 2001/02.
Van Gaal menyebut bahwa selain masalah cedera, lambannya Litmanen dalam adaptasi di tempat baru juga memicu kariernya semakin merosot: "Litmanen adalah pemain yang berbeda di Barca daripada di Ajax. Anda harus beradaptasi dengan budaya baru saat Anda pindah ke klub yang berbeda, dan tidak setiap pemain mampu melakukan itu,” kata Van Gaal, dilansir dari The Inside Life.
Pindah ke Liverpool merupakan berkah tersendiri bagi Litmanen saat kariernya mulai meredup. Baginya, berkesempatan membela klub yang ia kagumi itu ibarat mimpi yang menjadi kenyataan. Namun membela Liverpool nyatanya bukan pilihan tepat.
Gerard Houllier, pelatih Liverpool kala itu hampir tak pernah memberinya kesempatan tampil sebagai starter. Faktor dominan yang membuat karier Litmanen semakin tenggelam di Liverpool, tak lain adalah permasalahan cedera yang terus menghantuinya. Bahkan, Litmanen melewatkan tiga pertandingan final bersama Liverpool karena cedera.
Hanya semusim Litmanen bermain untuk Liverpool. Ia kemudian memilih kembali ke Ajax, kemudian pulang ke Lahti. Litmanen masih sempat membela Hansa Rostock (Jerman), Malmo FF (Swedia), dan Fulham FC (Inggris) setelahnya. Selepas Fulham, Litmanen kembali membela Lahti. Ia menyudahi kariernya di HJK Helsinki.
Melihat perjalanan karier Litmanen sebagai pesepakbola, permasalahan cedera dan kesulitan beradaptasi dengan gaya permainan di tempat baru menjadi faktor utama yang membuat performanya menurun. Kendati demikian, Litmanen menunjukkan bahwa kerapuhan tubuhnya tak serta merta membuatnya menyerah. Ia terus bermain hingga usia 40 tahun di level klub, sementara di level timnas, 137 caps berhasil ia bukukan.
Tak hanya itu, ia juga tetap dipandang sebagai pesepakbola terbaik Finlandia hingga julukan ‘raja’ pun disematkan kepadanya. Di kota kelahirannya, Lahti, sebuah patung dirinya berdiri kokoh di pusat olahraga Lahti. Pemerintah Lahti membuat patung Litmanen sebagai bentuk penghargaan kepada sang pemain, yang dianggap sebagai pahlawan sepakbola Finlandia.
Paul Simpson dari FourFourTwo menyebut, meski karier Litmanen mengalami kemunduran, dia adalah pemain dengan kualitas hebat. Simpson mengibaratkan Litmanen sebagai seekor singa yang terbuat dari kaca, lengkap dengan bakat yang menempatkannya di antara hebatnya permainan sepakbola.
Komentar