Dalam dunia fotografi, dikenal sebuah konsep bernama Decisive Moment. Konsep ini diperkenalkan pertama kali oleh seorang jurnalis foto asal Prancis, Henri Cartier-Bresson.
Sederhananya, Decisive Moment dapat diartikan sebagai momen puncak. Momen saat objek yang dipotret oleh sang fotografer sedang dalam bentuk terbaiknya. Misalnya, ketika seorang fotografer berhasil menangkap momen saat Cristiano Ronaldo sedang menghentak bola dengan tendangan salto. Atau saat Rene Higuita melakukan penyelamatan dengan gaya scorpion kick-nya yang masyhur itu. Itulah yang dinamakan momen puncak.
Di zaman ketika kamera digital belum tersedia—seperti zaman Bresson—tentunya keahlian seperti ini sangat sulit dimiliki seorang fotografer. Karena ketika kita gagal menangkap momen puncak itu, kita telah membuat satu frame di dalam roll film kamera kita terbuang sia-sia.
Karena tingkat kesulitan dalam mendapatkannya itu, ketika berhasil menangkap momen puncak, seorang fotografer akan menjaga baik-baik foto tersebut, mengingat proses untuk menghasilkan foto seperti itu tidaklah mudah. Seperti yang dilakukan oleh seorang fotografer Kompas bernama Kartono Riyadi, yang berhasil mengabadikan momen puncak saat Susi Susanti menangis usai menjuarai Olimpiade Barcelona pada 1992. Konon, Kartono Riyadi hingga sekarang selalu membawa kemana-mana roll film foto tersebut.
Namun terlepas dari itu, kita semua pasti pernah mengalami atau sedang berjuang agar bisa mengalami sebuah momen puncak di kehidupan kita masing-masing. Dalam kehidupan, momen puncak itu boleh kita artikan sebagai mimpi, cita-cita, atau sebentuk fase terbaik dari kehidupan yang kita idam-idamkan. Dan di saat kita sudah mendapatkannya, tentu kita tidak ingin cepat kehilangannya; kita akan berupaya agar selalu berada di momen puncak itu.
Namun, seorang pesepakbola asal Brasil bernama lengkap Anderson Luis de Abreu Oliveira, telah menyia-nyiakan begitu saja sebuah momen puncak yang telah diraihnya. Momen puncak bagi pria kelahiran Porto Alegre, 13 April 1988 tersebut adalah, saat dirinya berseragam Manchester United.
Yang lebih hebat, ketika meraih momen puncaknya itu, Anderson tidak sedikit pun bersusah-susah. Bahkan momen terbaik itu datang menghampiri dengan sendirinya. Ya, Manchester United sendiri yang berusaha datang untuk menggapai Anderson.
***
Ketika Manchester United hendak memboyong Anderson dari Porto, mereka mendapat hambatan karena izin kerja Anderson di Inggris tidak dapat dikeluarkan. Alasannya, Anderson yang saat itu baru berumur 19 tahun belum mempunyai cap internasional yang cukup.
United tidak menyerah. Mereka mengajukan banding dengan alasan bahwa Anderson tidak memiliki cap internasional yang cukup lantaran tidak diberi kesempatan oleh negaranya. Usai proses negosiasi itu, akhirnya izin kerja Anderson di Inggris dapat dikeluarkan. Dan pada tanggal 2 Juli 2007, Anderson menandatangani kontrak lima tahun bersama United.
Sir Alex Ferguson tentunya sangat gembira akhirnya Anderson bergabung bersama timnya. Anderson ketika itu diproyeksikan untuk menjadi suksesor Paul Scholes yang sudah semakin menua.
Ferguson bercerita ketika pertama kali menyaksikan Anderson, ada semacam desakan untuk segera merekrutnya. Fergie berkata bahwa Anderson memiliki sesuatu yang sangat spesial dalam dirinya.
“Anderson sungguh sangat hebat. Anak itu punya sesuatu yang spesial. Ada dorongan untuk segera merekrutnya saat pertama kali melihat permainannya. Walau saat kami mendatangkannya, kondisi dirinya sedang cedera,” tutur Fergie kepada Telegraph.
Ungkapan Fergie memang beralasan. Anderson ketika itu merupakan pemain muda yang sangat potensial. Kemampuannya sebagai seorang gelandang begitu lengkap—tidak hanya mahir dalam hal membangun serangan namun juga dalam bertahan.
“Ia bisa menekel, juga berani. Ia mampu memberi asis yang baik. Tapi yang perlu ia buktikan adalah kemampuannya dalam mencetak gol, karena hal itulah yang selalu diberikan oleh Scholes kepada kami,” tambah Fergie.
Kemampuan Anderson dalam membukukan gol sendiri sudah terlihat saat ia masih bermain untuk Gremio FBPA, yang merupakan kesebelasan profesional pertama yang dibelanya.
Ketika menjalani debut bersama Gremio, Anderson masih berusia 16 tahun. Namun ia langsung berhasil mencuri perhatian dengan mencetak gol pertama di debutnya tersebut melalui tendangan bebas. Sayangnya, gol Anderson ketika itu tidak bisa memenangkan Gremio dari perlawanan Internacional. Di akhir musim, Gremio juga turun ke divisi bawah.
Di musim keduanya bersama Gremio, Anderson kembali memperlihatkan kemampuannya dalam mencetak gol di sebuah laga yang penting. Saat itu Gremio menjalani pertandingan play-off menghadapi Nautico untuk kembali bisa berlaga di divisi tertinggi kompetisi sepakbola Brasil.
Keadaan saat itu begitu sulit bagi Gremio, lantaran mereka hanya bermain dengan tujuh pemain setelah empat pemain lainnya dikeluarkan wasit dari lapangan. Satu-satunya cara paling masuk akal untuk bisa menang adalah dengan membuat pertandingan ditentukan dengan adu penalti. Namun keadaan berubah setelah Anderson, di menit ke-16 babak perpanjangan waktu, mampu menciptakan gol yang membuat Gremio keluar sebagai pemenang dan berhak untuk kembali tampil di kompetisi tertinggi sepakbola Brasil.
Penampilan impresif di usia mudanya tersebut telah membuat klub besar Portugal seperti Porto tak ragu memboyongnya dengan nilai transfer 7 juta euro di musim 2005/06. Di musim pertamanya bersama Porto, Anderson sudah mampu membawa Porto memenangi gelar Primeira Liga Portugal.
Penampilannya semakin menonjol di musim keduanya. Anderson diandalkan betul untuk mengisi lini tengah Porto. Ia juga berhasil mencetak dua gol untuk Porto di musim itu dan menjalani debutnya di Liga Champions saat Porto menghadapi CSKA Moskwa.
Sayangnya Anderson terpaksa harus berhenti menikmati penampilannya bersama Porto lantaran dibekap cedera parah yang mengharuskannya rehat dari lapangan hijau selama lima bulan. Hingga akhirnya, Manchester United datang meminangnya kendati Anderson tengah dalam kondisi cedera.
Bermain di klub sebesar Manchester United saat usianya baru 19 tahun, tentu merupakan sebuah momen puncak di karir Anderson. Sayangnya, ia tidak bisa menjaga capaian momen puncaknya itu dengan menunjukkan penampilan terbaiknya di Manchester United.
Anderson tak mampu menjawab tantangan Fergie untuk membuktikan kemampuannya dalam mencetak gol seperti halnya yang dilakukan Scholes. Sejak dari tahun 2007 membela Manchester United, gol perdana Anderson untuk United di ajang Liga Primer baru tercipta pada bulan September 2009 ketika United menang atas tuan rumah Tottenham Hotspur dengan skor 3-1.
Anderson tampaknya memang tidak mampu banyak bersaing di United. Selama delapan musim membela Red Devils, total ia hanya tampil sebanyak 181 kali di semua ajang. Memang, gelar Liga Primer, gelar Piala Carling, juara Piala Dunia Antarklub, hingga gelar Liga Champions mampu diraihnya bersama United. Namun Anderson tidak banyak menonjolkan perannya saat United meraih gelar-gelar tersebut.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan Anderson tidak mampu bersaing di Manchester United. Selain seringnya ia dibekap cedera, Anderson juga bermasalah dengan gaya hidupnya.
Anderson dikabarkan gemar dengan kehidupan malam dan tidak terkontrol dalam menjaga pola makan. Bahkan, pada suatu pagi di bulan Agustus 2010, Anderson mengalami kecelakaan mobil di Portugal, usai dirinya menghadiri sebuah pesta semalam suntuk di sebuah club bernama Sardinha Biba. Selain itu, Patrice Evra dalam sebuah perbincangan dengan Rio Ferdinand, juga pernah mengatakan bahwa dirinya pernah membawakan burger pesanan Anderson pada jam satu dini hari.
Anderson semakin tersisihkan ketika David Moyes datang sebagai pelatih baru menggantikan Ferguson di musim 2013/14. Ia pun memutuskan untuk bergabung dengan Fiorentina dengan status pinjaman.
Di Fiorentina, Anderson juga tak mampu banyak bersaing. Anderson lebih banyak menghangatkan bangku cadangan dan hanya tampil sebanyak tujuh kali selama di sana. Pada akhir musim, Anderson dikembalikan ke United.
Musim 2015/16, sekembalinya ke United, Anderson juga tak menjadi pilihan utama pelatih Louis van Gaal. Ia hanya diberi kesempatan tampil sebanyak dua kali, sebelum akhirnya memutuskan pulang kampung ke Brasil untuk membela Internacional.
Sial bagi Anderson, di Internacional pun ia tak mampu menunjukkan kemampuannya. Di laga debutnya, Anderson gagal mengeksekusi penalti saat Internacional bertanding menghadapi Cruzeiro. Kondisi fisiknya juga menurun. Hal ini terlihat pada saat Internacional bertanding di Estadio Hernando Siles di dataran tinggi La Paz, Bolivia, dalam ajang Copa Libertadores. Saat itu Anderson meminta diganti pada menit ke-36 karena membutuhkan tambahan oksigen.
***
Seandainya Anderson adalah seorang fotografer, ia adalah fotografer yang diberkahi keberuntungan karena bisa mendapatkan momen puncak dengan begitu mudah. Hanya saja, segala sesuatu yang didapat dengan mudah—tanpa membutuhkan banyak jerih payah, kerap kali malah jadi kurang bernilai, sehingga sering kita sia-siakan begitu saja.
Dengan kebiasaan buruk yang pernah dilakukannya saat masih membela Manchester United—hingga berakibat pada peformanya di lapangan—jelas Anderson telah menyia-nyiakan momen puncak dalam hidupnya yang, tentu sulit untuk terulang kembali. Jika sudah begini, mungkin cara terbaik bagi Anderson untuk menghibur diri adalah dengan mulai mensyukuri setiap momen yang diberikan oleh kehidupan. Termasuk seperti saat ini; ketika tidak ada satu klub pun yang berminat menggunakan jasa Anderson.
Komentar