Ada keraguan besar saat Carlo Tavecchio terpilih menjadi presiden FIGC – federasi sepakbola Italia – menggantikan Giancarlo Abate (yang mundur usai Italia gagal di Piala Dunia 2014). Sebelum diadakan pemilihan presiden FIGC yang baru saat itu, Tavecchio melontarkan pernyataan rasis, yang tentu saja menuai kecaman dari berbagai pihak.
Namun permintaan maaf Tavecchio jelang pemilihan berlangsung tampaknya membuat sejumlah kesebelasan yang sempat menarik dukungannya luluh. Tavecchio pun akhirnya terpilih menjadi ketua FIGC baru per 2014.
Tavecchio kemudian mengumumkan beberapa rencana yang akan ia lakukan terhadap sepakbola Italia di bawah kepemimpinannya. Dimulai dari pengurangan jumlah klub yang berkompetisi di Serie A dan Serie B, mengembangkan pemain muda Italia, hingga pemberdayaan sepakbola perempuan.
Tapi kepemimpinan Tavecchio berakhir pada November 2017 setelah ia memutuskan untuk mengundurkan diri. Alasan utamanya adalah kegagalan Italia berlaga di Piala Dunia 2018, setelah kalah dari Swedia di babak play-off. Terakhir kali Gli Azzurri absen pada gelaran tersebut terjadi pada 60 tahun lalu, di Piala Dunia 1958 yang digelar di Swedia.
Dari berbagai rencananya yang dicanangkan Tavecchio di awal kepemimpinannya, ada satu hal yang paling terlihat positif dan signifikan saat ini; yakni soal pengembangan pemain muda. Italia memang mengalami krisis pemain top yang sejurus dengan prestasi tim nasional mereka. Bahkan skuat Italia pada Piala Eropa 2016 lalu disebut-sebut skuat terburuk Italia sejak 1950. Bintang Italia saat itu bukan pemain, melainkan Antonio Conte yang berhasil menyulap permainan Italia menjadi mengerikan.
Maka sebenarnya tidak mengherankan jika setelah Conte hengkang dari kursi pelatih timnas Italia, dan Italia dilatih Gian Piero Ventura yang kurang punya rekam jejak mentereng, Italia kembali tak bertaji sampai akhirnya bertemu dengan mimpi buruk yang menjadi kenyataan, yaitu gagal lolos ke Piala Dunia 2018 di Rusia.
Tavecchio yang menunjuk Ventura merasa bertanggung jawab atas kegagalan tersebut hingga akhirnya memutuskan mundur. Walaupun begitu, sebenarnya Tavecchio tidak sepenuhnya gagal memimpin federasi yang berdiri pada 16 Maret 1898 tersebut. Karena tanpa disadari, Italia perlahan mulai menemukan secercah harapan untuk masa yang akan datang berkat diberlakukannya aturan baru sejak mulai dipimpin oleh Tavecchio.
Aturan 25 Pemain yang Memberdayakan Pemain Muda
Dalam beberapa tahun terakhir, sepakbola Italia dikenal sebagai gudangnya pemain tua. Anggapan ini tidak salah. Selain Francesco Totti, Gianluigi Buffon, Andrea Pirlo, Alberto Gilardino, dan Luca Toni yang masih beredar di sepakbola Italia dalam beberapa tahun terakhir, masih banyak lagi pemain yang sudah dimakan usia namun tetap jadi andalan tim Serie A.
Buffon masih diandalkan Juventus di bawah mistar gawang.
Anggapan di atas semakin terasa ketika Juventus berlaga di Liga Champions. Ketika lawan-lawan mereka tampil dengan wajah-wajah muda, Juventus yang dalam enam musim terakhir menjuarai Serie A Italia masih mengandalkan banyak pemain tua. Saat melangkah ke babak final Liga Champions 2015, masih terdapat Andrea Pirlo (36 tahun), Gianluigi Buffon (38 tahun), Andrea Barzagli (34 tahun), Carlos Tevez (31 tahun), Stephan Lichtsteiner (31 tahun) hingga Patrice Evra (34 tahun) yang secara reguler bermain dengan skuat tim utama.
Ketika banyaknya pemain tua di klub-klub, pemain non-Italia pun tersebar di 20 kesebelasan Serie A. Pelatih timnas Italia periode 2010 hingga 2014, Cesare Prandelli, mengeluhkan banyaknya pemain asing yang beredar di Italia sehingga ia kesulitan mencari pemain lokal yang sesuai kriterianya. Keluhan Prandelli ini sejurus dengan data yang dikumpulkan CIES Football pada 2014, yang menyebutkan bahwa terdapat 173 pemain (sekitar delapan pemain per tim) non-Italia yang setidaknya tampil sebanyak 15 pertandingan di Serie A musim 2013/14.
Inilah yang hendak direformasi oleh Tavecchio di awal kepemimpinannya. Ia sadar bahwa sepakbola Italia tengah krisis, setidaknya mulai tersalip oleh Bundesliga. Tak lama setelah diumumkan menjadi presiden baru FIGC, ia langsung mengumumkan reformasi, khususnya untuk pengembangan pemain muda di semua kesebelasan Italia.
“Ada 800 ribu anak di bawah usia 17 tahun di Italia, seseorang harus memperhatikan mereka ketimbang membeli banyak pemain dari Amerika Selatan. Kami akan melakukan apa yang bisa menjadi kekuatan kami. Kami akan berinvestasi sebesar 20 juta euro untuk pengembangan pemain muda di berbagai daerah,” kata Tavecchio sebagaimana dikutip Forza Italian Football.
Tak hanya dari investasi, Tavecchio juga memberlakukan aturan baru untuk Serie A. Mengadopsi syarat skuat untuk UEFA Champions League dan Europa League, mulai musim 2015/16, setiap tim hanya boleh mendaftarkan 25 pemain saja, tidak termasuk pemain di bawah 21 tahun. Dari 25 pemain tersebut, minimal delapan pemain di antaranya harus berstatus homegrown atau pemain didikan lokal (minimal empat pemain harus berasal dari akademi masing-masing klub).
Sebelumnya, setiap kesebelasan diperbolehkan mendaftarkan lebih dari 25 pemain asalkan bisa memenuhi syarat delapan pemain homegrown (dengan minimal empat pemain berasal dari akademi masing-masing klub). Inilah yang membuat banyaknya pemain-pemain senior menghuni 20 kesebelasan Serie A, yang menghambat kesempatan bermain para pemain muda.
Namun dengan pembatasan 25 pemain over-aged, tak sedikit klub yang mendaftarkan kurang dari 25 pemain yang usianya di atas 21 tahun. Untuk menjalani kompetisi yang panjang, kesebelasan-kesebelasan Serie A pun mulai melirik pemain di bawah usia 21 tahun dan mempromosikan beberapa pemain akademi.
Pemain di bawah usia 21 tahun memang tak perlu didaftarkan ke dalam 25 pemain yang klub daftarkan di awal kompetisi. Karena hal inilah, banyak pemain-pemain muda yang mulai bermunculan sejak aturan ini diberlakukan di Serie A 2015/16.
Gianluigi Donnarumma di AC Milan misalnya. Potensinya baru terlihat pada musim 2015/16, padahal ketika itu ia masih berusia 16 tahun. Tak hanya Donnarumma, Davide Calabria dan Manuel Locatelli pun mulai dipromosikan ke tim utama Milan. Wajah-wajah muda pun menggantikan para pemain senior yang dilepas klub seperti Daniele Bonera, Sulley Muntari, Giampaolo Pazzini, Michael Essien, dan Christian Zaccardo.
Donnarumma harapan AC Milan dan timnas Italia di masa yang akan datang
Hal yang sama juga dilakukan oleh Juventus. Si Nyonya Tua sebelumnya mengandalkan kiper asal Brasil berusia 34 tahun, Rubinho, sebagai kiper ketiga setelah Buffon dan Neto. Namun mulai musim 2015/16, terdapat Emil Audero yang promosi dari akademi Juventus. Setelah Rubinho dilepas Juventus, Audero-lah yang menjadi kiper ketiga Juventus. Kini Audero dipinjamkan ke Venezia; kiper ketiga Juventus merupakan kiper alumnus akademi Juventus, yakni Carlo Pinsoglio.
Musim 2016/17, pemain-pemain muda Italia semakin mendapatkan tempat di kesebelasan-kesebelasan Serie A. Selain Donnarumma dan Locatelli, pemain muda lain seperti Roberto Gagliardini, Federico Chiesa, Marco Benassi, Pol Lirola, Federico Dimarco, hingga pemain berusia di bawah 17 tahun seperti Moise Kean, Filippo Melegoni dan Pietro Pellegri mulai bermunculan, bahkan mencatatkan sejarah sebagai pemain termuda masing-masing klub.
Kesebelasan-kesebelasan Italia pun mulai berinvestasi pada pemain Italia setelah diberlakukannya aturan tersebut. Milan, misalnya, berani membayar mahal untuk merekrut Alessio Romagnoli, Gianluca Lapadula, Andrea Conti, dan Leonardo Bonucci yang berkebangsaan Italia. Sementara itu Juventus membeli Daniele Rugani, Mattia Caldara, dan Federico Bernardeschi; Inter berinvestasi kepada Antonio Candreva, Roberto Gagliardini, dan Alessandro Bastoni; Lazio membeli Ciro Immobile selepas pensiunnya Miroslav Klose; Napoli merekrut Leonardo Pavoletti, Alberto Grassi, dan Roberto Inglese; AS Roma membeli Stephane El Sharaawy dan Lorenzo Pellegrini serta masih banyak lagi. Pemain Italia tersebut, dengan statusnya sebagai pemain homegrown, diharapkan bisa meningkatkan kualitas tim tanpa terbentur regulasi baik saat ini atau di masa yang akan datang.
Baca juga: Mengenal Istilah Pemain Homegrown
Harapan untuk Timnas Italia untuk Juara Piala Dunia 2022
Dampak dari mulai banyaknya pemain Italia yang mendapatkan kesempatan bermain tentu sangat terasa bagi timnas Italia. Walaupun tidak secara instan, tapi ini menjadi momentum yang pas ketika timnas Italia beberapa tahun terakhir tidak banyak dihuni oleh pemain-pemain top seperti Spanyol, Jerman, Inggris, hingga Prancis. Padahal Italia termasuk salah satu negara besar sepakbola.
Bersambung ke halaman berikutnya
Komentar