Kalimat “sepakbola adalah bahasa universal” tidak hanya klise, tetapi juga jauh dari tepat. Hanya karena sebelas pemain dari sebelas latar belakang berbeda bisa bekerja sama dengan baik tidak lantas membuat sepakbola menjadi bahasa. Spanyol adalah contoh paling nyata. Di sana, sepakbola harus dimainkan dalam bahasa Spanyol.
Seorang pemain klub Spanyol boleh menjadi versi terbaik dirinya sendiri, namun jika performa di lapangan tak dibarengi kemampuan bertutur yang baik dalam bahasa Spanyol, yang bersangkutan tidak akan bebas dari kritik.
Ketika seorang pemain mengalami serangkaian pertandingan buruk, yang akan diperiksa adalah kemampuan bahasa Spanyol-nya. “Kamu main jelek karena tidak fasih berbahasa Spanyol” adalah tuduhan yang cukup sering ditujukan kepada pemain-pemain asing -- tidak hanya oleh media dan suporter, tetapi juga oleh sesama pemain.
Sampai batas tertentu, itu masuk akal. Rasanya memang tidak ada hubungan antara penguasaan bahasa dengan kecakapan bermain, namun sepakbola bukan permainan individu. Sebagai bagian dari tim, pemain harus saling berkomunikasi. Tanpa kemampuan menerima dan menyampaikan maksud dari dan kepada satu sama lain, kerja sama antarpemain bisa tak terjalin.
Itu dalam pertandingan; latihan punya persoalannya sendiri. Carlo Ancelotti contohnya. Semasa menangani Real Madrid, ia harus dua kali menyampaikan instruksi -- satu kali kepada tim dalam bahasa Spanyol, satu kali kepada Toni Kroos dalam bahasa Inggris. Ancelotti tidak bisa berbahasa Jerman (saat itu) dan Kroos tidak bisa berbahasa Spanyol.
Jose Mourinho punya persoalan serupa. Ia merasa Sami Khedira dan Mesut Ozil tidak pernah bisa benar-benar maksimal menjalankan instruksi darinya karena kedua pemain itu tak bisa benar-benar mencerna maksud Mourinho. Seperti Kroos, Khedira dan Ozil tidak fasih berbahasa Spanyol.
Adalah keliru menilai pemain sepakbola atas dasar kefasihan bahasanya. Pesepakbola ya pesepakbola: tugasnya adalah sebaik mungkin menampilkan kecakapan mengolah bola. Namun sepakbola modern telah membuat multikulturalisme dalam klub menjadi norma, sehingga kemampuan berkomunikasi dalam banyak bahasa menjadi kewajiban. Dapat bertutur hanya dalam bahasa ibu* tidak lagi cukup.
Dengan sendirinya, manajer menghadapi tantangan tersendiri. Pemain perlu bekerja keras untuk menguasai bahasa utama klub (Spanyol di Spanyol, Italia di Italia, Inggris di Inggris -- walau di Newcastle United pada suatu masa, Prancis pernah menjadi bahasa utama karena pemain berbahasa ibu Prancis sangat banyak), namun itu memakan waktu. Agar sang pemain langsung bisa menjalankan tugasnya, manajer perlu bisa berkomunikasi dengan sang pemain dalam bahasa yang dikuasai pemain yang bersangkutan.
Arsene Wenger patut dikedepankan dalam hal ini. Pada sebuah kesempatan, Wenger ditanya berapa banyak bahasa yang ia gunakan untuk berkomunikasi. Sang manajer berkebangsaan Prancis menjawab: “tergantung situasi.”
Selain menguasai bahasa Prancis sebagai bahasa ibu, Wenger sudah fasih berbahasa Jerman sejak masih sekolah. Kesadaran Wenger atas pentingnya kemampuan menguasai banyak bahasa, sedikit banyak, dipengaruhi oleh fakta bahwa kota asalnya berdekatan dengan batas negara Prancis-Jerman. Merasa itu saja tidak cukup, Wenger kemudian mempelajari bahasa Inggris, sehingga ketika ditunjuk menjadi manajer Arsenal pada Oktober 1996, ia sudah siap. Di luar ketiga bahasa itu, Wenger juga menguasai bahasa Spanyol, Italia, dan (sedikit) Jepang.
Dengan menguasai banyak bahasa, Wenger tak membutuhkan jasa interpreter sebagaimana Sir Bobby Robson dibantu Mourinho untuk menyampaikan instruksi. Walau demikian, ia secara aktif mendorong para pemainnya untuk menguasai bahasa-bahasa lain di luar bahasa ibu mereka, dan mengingatkan bahwa sepakbola bisa menimbulkan ilusi rasa nyaman.
“Orang-orang yang tidak bisa saling berbincang bisa bermain bersama karena kita bisa menggunakan tubuh dan pemahaman permainan untuk berkomunikasi, dan kita bisa memiliki visi permainan uang nyaris sama,” ujarnya. “Seorang pemain Rusia, Amerika, dan Jepang bisa bermain bersama dan bermain dengan baik bersama-sama tanpa berbicara, dan karena itulah kadang sepakbola menjadi hambatan, karena para pemain merasa mereka tidak perlu berkomunikasi, dan kami harus mendorong mereka untuk belajar bahasa Inggris dengan baik. Kadang mereka merasa bermain bersama sudah cukup.”
Komitmen Wenger terhadap penguasaan bahasa tidak terbatas di Arsenal. Ia secara aktif memperjuangkan pembelajaran bahasa kepada anak lewat olahraga. Hal ini membuat dirinya, pada 2013, menjadi peraih pertama penghargaan juara bahasa publik, yang digagas oleh British Academy dan The Guardian.
Wenger adalah contoh paling tepat dari kesadaran atas tantangan bahasa dalam sepakbola modern. Menguasai banyak bahasa itu sangat perlu, walau bahasa ibu tetap yang paling penting.
***
*Kami menganut pengertian KBBI daring untuk bahasa ibu ("bahasa pertama yang dikuasai manusia sejak lahir melalui interaksi dengan sesama anggota masyarakat bahasanya, seperti keluarga dan masyarakat lingkungannya") walau beberapa publikasi menggunakan frasa "bahasa ibu" untuk merujuk "bahasa daerah". Dengan kata lain: bahasa ibu bisa juga berarti bahasa nasional.
Komentar