Jepang menyebutnya Nikkan-sen, Korea Selatan menyebutnya Han-il-jeon. Rivalitas antara dua negara tetangga ini terbentuk atas dasar dendam dan air mata darah – salah satu yang terpanas di Asia.
Para pemain Korsel datang ke Stadion Meiji Jingu pada 7 Maret 1954 dengan tekanan besar. Presiden pertama Korsel, Syngman Rhee, memberikan ultimatum: jika kalah, maka keseluruhan tim harus pulang dengan cara berenang melintasi Laut Timur. Ia bahkan tidak mengizinkan Jepang menginjakkan kaki di Korsel, sehingga Kualifikasi Piala Dunia 1954 yang berformat kandang-tandang (dua leg) itu semuanya digelar di Tokyo.
Bukan tanpa alasan pria kelahiran 1875 itu sangat membenci Jepang. Sejak masih muda, ia memang telah terlibat dalam organisasi pergerakan kemerdekaan Korea (ketika itu masih belum terpecah) bernama Sinminhoe. Keluar-masuk dan disiksa di penjara merupakan hal biasa baginya, sebelum melarikan diri ke Amerika Serikat pada 1912, untuk menjalani pengasingan. Ia baru kembali ke Korea setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu pada 1945.
Ultimatum dari Rhee terhadap timnas Kosel mungkin terkesan mengada-ada, tetapi terbukti sukses melecut semangat para pemain. Mereka berhasil menang 5-1 sekalipun tertinggal terlebih dahulu. Dalam leg kedua yang digelar tujuh hari kemudian, skor berakhir imbang 2-2, sehingga Korsel berhasil menjadi tim Asia kedua yang lolos ke Piala Dunia setelah Hindia Belanda pada 1938.
Kemenangan itu merupakan kebahagiaan besar, bukan hanya bagi Rhee dan segenap tim, melainkan juga rakyat Korsel. Sebagai sebuah bangsa, mereka membuktikan mampu bersaing dengan mantan penjajahnya yang kejam.
***
Awalnya, Jepang hanya menjadi ‘teman’ bagi Korea untuk berlindung dari kolonialisme bangsa-bangsa Eropa melalui Perjanjian 1876 - perjanjian ini pun sebenarnya merupakan alat bagi Jepang untuk memengaruhi politik dan militer Korea secara perlahan. Setelah Jepang mengusir Rusia dari kawasan Asia Timur pada 1905, diciptakan perjanjian yang semakin menguntungkan Jepang: Korea menjadi negara protektorat sang “Tjahaja Asia”.
Semakin lama, pengaruh Jepang terhadap Korea semakin besar, hingga akhirnya tibalah 22 Agustus 1910, hari saat Jepang menyempurnakan proses kepemilikan atas Korea. Orang-orang Korea menyebutnya sebagai Gukchi-il atau Hari Penghinaan Nasional.
Kesempatan dimanfaatkan dengan “sangat baik” oleh Jepang. Mereka menduduki Korea dengan penuh semangat dan totalitas. Migrasi besar-besaran tak terhindarkan. Berdasarkan studi berjudul “Legal Categories, Demographic Change and Japan’s Korean Residents in the Long Twentieth Century”, kepemilikan warga Jepang atas tanah pertanian di Korea mencapai 52,7% pada 1932. Sedangkan, mayoritas warga Korea sendiri hanya mampu menjadi penyewa, dengan lebih dari setengah hasil penjualan menjadi milik tuan tanah. Tidak sedikit yang terpaksa menjadikan istri dan anak mereka sebagai pekerja seks komersial demi bisa membayar pajak.
Jepang juga berusaha mengikis kebudayaan asli Korea sedikit demi sedikit. Mereka menghancurkan Gyeonbokgung, istana kerajaan Korea yang dibangun pada 1395, dan membangun kantor pusat pemerintahan. Pelbagai perusahaan surat kabar berbahasa Korea diberedel, kurikulum pendidikan Korea dihapus, pembatasan penggunaan bahasa Korea diterapkan, dan bahkan warga Korea juga dipaksa mengganti nama menjadi ‘lebih Jepang’.
Memasuki era Perang Dunia Kedua, para pria Korea tak lebih dari sekadar pion bagi Jepang. Ada yang dipaksa bekerja sebagai buruh pabrik senjata, ada juga yang dikirim sebagai pengisi lini depan di medan perang. Sedangkan, para perempuan menjadi budak seks bagi tentara Jepang. Terasa familiar?
***
Selepas kemenangan pada pertemuan perdana, Korsel dan Jepang terus bersaing dalam memperebutkan titel sebagai raja sepakbola Asia. Secara keseluruhan, Korsel lebih unggul dalam head-to-head dengan 41 kemenangan dalam 78 pertemuan, sedangkan Si Samurai Biru hanya pernah menang 14 kali.
Kedua tim cukup seimbang untuk urusan titel. Jepang mengoleksi empat trofi Piala Asia dan satu Piala Asia Timur, sedangkan Korsel memiliki dua trofi Piala Asia dan empat Piala Asia Timur.
Menariknya, kebencian yang didengungkan dengan lantang oleh Rhee 64 tahun lalu tetap menyeruak ke permukaan melalui pelbagai bentuk dan dalam pelbagai kesempatan.
Dalam leg pertama Kualifikasi Piala Dunia 1986, Korsel menang 2-1 atas Jepang di Stadion Nasional, Tokyo. Ketika Korsel mencetak gol kedua melalui Lee Tae-Ho, komentator TV Song Jae-Ik berteriak “Gunung Fuji luluh lantak”. Itu menjadi frasa legendaris di kalangan suporter Korsel, Bulgeun Akma (Setan Merah).
Dalam Kualifikasi Piala Dunia 1994, Jepang secara menyakitkan tersingkir akibat gol injury time gelandang Irak, Jaffar Omran Salman, yang membuat skor menjadi imbang 2-2. Mereka mengenangnya sebagai “D?ha no Higeki” atau Tragedi Doha. Adapun Korsel, yang berhak lolos berkat hasil tersebut, menyebutnya sebagai “Doha ui Gijeok” atau Keajaiban Doha, dan masih kerap merayakannya hingga sekarang.
Pada laga uji coba menjelang Piala Dunia 2010, Park Ji-Sung berhasil mencetak gol ke gawang Jepang. Ia tidak melakukan selebrasi berlebihan, hanya melihat ke arah tribun yang dipenuhi oleh Ultras Nippon dengan tatapan dingin tanpa ekspresi. Ia seakan ingin mengenang air muka kecewa para suporter Jepang.
Dalam perebutan medali perak Olimpiade London 2012, Korsel berhasil keluar sebagai pemenang dengan skor 2-0 atas Jepang. Ketika merayakan kemenangan, gelandang Park Jong-Woo membentangkan tulisan ‘Dokdo adalah tanah kami’ sebagai penegasan hak teritori Korsel atas Pulau Dokdo. Untuk diketahui, Jepang pernah mengklaim bahwa Pulau Dokdo adalah milik mereka dan menamakannya Pulau Takeshima.
Park sempat dilarang ikut seremoni penyerahan medali, tetapi beberapa bulan kemudian Komite Olimpiade Internasional memutuskan bahwa perbuatannya tidak berlandaskan motif politik. Ia pun menerima medali yang merupakan haknya.
Para pendukung Jepang tentu memiliki aksinya sendiri. Dalam laga Piala Asia Timur 2011, mereka menggunakan topeng “Devil Kim Yuna”. Kim Yuna sendiri adalah seorang atlet ski es Korsel yang meraih satu medali emas Olimpiade Musim Dingin. Ia pernah memiliki rivalitas sengit dengan atlet asal Jepang, Asada Mao. Selain menggunakan topeng Kim, Ultras Nippon juga mengibarkan bendera Matahari Terbit, yang tak lain merupakan simbol imperialisme Jepang.
Pengibaran bendera Matahari Terbit dikecam keras oleh Korsel. Bek Ki Sung-Yeung mengatakan bahwa “ketika melihat bendera tersebut dikibarkan di dalam stadion, (saya) merasa ingin muntah dan menangis”. Meski demikian, Ultras Nippon tetap membawa bendera itu ke pinggir lapangan hijau dalam beberapa pertandingan setelahnya.
Sikap dari suporter Jepang itu membuat Asosiasi Sepakbola Korea Selatan mengizinkan Bulgeun Akma mengibarkan spanduk raksasa bertuliskan “Negara yang Melupakan Sejarahnya Tidak Memiliki Masa Depan” sebagai bentuk perlawanan dalam sebuah laga Piala Asia Timur pada 2013.
Bagi Korsel dan Jepang, pertemuan di atas lapangan adalah momen terbaik untuk membuktikan dominasi satu sama lain dengan cara paling sehat. Seingin apapun FIFA menendang politik jauh-jauh dari sepakbola, sejarah tetaplah identitas paling sejati dari masing-masing kesebelasan itu sendiri.
Komentar