Di kota Oran, tinggallah seorang bernama Gonzales. Ia berprofesi sebagai pemain sepakbola. Suatu saat, kota Oran diserang oleh wabah penyakit sampar. Semakin hari wabah semakin ganas menjalar; merenggut satu per satu nyawa di kota tersebut.
Karena situasi di kota semakin buruk, Gonzales memutuskan untuk beralih profesi dari seorang pesepakbola menjadi tukang catut. Jika dulu kesibukannya berlari lintang pukang di lapangan, kini ia sibuk menimbun uang dari pekerjaan barunya sebagai tukang catut. Walau orang-orang di sekitarnya banyak yang menderita karena terserang wabah, Gonzales enggan memedulikan hal itu.
Suatu hari pemerintah kota Oran membuat keputusan untuk menampung dan mengisolasi para korban yang terserang wabah di sebuah stadion sepakbola di kota Oran. Hal itu bertujuan supaya penyakit yang diderita mereka tak menular lebih luas.
Ketika mengetahui bahwa para penderita sampar diungsikan ke stadion, nurani Gonzales mulai terketuk. Ia akhirnya bersedia menjadi relawan untuk para penderita sampar yang mengungsi di stadion itu dan menanggalkan pekerjaannya sebagai tukang catut.
Kamar ganti pemain yang biasanya menjadi tempat dirinya berbagi minum bersama rekan setim, tribun-tribun penonton yang biasanya riuh rendah oleh nyanyian dan tempik sorak para penonton, serta hamparan rumput yang biasanya menjadi tempat ia bersimbah peluh, kini ia saksikan seragam: kemana pun pandangan disapukan, yang terlihat hanyalah orang-orang yang menderita dan meregang nyawa.
Namun, justru di tempat itulah Gonzales menemukan kembali rasa kemanusiaan pada dirinya. Bagaimanapun stadion sepakbola merupakan tempat yang sangat sentimentil bagi Gonzales; tempat segala pengalaman dan ingatan nostalgik tentang dirinya dahulu bermuara.
***
Cuplikan adegan di atas merupakan salah satu fragmen dalam novel The Plague karya Albert Camus. Dari cuplikan tersebut, dapat kita lihat bagaimana sebuah stadion sepakbola mampu membangkitkan nurani kemanusiaan seseorang. Bahkan Gonzales tidak hanya sekedar menemukan kembali nurani kemanusiaannya, tetapi juga terdorong untuk mengekspresikan rasa itu dengan turun langsung menjadi relawan untuk pengungsi.
Tentu akan membahagiakan rasanya, jika cuplikan adegan seperti itu dapat terjadi di kehidupan nyata. Karena seringnya, ingatan kita tentang stadion, selain tentunya dihiasi oleh ingatan tentang manis kemenangan dan pahit kekalahan, kerap dihiasi juga oleh ingatan-ingatan kelam tentang bentrokan antarpendukung yang tak jarang sampai memakan korban.
Belum genap setahun kita semua diberitakan tentang tragisnya kejadian yang menimpa Banu Rusman, seorang suporter Persita Tangerang yang menjadi korban dari bentrokan antara pendukung Persita Tangerang dan PSMS Medan di Stadion Mini Cibinong, Oktober 2017 silam. Banu Rusman dikeroyok oleh sekelompok oknum pendukung PSMS hingga ia meninggal dunia.
Beberapa bulan sebelumnya, pendukung Persib Bandung bernama Riko Andrean juga bernasib sama. Ia menjadi korban pengeroyokan salah sasaran di Stadion Gelora Bandung Lautan Api, saat Persib bertanding menghadapi Persija Jakarta. Riko mengalami kejadian tragis tersebut lantaran ia diduga sebagai pendukung Persija Jakarta oleh pendukung Persib, padahal jelas Riko merupakan pendukung Persib Bandung. Hanya selang beberapa hari usai kejadian itu, nyawa Riko tak terselamatkan. Ia meninggal di Rumah Sakit tempat ia dirawat.
Bentrokan antarpendukung seperti ini, tidak hanya terjadi di Indonesia saja. Di benua Eropa pun sama halnya. Pada September 2017 lalu misalnya, suporter Arsenal terlibat kericuhan dengan suporter FC Koln di Emirates Stadium dalam laga lanjutan Liga Europa. Kerusuhan diduga akibat terbatasnya jumlah tiket yang disediakan panitia pelaksana untuk suporter tim tamu, sedangkan suporter tim tamu yang datang sangat membludak. Alhasil, suporter tim tamu yang tetap ingin menyaksikan pertandingan terlibat bentrokan dengan aparat kepolisian. Pagar-pagar menuju stadion dirusak; empat orang diamankan dari kericuhan ini.
Tentu itu semua hanya tiga contoh dari sekian banyak kasus bentrok dan kerusuhan lainnya yang terjadi di stadion. Kejadian-kejadian seperti itu, sedikit-banyak akan membuat ingatan dan anggapan kita tentang stadion, menjadi tercemar. Stadion seketika menjadi medan yang begitu maskulin dan bringas dalam kepala kita; seakan tak ada tempat untuk cinta dan kemanusiaan di sana.
Padahal, di sisi lain, stadion juga kerap menjadi tempat bermuaranya ekspresi kemanusiaan yang disuarakan oleh banyak orang. Seperti halnya yang terjadi pada Gonzales dalam novel The Plague, banyak orang menemukan dan mengekspresikan solidaritas kemanusiaannya justru di stadion.
Misalnya, seperti apa yang dilakukan oleh para suporter Celtic pada Agustus 2016 lalu. Di kandang mereka, Celtic Park, para suporter mengibarkan bendera Palestina saat pertandingan antara Celtic kontra Hapoel Be’er Sheva dalam ajang kualifikasi Liga Champions 2016/2017 digelar. Aksi yang jauh sebelum hari pertandingan sudah ramai diperbincangkan di sosial media oleh para suporter Celtic tersebut, dilakukan sebagai bentuk solidaritas kemanusiaan mereka kepada rakyat Palestina atas invasi Israel yang mengancam kedaulatan negara mereka, dan telah menyebabkan banyak manusia di sana menderita akibat perang.
Di stadion yang lain, aksi solidaritas kemanusiaan yang sama juga pernah dilakukan oleh para suporter Lazio. Pada pertandingan antara Lazio menghadapi Tottenham Hotspur di ajang Liga Eropa 2012 lalu, spanduk bertuliskan “Free Palestine” dibentangkan oleh para suporter. Tak lupa sayup-sayup seruan “Viva Palestina, Viva Palestina” kerap terdengar selama pertandingan berlangsung.
Tidak hanya di kalangan para suporter. Beberapa pemain yang berlaga di atas lapangan hijau pun, pernah mengekspresikan solidaritas kemanusiaan mereka di atas lapangan. Tentunya cara mereka mengekspresikan hal itu berbeda dengan cara yang biasa dilakukan oleh para suporter.
Salah satunya yang dilakukan oleh Matthias Sindelar, pemain asal Austria yang melejit di abad ke-20. Pada 1938, negara Austria berhasil diinvasi oleh Nazi Jerman. Untuk merayakan keberhasilan Jerman menginvasi Austria, digelarlah pertandingan antara Timnas Austria berhadapan dengan Timnas Jerman. Laga itu juga akan menjadi laga terakhir Timnas Austria, sebelum bergabung dengan Jerman.
Laga yang digelar di Stadion Prater, Wina, itu berjalan nyaris seperti pertandingan formalitas belaka. Pada awal pertandingan, Timnas Austria seperti malas bertanding, dan tidak melancarkan sebuah serangan yang membahayakan Jerman. Namun semua berubah jelang pertandingan berakhir. Dua pemain Austria, yakni Sindelar dan Karl Sesta tiba-tiba bermain begitu trengginas. Kedua pemain tersebut seakan mengeluarkan semua kemampuan yang mereka miliki. Alhasil, dua gol berhasil mereka jaringkan ke gawang Jerman.
Ketika mencetak gol itulah, Sindelar melakukan selebrasi dengan antusias di depan para pejabat Nazi yang menyaksikan pertandingan. Matthias Sindelar seakan berkata kepada mereka, “kalian bisa mengalahkan kami dengan popor senjata, tapi tidak dengan sepakbola.”
Usai kejadian itu Sindelar sempat dibujuk oleh pelatih Jerman saat itu, Sepp Herberger, guna bermain untuk Timnas Jerman. Sindelar menolaknya dengan alasan cedera lutut. Tentunya ini hanya alasan Sindelar belaka, karena ia tak suka dengan pendudukan Jerman terhadap Austria yang jelas menodai kemanusiaan karena merenggut hak suatu bangsa untuk hidup merdeka.
Jerman tak menyerah dalam membujuk Sindelar. Kali ini, Gestapo—polisi rahasia Nazi—dikerahkan untuk membujuknya. Sindelar lagi-lagi menolak. Dan hal itu nampaknya berakhir tragis untuk Sindelar. Pada Januari 1939, Sindelar ditemukan tewas bersama kekasihnya di sebuah apartemen di kota Wina, Austria. Ia mati akibat menghirup gas beracun dari pemanas yang bocor. Sindelar diduga dibunuh secara halus lantaran beberapa kali menolak ajakan untuk memperkuat tim sepakbola Jerman.
***
Mungkin sebagian dari kita ada yang berpikir, bahwa apa yang dilakukan suporter Celtic, Lazio, dan Matthias Sindelar, adalah sikap yang menjijikan karena membawa pesan-pesan yang dinilai politis ke dalam pertandingan sepakbola—FIFA pun melarang itu.
Secara aturan, mungkin hal tersebut memang salah karena dilarang. Akan tetapi, jika kita lihat dari sisi kemanusiaan, hal-hal seperti itu sangatlah pantas untuk diapresiasi.
Daripada kita menyaksikan kekerasan dan bentrokan di stadion yang jelas melecehkan nilai kemanusiaan, tentunya akan jauh lebih indah jika stadion menjadi tempat banyak orang bersatu merayakan dan memperjuangkan kemanusiaan.
Komentar