Julien Faubert pernah menjadi bagian dari klub terbesar abad 20, walau hanya lima bulan. Bagaimana Real Madrid memperlakukannya, menurut Faubert kepada fourFourTwo pada 2016, membuatnya merasa benar-benar berada di klub besar. Dalam dua hari sejak kedatangannya di Madrid, semua yang ia butuhkan sudah siap sedia: tempat tinggal, mobil pribadi, hingga sekolah untuk anak-anaknya.
Maka ketika saya berkesempatan mewawancarainya di Menteng, Jakarta Pusat, pada Jumat (9/3) lalu, salah satu dari beberapa pertanyaan yang paling awal saya ajukan adalah bagaimana Borneo FC memperlakukannya.
“Saya terkejut karena Borneo adalah klub yang benar-benar profesional,” ujar Faubert. “Ketika saya tiba, saya sudah mendapat semuanya juga -- mobil, rumah, semua yang saya butuhkan. Di Eropa, beberapa klub -- terutama di Prancis -- tidak seperti Borneo.”
Untuk seseorang yang sejak lepas dari West Ham United malang-melintang di liga minor Eropa dan relatif tak tersentuh oleh godaan pundi-pundi Liga Tiongkok, bagaimana akhirnya Faubert memilih Indonesia sebagai pelabuhan barunya cukup menarik untuk dicari tahu. Ia mengaku mendapat rekomendasi dari Mohamed Sissoko, eks pemain Mitra Kutai Kartanegara.
“Kamu kan tahu tentang keyakinan saya dan bagaimana perasaan saya tentang agama,” ujar Faubert sang mualaf. “Dia [Sissoko] bilang kepada saya, ‘ayo ke sini, kamu akan suka tinggal di negara muslim dan kamu akan merasa hidup di liga karena liga di sini sangat kompetitif dengan pendukung yang sangat banyak.’ Hanya hal-hal positif.”
Bahwa yang banyak bercerita tentang Indonesia kepada Faubert adalah Sissoko cukup menarik. Keduanya tidak pernah bermain bersama. Kenapa Faubert tidak bertanya tentang Indonesia kepada Carlton Cole, yang pernah bermain bersamanya dalam 117 pertandingan?
“Tidak, saya tidak berbicara dengannya tentang Indonesia,” jawab Faubert ketika saya bertanya apa yang Cole katakan tentang Indonesia. “Yang saya dengar, waktunya di Indonesia tidak begitu baik. Saya hanya bicara tentang Indonesia dengan Momo [Sissoko] dan dia bilang ‘Julien, ke sini, kamu akan menikmatinya.’”
***
Julien Faubert lahir di Le Havre, Prancis, 1 Agustus 1983. Ia menimba ilmu di akademi sepakbola AS Cannes dan di AS Cannes pula ia menjalani debutnya sebagai pemain profesional. Pada 2004, setelah dua tahun di tim utama Cannes, Girondins de Bordeaux datang meminang. Bersama Bordeaux, nama Faubert meroket. Saat masih membela Bordeaux pula tugas negara memanggil.
Raymond Domenech, pelatih tim nasional Prancis saat itu, mempercayakan seragam nomor sepuluh kepada Faubert. Ia menjadi pemain pertama yang mengenakan nomor kebesaran tersebut sejak Zinedine Zidane pensiun pada Juli 2006.
“Saya sangat bangga bisa bermain untuk tim nasional saya, terutama karena saya mengenakan seragam ini karena itu milik salah satu pemain sepakbola terbesar di dunia tapi pada akhirnya, ketika sudah di lapangan, hal-hal seperti ini tidak terlalu saya perhatikan… Saya masih menyimpan kaus itu di rumah saya.”
Seolah itu tak cukup membanggakan, Faubert juga mencetak gol kemenangan Prancis dalam pertandingan persahabatan melawan Bosnia-Herzegovina pada 16 Agustus 2006 tersebut. Namun panggilan tim nasional tak pernah kembali datang. Pada 2014, Faubert akhirnya memilih untuk membela tim nasional Martinik. Tapi kenapa selama itu hingga Faubert akhirnya memutuskan untuk tidak lagi menunggu panggilan Prancis?
“Begini, jika kamu orang Prancis, kamu bermain untuk Prancis dan kamu akan menunggu dan menunggu. Saya mendapat banyak panggilan dari Martinik tapi saya tetap menunggu hingga akhirnya saya pikir sudah waktunya saya pergi.”
“Saya rasa keputusan saya tepat karena [Martinik adalah] asal saya, dari sana leluhur saya berasal. Saya rasa keputusan saya tepat dan saya sangat menikmati bermain dan mengenal sepakbola Karibia. Sepakbola Karibia cukup mirip dengan sepakbola di sini; sangat fisikal, cuacanya sangat panas, tapi saya tetap menikmatinya.”
Menyoal cuaca panas, Samarinda terletak di garis khatulistiwa sementara klub Faubert sebelumnya adalah klub Finlandia. Perbedaan iklim yang ekstrem tersebut, ternyata, bukan masalah untuknya.
“Tidak, [perbedaan iklim] tidak benar-benar menjadi masalah karena tubuh saya sudah beradaptasi dengan cuaca, dan saya juga berasal dari Kepulauan Karibia. Cuacanya sama. Pada awalnya terasa berbeda, tapi tubuh saya baik-baik saja. Saya hanya perlu banyak minum.”
***
Borneo FC mengikat Julien Faubert dengan kontrak berdurasi satu musim saja. Usianya sekarang sudah menjelang 35 -- sudah tak lagi muda. Tapi jika semuanya berjalan lancar, bukan tak mungkin karier Faubert masih lebih panjang ketimbang kontrak singkat tersebut. Ia belum terpikir untuk pensiun.
“Saya masih akan terus bermain selama tubuh saya mengizinkan. Saya tidak menentukan batasan usia. Bagaimana perasaan saya saja. Saya mencintai permainan ini, saya merasa diberkati bisa bermain dan bisa mendapat apa yang saya dapat, jadi, insyaAllah, semakin lama, semakin baik.”
Komentar