Tinta emas ditorehkan Leicester City dalam kiprahnya di Liga Primer Inggris 2015/16. The Foxes mengejutkan para penggila bola, menyusul keberhasilan mereka menjadi kampiun Liga Primer di musim tersebut. Satu hal yang amat mengejutkan, mengingat Leicester bukan tim unggulan layaknya Manchester City, Chelsea, Manchester United, hingga Liverpool.
Keberhasilan Leicester menjadi kampiun Liga Primer di musim tersebut juga tentu bukan semata karena faktor kebetulan atau keberuntungan. Kerja keras, konsistensi, dan kolektivitas adalah kunci kesuksesan The Foxes tampil impresif dari pekan ke pekan untuk menuai hasil positif.
Sebagai manajer, Claudio Ranieri mendapat banyak apresiasi karena tangan dinginnya membuat Leicester City menjadi semacam ikon kesuksesan kesebelasan kuda hitam bisa meraih trofi di salah satu kompetisi termasyhur di muka bumi. Tapi, kinerja Ranieri tidak akan sempurna tanpa dukungan para pemain yang berjuang di lapangan.
Maka, publik juga memberi apresiasi kinerja para pemain Leicester. Khususnya Riyad Mahrez, Jamie Vardy, dan N`Golo Kante yang selalu dielu-elukan karena dianggap punya andil besar dalam keberhasilan Leicester menjadi kampiun Liga Primer saat itu. Tapi selain Mahrez, Vardy, dan Kante, sebenarnya ada satu nama lain yang juga punya peran dalam kesuksesan tersebut, namun seakan dilupakan begitu saja. Sosok tersebut adalah Shinji Okazaki.
Memang, sepanjang musim 2015/16 Okazaki hanya membukukan enam gol dan dua asis. Tapi bagi Ranieri, pesepakbola asal Jepang itu adalah pemain penting dalam daftar susunan pemain inti The Foxes. Buktinya, selama kampanye 2015/16 Okazaki selalu menjadi pilihan utama di lini depan Leicester, mendampingi Vardy dan Mahrez.
Total, dari dari 38 laga yang dilakoni Leicester di Liga Primer, Okazaki tampil dalam 36 pertandingan dengan 28 laga tampil sebagai starter. Okazaki memang bukan tipikal pemain depan yang andal dalam mencetak gol. Tapi, ia punya kemampuan lain yang tak kalah penting dari mencetak gol.
Melalui pergerakannya yang lincah, Okazaki kerap membuka ruang bagi rekan-rekannya merangsek ke jantung pertahanan lawan. Mobilitasnya bisa memancing pemain belakang lawan keluar dari teritorinya untuk menghentikan pergerakannya. Saat pemain belakang terpancing, maka Vardy atau Mahrez bisa melakukan pertunjukkannya.
Satu hal lain, Okazaki merupakan pemain yang ulet dan pandai dalam memotivasi rekan-rekan satu timnya. Ranieri menyebut Okazaki adalah pemain yang punya etos kerja tinggi dan gigih. Pelatih asal Italia itu juga menganggap Okazaki sebagai dilly ding, dilly dong dalam timnya. Istilah aneh itu, merupakan penggambaran dari bel imajiner Ranieri untuk mengembalikan fokus timnya di kala menurun baik dalam sesi latihan atau pertandingan.
"Shinji merupakan tipikal pemain pekerja keras. Perannya penting untuk tim ini, karena dia banyak melakukan tekanan. Dia adalah dilly ding, dilly dong kami. Dia membangunkan para pemain kami, dia punya belnya," kata Ranieri dilansir dari SkySports.
***
Okazaki didatangkan Leicester saat jendela transfer musim panas 2015 dibuka. Ia diboyong dari Mainz 05 dengan mahar 7 juta paun. Ia tercatat pula sebagai pesepakbola Jepang ketujuh yang berkarier di Liga Primer sejak 1992.
Tapi, berbeda dengan kiprah pesepakbola Jepang lainnya, yang cenderung gagal bersinar di Liga Primer, Okazaki menjadi antitesis. Buktinya, dalam debutnya di Liga Primer, Okazaki langsung meraih gelar juara bersama Leicester. Tak hanya merasakan, ia juga berkontribusi dalam kesuksesan tersebut.
Sejatinya, pencapaian Okazaki sama dengan Shinji Kagawa yang pernah merumput bersama Manchester United, setelah didatangkan dari Borussia Dortmund pada awal musim 2012/13. Debut Kagawa bersama Man United juga berbuah gelar juara. Tapi berbeda dengan Okazaki, kontribusi Kagawa terbilang minim bagi Setan Merah. Selama musim 2012/13, Kagawa hanya tampil dalam 21 pertandingan di Liga Primer, dengan hanya 17 laga yang dijalani sebagai starter.
Saat itu, Kagawa banyak absen karena mengalami cedera lutut. Tapi, setelah sembuh Kagawa gagal mengembalikan performa terbaiknya. Ia hanya bertahan selama dua musim di Old Trafford sebelum akhirnya kembali ke Dortmund.
Tapi, Kagawa bukan satu-satunya pesepakbola asal Jepang yang gagal bersinar di Liga Primer. Jauh sebelumnya ada sosok Junichi Inamoto, yang tercatat sebagai pesepakbola Jepang pertama di Liga Premier. Inamoto didatangkan Arsenal dari Gamba Osaka pada musim panas 2001 dengan status pinjaman.
Kiprah Inamoto bersama The Gunners tak berlangsung mulus, ia kalah bersaing dengan Ray Parlor, Edu, Freddie Ljungberg, dan Patrick Vieira untuk memperebutkan posisi inti di lini tengah. Walhasil, selama semusim merumput bersama Arsenal, Inamoto hanya membukukan empat penampilan (dua di Piala Liga dan dua di Liga Champions).
Gagal di Arsenal tak membuat pesona Inamoto memudar. Setelah tampil impresif bersama timnas Jepang di Piala Dunia 2002, ia dipinang Fulham. Meski berstatus sebagai pemain pelapis, di Craven Cottage kesempatan bermain Inamoto lebih banyak ketimbang di Highbury.
Di musim pertamanya, Inamoto membukukan 15 penampilan. The Cottagers kemudian memperpanjang masa pinjamannya menjelang musim 2003/04. Hingga di musim panas 2004, Fulham hampir memberi kontrak permanen kepada Inamoto. Sayangnya kesepakatan gagal terwujud karena Inamoto mengalami cedera.
Tak menyerah, Inamoto kemudian menjalin kesepakatan dengan West Bromwich Albion. Sayangnya, ia gagal bersinar. Sempat dipinjamkan ke Cardiff City, Inamoto kemudian dilepas pada awal musim 2006/07 dan bergabung bersama Galatasaray. Ia kemudian terus berpindah klub hingga kariernya berakhir di klub Jepang, Consadole Sapporo.
Setelah Inamoto, muncul Kazuyuki Toda, yang hanya memainkan tiga pertandingan bersama Tottenham Hotspur di musim 2002/03. Toda kemudian pindah dan tak lagi menjejakkan kakinya di Inggris.
Pada musim 2005/06, salah satu bakat besar Jepang, Hidetoshi Nakata, tiba di Bolton Wanderers dengan status pemain pinjaman dari Fiorentina. Rekam jejak Nakata yang mengagumkan, setelah performa impresifnya di Serie A Italia bersama Parma hingga AS Roma, bukan jaminan dirinya bersinar di Liga Primer.
Selama satu musim membela Bolton, Nakata tampil dalam 21 pertandingan. Cukup banyak bila dibanding dengan pendahulunya. Tapi, performanya juga tak bisa dikata bagus, karena hanya satu gol yang bisa ia bukukan.
Satu nama lainnya adalah Ryo Miyaichi yang tiba di Arsenal pada Januari 2011. Miyachi memang tercatat sebagai pemain Arsenal hingga 2015. Namun kiprahnya lebih banyak dihabiskan sebagai pemain pinjaman. Pada awal musim 2015/16, Miyachi dilepas ke St. Pauli.
Setelah kegagalan Inamoto, Toda, Nakata, dan Miyachi, nyatanya hingga musim 2017/18 ini masih ada beberapa pemain Jepang yang beredar di Liga Primer. Selain Okazaki tentunya, masih ada Maya Yoshida yang bermain untuk Southampton. Yoshida bergabung bersama Southampton di tahun 2012. Debutnya di Liga Primer berlangsung mulus, ia menjadi pemain utama, dengan 32 penampilan.
Sayangnya, di musim keduanya Yoshida mulai tersisi dari skuat utama Soton. Di musim 2013/14, ia hanya tampil dalam delapan laga di Liga Primer. Status sebagai pemain pelapis terus melekat bagi Yoshida hingga musim keenamnya bersama Soton. Bisa dibilang, ia merupakan pemain Jepang terlama yang bertahan di Liga Primer.
Namun catatan tersebut juga tidak lebih baik dari Okazaki yang setidaknya sudah merasakan gelar juara selama berkiprah di Liga primer. Meski dalam dua musim setelahnya performa Leicester cenderung menurun di kompetisi domestik, tapi Okazaki tetap memiliki kontribusi besar bagi Leicester.
Bahkan, hingga pekan ke-34 Liga Primer musim ini, Okazaki tampil dalam 27 pertandingan bersama Leicester. Jumlah tersebut berpotensi bertambah mengingat masih ada sekitar empat laga lagi yang akan dimainkan The Foxes.
Simak cerita dan sketsa adegan Rochi Putiray tentang cara menendang penalti menggunakan teknik Panenka:
Komentar