Menggunakan media sosial berarti menyiapkan bahan-bahan untuk dikonsumsi publik. Jika tak berhati-hati, jejak digital bisa serupa dosa yang teramat sulit untuk dimaafkan. Dengan demikian, edukasi mengenai cara mengelola media sosial pun menjadi penting, terutama bagi para pemain muda agar di masa depan tidak terkena sleding netizen.
Publik sepakbola nasional (lebih tepatnya, sih, Jakarta dan Bandung) mendadak heboh pada 28 Maret 2018. Akun Instagram Persija Jakarta mengunggah sebuah video permohonan maaf, lengkap dengan caption permintaan maaf (yang dihiasi typo) pula.
Terlihat seluruh pemain Macan Kemayoran hadir. Dipimpin kapten Ismed Sofyan dan wakil kapten Bambang Pamungkas, mereka memohon agar para suporter Persib berbesar hati memaafkan mereka.
Semua berawal dari sebuah video live di akun Instagram pribadi Riko Simanjuntak beberapa hari sebelumnya. Disertai melodi gitar yang dimainkan Riko, beberapa pemain Persija seperti Jaimerson da Silva, Gunawan Dwi Cahyo, dan Ahmad Syaifullah bersama-sama menyanyikan lagu Satu Jiwa yang memang kerap dikumandangkan oleh para The Jakmania di tribun stadion. Permasalahannya, salah satu dari mereka mengatakan “Viking anjing" dan ikut terekam.
Tentu saja, kuping para suporter Persib panas dalam sekejap. Mereka tidak terima dengan kata-kata tersebut. Meski sebenarnya frasa itu sudah sering keluar dari mulut para The Jakmania, lain cerita jika terucap dari pemain. Ini namanya sudah offside.
Offside sendiri sebenarnya merupakan istilah yang digunakan dalam militer. Kepanjangannya adalah “off the strength of his side”, yang berarti sudah tidak mampu bekerja, alias dibebastugaskan. Tentu saja, offside dalam sepakbola tidak bisa disamakan secara harafiah. Wasit hanya memberikan tendangan bebas bagi lawan (baca: pelanggaran). Kalau sampai sama, kasihan Filippo Inzaghi.
Secara ringkas, seorang pemain dikatakan berada dalam posisi offside jika sebelum menerima operan dari teman hanya ada satu pemain lawan di depannya. Dengan kata lain, ia telah melewati batas terakhir, yakni pemain lawan kedua yang paling dekat dengan garis gawang.
Kembali ke soal sepakbola dan media sosial. Dua hari setelah video permintaan maaf itu, tepatnya pada 30 Maret kemarin, Bambang Pamungkas curhat melalui akun Twitter pribadinya menggunakan bahasa Jawa, yang jika diartikan maka menjadi: “Kangen zaman follower masih 50an, nge-tweet gak perlu mikir karena teman dekat semua, gak bakal salah paham. Kalau sekarang dikit-dikit ribut”.
https://twitter.com/bepe20/status/979561602197241858
Suka tidak suka, mau tidak mau, para pemain memang sudah seharusnya sadar bahwa profesi sebagai pesepakbola profesional membuat mereka menjadi figur publik. Ini tidak bisa tidak, terlebih jika bermain di level tertinggi sebuah kompetisi nasional. Segala tindak-tanduk di dalam lapangan akan berpengaruh terhadap citra pemain di luar lapangan, juga demikian sebaliknya.
Pertanyaannya, apakah dunia maya, dalam kasus ini media sosial, termasuk ‘luar lapangan’ yang dimaksud? Jawabannya: iya.
Media sosial telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari umat manusia di hampir seluruh penjuru dunia. Khusus di Indonesia saja, berdasarkan hasil survei yang dirilis Hootsuite dan We Are Social per Januari 2018, terdapat 130 juta pengguna aktif media sosial dari Sabang sampai Merauke—hampir setengah total penduduk Indonesia.
Salah satu bukti meningkatnya gengsi media sosial dapat Anda lihat di media-media online. Sudah bukan hal asing sebuah unggahan di media sosial menjadi sumber primer, misalnya ketika bek Barcelona Gerard Pique diklaim menjadi kanibal karena menggigit kuping istrinya Shakira atau ketika tulisan "Hakuna Matata" di Instastory pacar bintang Real Madrid Cristiano Ronaldo, Georgina Rodriguez, dianggap sebagai mantra keberuntungan menjelang leg pertama perempatfinal Liga Champions melawan Juventus. Disertai komentar-komentar masyarakat yang entah bagaimana standar kurasinya dan tinggal di-copy-paste, jadilah berita itu berdikari. Ia mandiri, sampai-sampai bisa membantu penulisnya mencari uang jajan tambahan (baca: bonus) jika (untung-untung) viral.
Video Persija, contohnya, langsung menjadi berita populer di media-media online nasional, yang pada umumnya menggunakan judul ‘nyanyian rasis Persija’. Kata ‘rasis’ sendiri sejujurnya cukup menggelitik, karena saya baru tahu bahwa ternyata anjing adalah salah satu ras manusia.
Fenomena yang sama tentu juga terjadi di daratan Eropa. Gelandang muda Everton Mason Holgate baru saja mendapatkan peringatan dari FA atas beberapa cuitannya di Twitter, yang bernada homofobia. Padahal, ia menuliskan hal tersebut pada 2012 dan 2013, yang berarti ketika ia masih berumur 16-17 tahun.
Pada pra-musim 2017 lalu, Chelsea memulangkan Kenedy dari tur di Tiongkok. Penyebabnya adalah karena unggahan foto di story Instagram penyerang yang tengah menjalani masa pinjaman bersama Newcastle United itu berunsur xenofobia dan rasialisme (yang ini betulan, bukan anjing-anjingan).
Baik Holgate dan Kenedy sama-sama meminta maaf untuk meredakan kecaman publik dunia maya, sekaligus menyelamatkan kariernya di atas lapangan. Bagaimana tidak? Sikap baik di media sosial bahkan telah menjadi kriteria klub-klub ternama Eropa sebelum merekrut pemain.
Kepala bagian olahraga dari agensi komunikasi Cicero, Ben Wright, mengaku sering membuat laporan tentang pemain-pemain untuk kliennya di seluruh dunia, termasuk tujuh klub Liga Primer Inggris dan dua klub La Liga. Ada beberapa hal yang menjadi batas penilaian pemain dianggap baik atau tidak.
"Kami melihat seluruh aspek online menyangkut seorang pemain. Dengan melakukannya, Anda bisa mendapatkan gambaran kepribadiannya dan perubahan karakter mereka," tutur Wright seperti yang dikutip BBC.
"Apakah mereka menggunakan sosial media ketika larut malam? Apakah mereka memahami batas antara hal publik dan privat? Bagaimana mereka berubah seiring waktu ketika mereka sudah mulai mendapatkan uang? Apakah mereka mengunggah hal-hal privat yang disenangi oleh para fans, atau apakah semuanya tentang mobil baru atau baju baru? Dan apakah mereka mengunggah hal ini tak peduli dengan hasil yang mereka dapatkan di pengujung pekan sebelumnya?" lanjut Wright.
Memang benar bahwa para pemain tidak lagi bisa bebas berekspresi di media sosial. Rentan terjadi kesalahpahaman. Bagaimanapun, mereka sebenarnya sangat bisa menggunakan media sosial untuk meraup keuntungan. Seperti yang pernah ditulis dalam salah satu artikel berjudul Merindukan Stoichkov di Era Media Sosial, Cristiano Ronaldo, berdasarkan laporan pada November 2017, mendapatkan uang sekitar 308.000 Paun (sekitar 5,8 miliar Rupiah) per unggahan di akun Instagram pribadinya.
Syaratnya: pemain harus bisa menjaga citra diri dan tidak boleh baper. Wright mengatakan bahwa cara pemain merespons komentar-komentar dan isu publik adalah salah satu dasar penting penilaian. Jika pemain membalas ejekan suporter lawan secara ofensif, maka ia sudah pasti mendapatkan penilaian buruk. Ini bukan soal tak ada asap jika tak ada api, melainkan soal kontrol diri. Jika di media sosial saja tidak bisa, bagaimana dengan di atas lapangan?
Hingga tulisan ini dibuat, masih belum diketahui pasti terdakwa atas kasus live video Instagram Riko Simanjuntak. Adu pendapat dari antara dua kubu terus berlanjut. Para suporter Persib menuntut Tuan X mengaku dan meminta maaf secara terbuka, sedangkan suporter Persija menilai permintaan maaf dari seluruh pemain atas nama klub sudah (lebih dari) cukup.
Perlu ada sikap nyata yang disepakati oleh kedua klub untuk meredakan tensi. Pihak liga juga harus turun tangan. Jika tidak, tensi hampir dapat dipastikan akan terus meningkat menjelang laga lanjutan Liga 1 antara kedua tim pada 28 April mendatang. Bahkan, tidak menutup kemungkinan (dan paling mengkhawatirkan), eskalasi terus terjadi hingga pertemuan kedua mereka di Bandung pada 23 September.
Kejadian ini harus menjadi pelajaran penting bagi segenap pelaku sepakbola nasional. Maklum, batas antara dunia nyata dan dunia maya sudah sesamar garis lapangan di mayoritas stadion-stadion di Indonesia ketika turun hujan.
Komentar