Dalam sejarah Liga Primer Inggris, Manchester City tidak ada apa-apanya dibanding Manchester United. Jika pun City berpesta di hadapan United pada pekan ke-33 Liga Primer 2017/2018, Sabtu (7/4) ini, fakta bahwa City masih jauh di bawah United tetap tidak terbantahkan.
Namun bagi City menjuarai Liga Primer setapak demi setapak menunjukkan bahwa kota Manchester tak lagi hanya milik The Red Devils dan para pendukungnya. Ratusan juta paun yang telah dikeluarkan manajemen, khususnya setelah dimulainya era Abu Dhabi Group, menunjukkan bahwa City selayaknya United sebagai kesebelasan dengan rasa lapar gelar juara.
United saat ini menjadi kesebelasan dengan trofi Liga Primer terbanyak, yakni 13 kali. City? Baru dua kali saja. Untuk menjadikan City sebagai kesebelasan terbaik Inggris mereka setidaknya butuh satu dekade lagi untuk menyaingi torehan trofi United. Itu pun jika United tidak menambah lagi trofi juara Liga Primer mereka.
Walau pun begitu, dengan musim ini yang sudah ada di tangan City, skuat yang bermarkas di Etihad Stadium ini sebenarnya berada di jalur yang tepat untuk menyaingi United. Juara musim ini artinya merupakan gelar ketiga yang The Citizens raih. Setidaknya torehan itu membuat City menyamai pencapaian Arsenal yang juga baru meraih tiga kali trofi Liga Primer.
Meski bagi United itu bukan apa-apa, tapi bagi Chelsea, Arsenal dan Liverpool, keberhasilan City adalah bentuk nyata bahwa City-lah yang lebih dekat untuk mengejar superioritas United di Inggris. Bagi kesebelasan yang sebelumnya termasuk The Big Four (Arsenal, United, Liverpool dan Chelsea), mereka tentunya menyadari bahwa City kini telah menjadi ancaman.
***
Beberapa waktu lalu, penulis memainkan kembali gim Football Manager 2009. Di gim tersebut, City sudah diakuisisi oleh Syeikh Mansour dan mengawali musim dengan bujet transfer mencapai 100 juta paun (tergantung target yang disodorkan). Dengan bujet segitu, dalam dua musim, penulis yang iseng memanajeri City bisa membeli 16 pemain baru yang di antaranya adalah Luis Suarez, Gareth Bale, Angel Di Maria, Dimitri Payet, Miguel Veloso, Sami Khedira, dan David Luiz. Itu pun masih sisa beberapa belas juta paun (belum ada aturan financial fair play).
Tapi dengan finansial yang tinggi pun nyatanya tidak semua pemain mau direkrut oleh City di gim tersebut. Beberapa pemain yang menolak bergabung adalah Gonzalo Higuain (yang masih bermain di Real Madrid), Mohamed Sissoko (Juventus), Luka Modric (Tottenham), Sergio Busquets (Barcelona), Ezequiel Garay (Racing Santander) dan masih banyak lagi.
Pemain-pemain di atas menolak bergabung dengan alasan pindah ke City akan menjadi penurunan bagi karier mereka dan kemungkinan akan menjadi pilihan yang salah (meski sudah ditawari gaji tinggi). Karena itulah akhirnya merekrut pemain-pemain yang masih muda di kesebelasan yang levelnya agak di bawah atau setara City; seperti Suarez (masih 21 tahun) dibeli dari Ajax Amsterdam dengan nilai transfer 18 juta paun.
Cerita di atas tentu tidak akan terjadi pada saat ini. Sekarang City adalah kesebelasan yang diidamkan banyak pemain. Apalagi sekarang dilatih oleh Pep Guardiola. Dengan gaji yang kemungkinan berlipat-lipat, pindah ke City justru sekarang menjadi peningkatan karier seorang pemain.
Sebagai sebuah kesebelasan modern, rasanya tidaklah salah menilai City sudah berhasil. Terlepas dari cara awal yang mereka gunakan adalah dengan menggelontorkan uang sang pemilik klub, toh City terbukti sudah bisa naik level dari kesebelasan medioker menjadi kesebelasan papan atas calon juara setiap musimnya.
Argumen `dengan uang kesebelasan mana pun bisa seperti City` menjadi tidak relevan ketika kita melihat AC Milan dan Inter Milan. Kedua kesebelasan aktif di bursa transfer tapi kondisi keuangan mereka tetap dalam zona merah, performa kesebelasan pun tak langsung impresif. Ketika keduanya masih was-was dengan financial fair play, City tetap bisa berbelanja mewah.
Meski pengeluaran klub sangat tinggi lewat pembelian dan gaji pemain, City tetap menjadi kesebelasan paling royal di Inggris dalam dua musim terakhir. Swiss Ramble, sebuah blog yang kredibel melaporkan bisnis klub sepakbola, melaporkan bahwa pada akhir 2016 saja pendapatan kotor City mencapai 392 juta paun, meningkat 40 juta paun dari tahun sebelumnya.
Angka tersebut tampaknya bukan isapan jempol belaka. Pada awal 2018, Soccerex, sebuah perusahaan independen pemerhati industri sepakbola, menyebut jika Manchester City merupakan kesebelasan terkaya dunia. Oleh karenanya tak heran aturan financial fair play pun tak membuat manuver transfer City berhenti.
Finansial kuat dan prestasi yang berkesinambungan merupakan bukti bahwa City sebagai kesebelasan cukup berhasil. Arsenal punya finansial kuat sejak beberapa tahun lalu tapi secara prestasi tak begitu cemerlang. Liverpool pun sampai saat ini belum juga juara Liga Primer. Dibandingkan Tottenham yang merupakan generasi `anak baru` untuk memunculkan `top six` Liga Primer, City jelas jauh lebih unggul. Hanya United dan Chelsea yang benar-benar serius mengincar trofi juara sebagaimana yang diinginkan City.
"Kesibukan kami di bursa transfer sejauh ini menunjukkan bahwa Manchester City sekarang setiap musim punya target realistis dalam menjuarai liga, membawa pulang piala domestik dan bersaing di kejuaraan Eropa," kata Chairman Man City, Khaldoon Al-Mubarak, pada 2016 lalu.
Perlu diingat, 18 tahun lalu adalah musim pertama Manchester City kembali ke Liga Primer. Sejak saat itu, torehan trofi Liga Primer adalah 7 untuk Man United, 5 untuk Chelsea, 2 untuk Arsenal dan City, 1 untuk Leicester City. Dengan juara pada musim ini, City akan melampaui Arsenal.
Lewat ratusan juta paun City berhasil memangkas gap mereka dengan kesebelasan Big Four. Apapun kata pendukung rival, City sebenarnya menunjukkan ambisi nyata bagaimana sebuah kesebelasan yang haus akan gelar juara. Bisa dikatakan, ketika (pendukung) tim lain membanggakan sejarah, City justru sedang menciptakan sejarah-sejarah baru untuk dibanggakan satu-dua-tiga dekade kemudian.
Sejarah terdekat yang bisa mereka ciptakan adalah dengan menjuarai Liga Primer di hadapan rival sekota mereka yakni United, yang sekaligus menjadikan City sebagai kesebelasan pertama yang juara dengan enam pertandingan tersisa. Belum lagi potensi rekor poin dan gol terbanyak dalam satu musim.
Jika pun itu tak terjadi, dengan meraih juara musim ini, nyatanya City semakin dekat dengan sejarah yang mungkin nantinya akan menyilaukan kesebelasan lain. Sekali lagi itu menunjukkan bahwa City berada di jalur yang tepat untuk menjadi kesebelasan terbaik di Liga Primer.
Baca juga: Kenapa Saya Harus Jadi Fans Manchester City?
Komentar