Oleh: Haris Chaebar
Keabu-abuan selalu menyelimuti sepakbola Indonesia. Jadwal sepak mula yang simpang-siur, permasalahan subsidi untuk kesebelasan, gaji, verifikasi stadion, skorsing pemain, dan masih banyak lagi.
Ini baru masalah yang terjadi dalam ranah sepakbola nasional. Lebih banyak lagi jika kita melihat situasi sepakbola di daerah-daerah. Berbagai persoalan mendasar—entah yang lama atau yang baru—belum juga teratasi dengan baik. Inilah yang terjadi di daerah saya, Wonosobo.
Bagi orang awam, mungkin banyak yang belum mengenal atau mengetahui informasi tentang kabupaten akibat dari destinasi wisata dataran tinggi Dieng. Kabupaten Wonosobo sendiri merupakan wilayah dataran tinggi yang terletak di tengah-tengah provinsi Jawa Tengah. Tak ada labelisasi yang kuat antara Wonosobo dengan topik yang akan kita bicarakan, sepakbola. Berbicara Wonosobo memang lebih lekat dengan imajinasi tentang pegunungan, hawa yang dingin, sering hujan, wisata alam atau sesekali kuliner.
Jalan di Tempat
Lembeknya sepakbola di Wonosobo jelas dipengaruhi faktor penunjang progresinya, baik itu dari segi sumber daya manusia atau infrastruktur. Kondisi kesebelasan paling besar di sana, Persatuan Sepakbola Indonesia Wonosobo (PSIW) adalah cerminan apa yang terjadi dengan sepakbola Wonosobo secara umum. Untuk mempunyai homebase permanen, mereka masih dihadapkan pada persoalan klasik: stadion mana yang layak digunakan.
Setidaknya Wonosobo memiliki beberapa “stadion” (sebenarnya lebih sesuai disebut lapangan) seperti Kolodete di Kalianget, Bumi Istiqomah di Jlamprang, dan lapangan Kejiwan.
PSIW dahulu sering menggunakan stadion Kolodete, yang rumornya diperkirakan bisa menampung kurang lebih 1000 penonton. Tetapi kondisi stadion Kolodete masih jauh panggang dari api jika digunakan untuk laga profesional.
Selain infrastrukur dan fasilitas yang kurang memadai, ada hal lain yang menjadi poin penting untuk Wonosobo. Sulitnya kesebelasan kecil dalam mencari sumber penghidupan juga dialami PSIW. Wonosobo bukanlah kabupaten dengan sumber pendapatan tinggi dan iklim ekonomi yang signifikan. Hal itu jelas berimbas pada eskalasi sepakbola Wonosobo yang juga cenderung adem ayem selama ini.
Selain sulit pendanaan, masih ditambah pula oleh ketidakjelasan pengelolaan PSIW dan sepakbola Wonosobo secara umum. Kurangnya keterbukaan informasi tentang seluk-beluk informasi PSIW dan minimnya kompetisi lokal penunjang yang di Wonosobo adalah contoh persoalannya. Kombinasi-kombinasi persoalan yang menimpa itu menjadi jawaban yang jelas, kenapa PSIW urung merepresentasikan sepakbola Wonosobo untuk berkompetisi di Liga 3 musim ini dan musim-musim sebelumnya.
Belum ada tanda-tanda kemajuan, bila tak ingin disebut dengan jalan ditempat. sepakbola di daerah seperti Wonosobo selalu membeku dalam arti kiasan. Dan tak ada progresi dalam artian sesungguhnya.
Padahal, ketika beberapa waktu lalu beruji coba dengan tim Pusat Pendidikan dan Latihan Mahasiswa (PPLM) Kemenpora Republik Indonesia, Suimin Diharja, pelatih PPLM memberi pujian untuk tim muda PSIW. Mantan pelatih Persitara Jakarta Utara yang saya temui secara langsung tersebut mengatakan, sebenarnya Wonosobo punya potensi muda yang baik, buktinya gabungan pemuda lokal mampu menunjukkan perlawanan sengit dan hanya kalah 1-2 dari kumpulan mahasiswa-mahasiswa gemblengan tingkat nasional.
Belum lagi wilayah pegunungan dengan oksigen yang lebih tipis, bisa dimanfaatkan sebagai keunggulan geografis ketika menjamu tim dari luar Wonosobo. Namun sekali lagi, potensi-potensi yang dimiliki Wonosobo tak akan menjadi apa-apa karena ketidakjelasan tata kelola sepakbola di sana, dan persoalan sosial-ekonomi yang terjadi yang menjadi faktor akrobatnya.
Akar Rumput yang Menggeliat
Di tengah stagnasi sepakbola Wonosobo ditinjau dari berbagai sudut pandang, sebenarnya ada kemajuan yang patut disyukuri, yakni geliat kultur sepakbola disana. Gelombang semarak sepakbola lokal dalam beberapa tahun terkahir, ternyata mampu menembus relung-relung hati dan pemikiran pemuda-pemudi di Wonosobo. Dahulu ada entitas suporter bernama Tawonmania, yang mendedikasikan diri untuk sepenuhnya mendukung perkembangan PSIW dan sepakbola Wonosobo secara umum.
Setelah Tawonmania mengalami vakum, pada 2017 lalu muncul gerakan baru bernama Laskar Kolodete 189. Entitas suporter PSIW ini dibentuk dengan menyerap nama dari Kyai Kolodete, legenda pendiri wilayah Wonosobo dalam sejarahnya. Selain itu ada kelompok baru lagi bernama Wonosobo Fans. Kini Laskar Kolodete 189 dan Wonosobo Fans adalah dua garda terdepan baik secara kultur maupun secara tak langsung yang membuat sepakbola Wonosobo tetap semarak, di tengah miskin prestasi yang mendera.
Satu hal yang menarik adalah isu pentingnya pembangunan stadion yang oleh kedua suporter ini sering diangkat ke permukaan. Meski pembangunan stadion bukan perkara mudah (terbatasnya anggaran daerah, kolaborasi swasta, dukungan masyarakat dan kestabilan tanah di wilayah pegunungan seperti Wonosobo), ternyata pressure dari masyarakat mampu membuat pemangku kebijakan tak bisa mengelak.
Beberapa waktu lalu muncul kabar hangat bahwa pembangunan stadion masuk prioritas APBD Wonosobo di tahun 2019. Jelas sekali hal itu ibarat oasis dalam padang pasir yang gersang. Namun, wacana belum lah menjadi fakta, jika tak menjadi realisasi nyata. Ini menjadi tugas masyarakat Wonosobo bersama-sama untuk mengawal wacana tersebut menjadi kenyataan, semoga saja terwujud.
Meski bukan faktor tunggal penentu perubahan sepakbola Wonosobo menuju arah positif, setidaknya keberadaan stadion yang layak bisa mendorong profesionalisme di tubuh PSIW dan sepakbola daerah tersebut. Maka dari itu, keberadaan entitas suporter seperti Laskar Kolodete 189 dan Wonosobo Fans menjadi sangat penting. Meski tak terlibat langsung dalam perencanaan membuat stadion, aspirasi yang mereka lontarkan selama ini ikut mampu mendorong gerak-maju yang ada di sepakbola Wonosobo.
Geliat akar rumput sepakbola Wonosobo menunjukkan kepedulian masyarakat sana terhadap sepakbolanya sendiri meningkat. Terlebih di sana juga ada banyak entitas sepakbola, yang meski mendukung kesebelasan di luar Wonosobo, mereka tetaplah peduli pada peresepakbolaan lokal. Diharapkan keberadaan Laskar Kolodete 189, Wonosobo Fans dan pecinta sepakbola lainnya disana menjadi semangat dan api, yang mencegah sepakbola Wonosobo semakin membeku dari hari ke hari.
Penulis lahir di Wonosobo. Dapat dihubungi lewat akun Twitter @chaebar_haris dan alamat surel haris.chaebar@gmail.com. Tulisan ini adalah hasil kiriman penulis lewat rubrik Pandit Sharing. Isi dan opini di dalam tulisan merupakan tanggung jawab penulis.
Komentar