Sejak sepakbola pertama kali disiarkan pada 1936, siaran sepakbola adalah anugerah terbesar bagi para penikmatnya. Apalagi sejak ditemukannya televisi berwarna. Liga Primer Inggris pasti menjadi santapan paling renyah.
Liga yang katanya paling kompetitif ini dianggap paling menghibur karena memiliki bintang-bintang sepakbola dunia yang tersebar bukan hanya di beberapa kesebelasannya, melainkan di hampir seluruh kontestannya, 20 kesebelasan tepatnya.
Di Indonesia, penonton Liga Primer selalu menunjukkan angka yang tinggi dari musim ke musim. Tayangan Liga Primer secara gratis sempat dirasakan masyarakat Indonesia sejak 1990 melalui televisi terestrial, dari mulai RCTI, SCTV, ANTV, Indosiar, TPI, sampai TV7 (kemudian menjadi Trans7).
Namun pada 2007/08, tayangan gratis ini sempat mengalami gangguan. Hak siar Liga Primer yang sudah mahal, malah dimonopoli oleh salah satu televisi berbayar yang datang dari luar negeri. Sejak saat itu, untuk pertama kalinya sepanjang sejarah, masyarakat Indonesia harus berlangganan televisi berbayar untuk menikmati Liga Primer Inggris.
Masuknya Astro, Awal Pergeseran Budaya Menonton Liga Primer
Sebelum 2007/08, pihak yang menguasai hak siar Liga Primer di Asia adalah ESS (ESPN dan Star Sports). Saat itu, televisi terestrial di Indonesia berhubungan dengan ESS untuk mendapatkan hak siar Liga Primer di Indonesia. Sementara bagi pelanggan televisi berbayar di Indonesia, mereka bisa menonton jika televisi berbayar tersebut memiliki dua saluran milik ESS, yaitu ESPN dan Star Sports.
Namun, ini semua berubah pada 2006. Astro All Asia Network plc (induk Astro) mengambil hak siar Liga Primer untuk tiga negara Asia Tenggara, yaitu Malaysia, Indonesia, dan Brunei Darussalam.
Astro adalah perusahaan asal Malaysia. Di negaranya sendiri, mereka adalah pemain tunggal yang memonopoli rumah tangga Malaysia.
Astro kemudian masuk ke Indonesia pada 2005 melalui Direct Vision, anak perusahaan grup Lippo. Di Indonesia, Astro memakai nama Astro Nusantara. Secara resmi, Astro Nusantara didirikan pada 28 Februari 2006.
Baca juga: Ketika Sepakbola Menjadi Tayangan dan Bukan Lagi Permainan
Keputusan Astro mengakuisisi hak siar Liga Primer mengacaukan pasar Indonesia. Dengan mendapatkan hak siar ini, Astro berhak meminta ESS untuk tak menyiarkan satu pun pertandingan Liga Primer melalui televisi berbayar di Indonesia selain Astro.
Karena televisi-televisi terestrial sebelumnya mendapatkan hak siar Liga Primer (untuk ditayangkan free-to-air) dari ESS, maka dengan dilarangnya ESS menyiarkan Liga Primer, para televisi terestrial di Indonesia pun jadi tak memiliki hak untuk menyiarkan Liga Primer.
Beruntung bagi masyarakat yang masih senang dengan siaran gratis, Lativi (kemudian berubah menjadi tvOne) bisa membeli hak siar dari Astro untuk 2007 sampai 2009, meski hanya mendapatkan jatah dua pertandingan per pekan (satu pertandingan di Sabtu dan satu lagi di Minggu).
Di saat televisi terestrial hanya menyiarkan dua laga, masyarakat banyak yang “dipaksa” berlangganan televisi berbayar. Meski saat itu masyarakat Indonesia belum memiliki budaya berlangganan televisi berbayar yang besar, tapi strategi Astro bisa dibilang sukses.
Di tahun pertama, mereka mendapatkan 70-80 ribu pelanggan. Pada saat itu, angka tersebut adalah rekor di Indonesia.
Astro yang belum puas, kemudian berniat membeli saham Direct Vision untuk benar-benar memonopoli pasar Liga Primer di Indonesia. Namun, rencana tersebut gagal. Akhirnya mereka bekerja sama dengan operator televisi berbayar lainnya, yaitu PT Karya Megah Adijaya (KMA).
Pada musim 2008/09, Astro dan KMA memakai merek baru dengan nama Aora, yang sebenarnya adalah akronim dari Astro Nusantara.
Situasi Pasca-Astro dan Aora
Berasal dari Malaysia, ada sensitivitas yang muncul dengan pengambilan hak siar Astro ini. Apalagi Astro (dan selanjutnya Aora) juga menggunakan satelit Malaysia, MEASAT-2 dan MEASAT-3, untuk berlabuh di Indonesia. Hal ini menimbulkan masalah lainnya dalam hal undang-undang penyiaran.
Baca juga: Alasan Berlangganan TV Satelit: Sepakbola!
Monopoli mereka atas Liga Primer membuat masyarakat Indonesia, yang sudah terkenal gila sepakbola, menjadi kesal. Padahal menonton sepakbola terbukti bisa menyehatkan secara sains.
Astro dan ESS (yang padahal mereka tendang) kemudian sempat bekerja sama menawarkan hak siar Liga Primer 2008/09 dengan nilai sangat besar: 25 juta dollar AS.
Dengan rencana memantapkan monopoli siaran Liga Primer di Indonesia, manuver Astro dan ESS tersebut ternyata malah menjadi awal kebangkitan televisi Indonesia. Para operator televisi berbayar Indonesia bersatu. Indovision, First Media, Telkom Vision, dan IM2 memutuskan untuk bersatu membeli hak siar dengan harga fantastis tersebut.
Mereka berempat memiliki rencana “asal bukan Astro” dengan berbagi siaran selama satu tahun. Melihat rencana mereka berantakan, Astro dan ESS kemudian membatalkan tawaran itu untuk kemudian memberikan hak siar kepada Aora.
Namun, semuanya hanya bertahan selama satu tahun. Pada Agustus 2009, Aora melepas hak siar Liga Primer.
Sejak saat itu, hak siar Liga Primer di Indonesia berjalan dinamis hingga sekarang. Masyarakat tak perlu bingung dengan pertanyaan, "Nonton Liga Inggris di mana, nih?". Meski tambah mahal setiap tahunnya, persaingan hak siar Liga Primer di Indonesia berjalan sehat, baik melalui televisi terestrial maupun televisi berbayar.
Untuk musim 2016 sampai 2019, hak siar Liga Primer Inggris di Indonesia dipegang oleh beIN Sports, MNCTV, dan RCTI. Saluran beIN Sports sendiri bisa ditonton di berbagai televisi berbayar serta televisi over the top (OTT) atau jasa streaming (yang legal maksudnya).
Perlahan tapi pasti, masyarakat Indonesia mulai bisa digeser pola pikir dan kebudayaannya untuk berlangganan televisi non-terestrial, terutama televisi yang berbasis satelit (bukan kabel) karena bisa dinikmati sampai ke daerah terpencil.
Sementara bagi masyarakat yang kebelet nonton sepakbola tapi tak disiarkan di televisi terestrial serta tak berlangganan televisi berbayar dan OTT, mereka masih bisa menonton sepakbola lewat jasa streaming ilegal. Dasar.
Komentar