Naskah Pesta Bola Indonesia oleh: Panji Banidia
Hiruk-pikuk di sudut kota pada hari ini nampak tak seperti biasanya. Terlihat sekelompok anak-anak SD yang didampingi seorang kakek tua sedang menunggu sebuah bus. Mereka akan pergi bertamasya hari ini. Wajah mereka tampak riang dan antusias. Tetapi, tak sedikit pula yang menunjukkan wajah yang murung, tak bersemangat, dan kurang senang. Seorang anak yang bertubuh gemuk dengan seragam yang hampir tak bisa lagi menampung perutnya bertanya kepada si kakek tua.
“Kenapa kita harus bertamasya ke tempat yang terpencil dan jauh di luar kota sana?”.
Si kakek dengan tersenyum menjawab, “Bersabarlah nak, kau akan mengerti ketika sudah sampai nanti”.
Tak lama kemudian, bus yang mereka tunggu sedari tadi datang juga. Si kakek kemudian menyuruh mereka berbaris dengan rapi untuk masuk ke dalam bus. Satu per satu dari mereka pun memasuki bus yang diakhiri oleh si kakek. Setelah semuanya duduk dan berdoa, bus pun mulai melaju. Dari kaca jendela bus, dapat terlihat siluet gedung-gedung tinggi yang menghalangi sinar matahari pagi. Bus pun terus melaju, meninggalkan kota tersebut dengan segala hiruk-pikuknya, ke suatu tempat nan jauh disana.
Satu jam sudah bus yang mereka tumpangi melaju. Kini, dari jendela mereka tidak bisa melihat lagi deretan gedung-gedung tinggi dan perumahan padat penduduk. Hamparan pepohonan hijau yang luas diselingi oleh sungai-sungai nan jernih memanjakan mata mereka. Anak-anak itu terpana melihat pemandangan yang sudah sangat jarang, bahkan tidak pernah lagi mereka lihat. Tak lama kemudian bus pun berhenti, si kakek lalu menyuruh anak-anak untuk turun dari bus dengan tertib.
Di hadapan mereka kini berdiri sebuah pintu gerbang yang sangat tinggi. Si kakek menyuruh anak-anak berbaris dengan rapi sebelum kemudian mereka semua mulai memasuki pintu gerbang nan tinggi itu. Tak jauh dari pintu gerbang yang mereka masuki, mata mereka terbelalak melihat sebuah tugu besar yang di depannya terdapat sebuah patung dengan wajah yang sangat memprihatinkan. Bagian kepala patung itu dipenuhi oleh kotoran-kotoran burung yang menimbulkan bau tidak sedap. Setelah membaca tulisan pada tugu tersebut, mereka akhirnya mengerti.
TUGU PERINGATAN MANUSIA NAJIS – LAKNAT – PENJILAT, tulisan di tugu itu berbunyi. Di sekitarnya terdapat puluhan hingga ratusan nama-nama orang beserta gelarnya, tak sedikit pula dari nama-nama tersebut yang ditulis beserta pangkat, pekerjaan dan asal usul mereka. Yang masuk ke golongan Manusia Najis pertama adalah mereka yang memanfaatkan sepak bola demi kepentingannya sendiri atau kelompoknya. Di sana banyak tertulis nama-nama aktor politik yang “peduli” dengan klub daerah atau tim nasional negaranya hanya untuk mendapat dukungan dari masyarakat. Tak sedikit pula terdapat nama-nama bos besar rumah judi yang banyak mengatur skor atau jalannya pertandingan agar rumah judi mereka mendapat untung yang besar.
Golongan Manusia Najis yang kedua adalah mereka yang menyogok wasit agar timnya bisa memenangi pertandingan. Sementara itu, untuk golongan Manusia Najis yang ketiga adalah para pemain sepakbola yang bermain curang dan tidak menjunjung tinggi nilai-nilai fair play. Si anak gendut bertanya kepada si kakek.
“Mengapa pada daftar golongan Manusia Najis yang ke-empat aku tidak menemukan satu nama pun yang berkecimpung atau berkaitan dengan dunia sepak bola?”
“Nama-nama yang masuk ke golongan empat itu adalah nama orang-orang yang menghancurkan lapangan-lapangan sepakbola untuk digantikan dengan pusat perbelanjaan, apartemen-apartemen mewah, atau bahkan gedung perkantoran”, si kakek menjawab.
Bau tak sedap yang berasal dari kotoran-kotoran burung di patung itu membuat mereka tak ingin berlama-lama berada di situ. Mereka lalu melanjutkan perjalanannya ke bukit sebelah kanan, di mana tugu tokoh-tokoh sepakbola Indonesia berada. Dari lereng bukit mereka sudah bisa melihat tugu beserta patung-patung yang berjejer hingga ke puncak bukit. Ukuranya berbeda-beda, ada yang besar, ada yang kecil, juga ada yang biasa saja. Sebagian dari patung-patung itu ada yang diletakkan bersama-sama, sebagian lagi diletakkan sendiri-sendiri.
Di dasar bukit, mereka melihat sekelompok orang sedang berusaha memperbaiki sebuah tugu besar yang sudah hampir roboh. Bahkan bagian atas dari tugu tersebut sudah sangat hancur tak berbentuk, hanya tersisa sebuah logo PSSI besar dengan retakan di mana-mana. Seorang anak SD yang melewati tugu itu hanya bisa bertanya-tanya dalam hati, mengapa orang-orang yang sedang memperbaiki tugu itu tidak terlihat seperti seorang tukang. Banyak dari mereka yang berpakaian batik, berjas, bahkan ada yang berseragam layaknya seorang prajurit yang gagah. Ada satu hal lagi yang membuat si anak semakin bertanya-tanya. Sekelompok orang di bagian belakang tugu tersebut terlihat sedang menempelkan batu bata untuk membangun kembali bagian atas tugu yang sudah hancur. Namun, mereka menempelkan batu bata itu dengan seenaknya, bahkan tidak dilapisi adonan semen terlebih dahulu. Tak ayal batu bata yang mereka pasang terjatuh dan membuat tugu bagian bawah semakin rusak, bahkan tak sedikit pula membuat kawan-kawannya yang lain terluka.
Melewati tugu tersebut, anak-anak itu kini berada di antara jejeran patung-patung pesepakbola nasional. Seperti di sebelah kanan mereka, terlihat ada sekelompok patung-patung pesepakbola. Yang paling depan terlihat Bima Sakti, Kurniawan, dan Hendro Kartiko. Ukuran patung ketiganya tidak terlalu besar, juga tidak terlalu kecil. Di sebelah kiri, terlihat patung Bambang Pamungkas yang sedang berdiri tegak. Ukuran patung tersebut tidak terlalu tinggi, mungkin karena memang postur tubuhnya yang seperti itu. Namun tepat di atas bagian kepalanya, terlihat gumpalan-gumpalan awan berkumpul seperti sedang bercengkrama. Cukup aneh mengingat ukuran patung itu yang tak terlalu tinggi. Tepat di sebelahnya terlihat patung Boaz Solossa yang—meskipun bagian kaki kanannya hilang entah kemana—tetap berdiri tegak.
Kini mereka sampai di depan patung Indra Sjafri yang tampak sedang duduk sembari memegang sebuah piala dikelingi oleh anak-anak kecil yang sedang memperhatikannya. Selanjutnya mereka melihat patung Widodo C. Putro yang sedang melakukan tendangan salto, di sebelahnya terlihat patung Iswadi Idris dan Zulkarnaen Lubis yang bagian wajahnya sedikit tidak jelas. Hampir sampai di bagian puncak, mereka melihat tiga patung bayi yang sedang merangkak ke arah puncak dengan sekelompok bayi-bayi mungil mengikuti ketiganya. Di bagian baju ketiga patung itu tertulis nama Evan Dimas, Febri Hariyadi, dan Egi M.V.
Sampai di bagian puncak bukit, terlihat ada tujuh patung besar mengelilingi satu buah patung yang lebih besar dari ketujuh patung tersebut. Ketujuh patung tersebut terdiri dari patung Ronny Pasla, Robby Darwis, Aji Santoso, Ronny Pattinasarani, Soetjipto Soentoro, Andi Ramang, dan Sinyo Aliandoe. Patung yang paling besar yang dikelilingi oleh ketujuh patung tersebut adalah patung Soeratin Sosrosoegondo yang sedang berdiri tegak mengacungkan sebuah keris ke arah langit. Bagian wajah patung Soeratin ini sangat bercahaya, sehingga membuat yang melihatnya mematung terkagum-kagum.
Dengan mata yang masih terkagum-kagum, mereka kemudian beralih ke sebelah kiri, tempat dimana bukit internasional berada. Ketika memasuki gerbang Bukit Internasional, di sebelah kanan mereka melihat beberapa patung yang sedikit terpinggirkan. Di sana ada patung Raul Gonzales, Alesandro Del Pierro, Steven Gerrard, Frank Lampard, dan sebuah lahan kosong yang seperti disiapkan untuk satu buah patung lagi. Di atas lahan tersebut tertancap sebuah tanda dari kayu yang bertuliskan “RESERVED, by John Terry”. Beranjak dari tempat itu, kini dihadapan mereka berdiri patung Paolo Maldini, Javier Zanetti, dan Francesco Totti. Tak lupa juga di dada mereka dipahat logo klub kebanggaannya masing-masing.
Mereka kini mulai beralih ke sebuah tugu besar yang di bagian atasnya berdiri patung sekelompok orang. Di bagian depan terlihat Caludio Ranieri sedang mengangkat sebuah piala yang besar. “Fairytale Leicester”, tulisan di tugu itu berbunyi. Tepat di samping tugu tersebut, berdiri juga sebuah tugu yang tak kalah besarnya beserta patung sekelompok orang di atasnya. Pada tugu itu tertulis The Invincible Arsenal. Ketika mereka sedang asik melihat tugu tersebut, beberapa orang—yang entah dari mana datangnya—berusaha membongkar patung Arsene Wenger yang ada di atas tugu itu. Namun tak lama kemudian, beberapa orang—yang juga entah dari mana datangnya berusaha mencegah aksi tersebut.
Anak-anak SD yang merasa terganggu oleh aktivitas tersebut akhirnya pindah ke tugu selanjutnya. Tugu tersebut terlihat lebih besar dari kedua tugu sebelumnya. Di situ tertulis “Class of ’92”, dengan patung Ryan Giggs, Paul Scholes, dan David Beckham berada di depan diikuti patung-patung pemain lainnya. Di sebelah tugu tersebut, berdiri patung Eric Cantona dengan mahkota di bagian kepalanya. Tepat di depan patung Eric Cantona—dipisahkan oleh jalan setapak menuju puncak—beridiri patung Pep Guardiola yang disandingkan dengan patung Jose Mourinho. Agak jauh di sebelah kanan, mereka dapat melihat patung Zlatan Ibrahimovic yang berdiri dengan gagahnya.
Semakin dekat dengan puncak, mereka kini melihat patung Lev Yashin, Zico, Denis Law, Ronaldinho, dan Roberto Carlos. Mereka juga melihat patung Marco van Basten, Ruud Guliit, dan Frank Rijkaard yang berdiri berdekatan, saling merangkul. Di sana juga terlihat patung Geoerge Weah dan Park Ji-Sung yang berdiri berdekatan. Kini kelompok anak-anak SD tersebut tiba di bagian puncak bukit. Bagian puncak Bukit Internasional ini berbeda dengan puncak Bukit Indonesia tadi. Bentuk puncak bukit ini seperti sebuah piramida yang terbagi menjadi lima tingkat. Sebelum mereka bisa menaiki kelima tingkatan tersebut, terlebih dahulu mereka harus melewati sebuah gerbang yang di sekitarnya berdiri tujuh buah patung. Ketujuh patung tersebut adalah patung Sir Alex Ferguson, Herbert Chapman, Brian Clough, Rinus Michels, Helenio Hererra, Vittorio Pozzo, dan Bob Paisley. Bagian nama patung-patung itu dilapisi dengan emas yang begitu indah ketika dilihat.
Pada tingkatan pertama bagian puncak Bukit Internasional, terlihat lima buah patung yang berjejer dengan gagahnya. Pada deretan paling kiri ada patung Garrincha, kemudian di sebelahnya berdiri patung George Best. Di tengah, patung Zinedine Zidane berdiri tegap. Di sebelah kanannya ada patung Sir Bobby Charlton, dan di deretan paling kanan ada Michel Platini. Pada tingkatan kedua terdapat empat buah patung yang terbuat dari perunggu. Keempat patung tersebut terdiri dari Alfredo Di Stefano, Ronaldo de Lima, Franz Beckenbauer, dan Ferenc Puskas. Pada tingkatan ketiga, terdapat tiga buah patung yang terbuat dari perak. Ukuran ketiga patung ini lebih besar dari patung mana pun yang ada di taman ini. Di deretan paling kiri ada patung Johan Cruyff yang terlihat sedang memandang ke depan. Di tengah ada patung Diego Maradona yang sedang membentangkan kedua tangannya ke kiri dan ke kanan seperti membentuk salib. Tak lupa di dadanya tertulis Iglesia Maradoniana. Di sebelah kanan berdiri patung Pelé yang tampak sedang menginjak bola di kakinya.
Pada tingkatan keempat terdapat dua buah patung yang terbuat dari emas. Namun, tampaknya bagian kepala dari kedua patung tersebut belum selesai dibuat. Anak-anak yang melihat kedua patung tanpa kepala tersebut sedikit kebingungan. Patung sebelah kiri terlihat membentangkan sedikit tangan dan kakinya ke arah samping membentuk skema hufuf “v” terbalik. Di bawahnya tertulis nama Cristiano Ronaldo. Tepat di sebelah kanannya, terlihat sebuah patung yang sedang mengepalkan tangan kanannya ke arah langit. “Lionel Messi” bunyi tulisan di bagian bawah patung tersebut.
Kini sampailah anak-anak itu di tingkatan kelima atau tingkatan yang paling atas. Mereka kembali kebingungan—bahkan mungkin lebih bingung lagi—karena di bagian paling atas tersebut mereka tidak bisa menemukan satu patung pun atau tugu yang berdiri di sana. Mereka hanya menemukan rerumputan hijau dan bunga-bunga yang sangat indah.
“Kek, kenapa di sini tidak ada apa-apa?” celetuk salah seorang anak.
Si kakek kemudian balik bertanya, “benarkah kalian tidak melihat apa-apa?”
“Ya, kami tidak melihat apapun."
“Coba kalian berjalan ke arah tepi yang satunya, dan katakana apa yang kalian lihat," ujar si kakek.
Setelah mereka sampai ke tepi yang satunya, mata mereka semua terbelalak. Mulut mereka menganga. Mereka takjub melihat apa yang ada di balik bukit tersebut. Di hadapan mereka terlihat hamparan ribuan bahkan jutaan patung manusia yang berkilauan seperti permata. Patung-patung tersebut terlihat seperti para supporter sepakbola yang sedang menyaksikan pertandingan.
Si kakek kemudian berkata, "ini adalah Puncak Penghormatan, sebuah penghormatan untuk semua pecinta sepakbola di seluruh penjuru dunia. Tanpa mereka, sepakbola atau bahkan dunia tidak akan jadi seperti ini."
Masih dengan pikiran dan hati yang terkesima, mereka kini beranjak pulang. Mereka tidak diperbolehkan untuk pulang melewati gerbang yang dekat dengan Tugu Peringatan Manusia Najis tadi agar perasaan gembira dan kagum yang dirasakan tidak terkontaminasi lagi oleh peringatan manusia najis. Mereka pun akhirnya keluar dari gerbang yang lain.
Dalam perjalanan ke luar, si anak gendut bertanya pada si kakek. “Jika aku menjadi pesepakbola, akan ditempatkan di mana patungku nanti?”
“Di golongan Manusia Najis jika perbuatanmu seperti mereka. Di Bukit Indonesia jika kau membawa kebaikan bagi sepakbola Indonesia. Di Bukit Internasional jika kau bisa berbicara di kancah sepakbola dunia”, jawab si kakek. “Seorang bijak yang kalian tidak akan ketahui namanya berkata, ‘Tak ada nama pada masa depan yang akan dilupakan, dosa yang akan didiamkan atau jasa yang tiada akan dicatat. Jadi awasilah segala perbuatanmu!’” tambah si kakek.
Tulisan ini terinspirasi dan diadaptasi dari bagian “KE TAMAN MANUSIA” buku MADILOG karya Tan Malaka. Penulis dapat dihubungi lewat alamat surel banidiapanji@gmail.com. Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis lewat rubrik Pandit Sharing, dalam rangka Pesta Bola Indonesia 2018. Isi dan opini tulisan merupakan tanggung jawab penuh penulis.
Komentar