Bayern München, PSV Eindhoven, dan Paris Saint-Germain menjadi juara di liga domestik mereka masing-masing. Padahal kompetisi belum resmi berakhir. Jujur saja, itu bukan barang baru. Kita tak kaget mendengarnya. Malah, kita cenderung bosan.
Dominasi, terutama bagi Bayern dan PSG, sudah keterlaluan. Ada dua pertanyaan utama dari hal tersebut: Kenapa ada dominasi di liga-liga sepakbola tertentu? Bagaimana cara memutus dominasi tersebut?
Bukan hanya Bayern di Bundesliga Jerman atau PSG di Ligue 1 Prancis. Jika kita melihat di Eropa saja, kisah dominasi satu-dua kesebelasan di liga domestik sudah marak terjadi dalam satu dekade terakhir ini, mulai dari liga negara besar sampai liga negara kecil.
Dalam satu dekade ini, kita bisa menyebut dominasi Porto dan Benfica (masing-masing dengan 5 gelar juara) di Liga Portugal, Juventus (6) di Serie A Italia, FC Copenhagen (6) di Liga Denmark, Celtic FC (7) di Liga Skotlandia, Red Bull Salzburg (7) di Liga Austria, Dinamo Zagreb (9) di Liga Kroasia, sampai Lincoln Red Imps (9) di Liga Gibraltar.
Seberapa kecil atau besar ukuran negara dan kualitas sepakbola mereka, dari mulai Jerman sampai Gibraltar, ternyata hampir semua liga memiliki pola dan narasi yang mirip-mirip: ada sejumlah kecil kesebelasan yang dominan.
Dominasi Biasanya Terjadi karena Tak Ada Kompetisi
Bicara tentang dominasi berarti kita sudah melibatkan rentang waktu. Secara rata-rata, kesebelasan dominan di liga-liga negara Eropa menjuarai sepertiga dari seluruh gelar juara di negara tersebut. Mungkin hanya Prancis dan Makedonia yang kesebelasan dominannya tak memiliki lebih dari 10 gelar juara.
Tabel dominasi kesebelasan-kesebelasan di beberapa kompetisi Eropa sampai 2017/18
Dominasi biasanya hadir karena tak ada kompetisi. Dalam KBBI, dominasi berarti “penguasaan oleh pihak yang lebih kuat terhadap yang lebih lemah”, sementara kompetisi memiliki arti “persaingan”.
Jadi, kesebelasan dominan biasanya lahir karena liga mereka tidak kompetitif. Begitu, bukan? Sayangnya, di sepakbola, itu bisa jadi salah kaprah.
Kita bisa ambil contoh Real Madrid atau Barcelona yang dominan di La Liga Spanyol, yang suka kita banding-bandingkan dengan Liga Primer Inggris yang juaranya (sekarang) hampir selalu bervariasi.
Kita menganggap La Liga tidak kompetitif, sementara Liga Primer kompetitif. Sejalan dengan itu, kita menganggap Real atau Barça dominan, sementara di Liga Primer kesebelasan dominannya berganti.
Kemudian jika kita melihat Liga Champions UEFA, kompetisi yang bisa langsung membandingkan kualitas (kesebelasan) La Liga dan Liga Primer, kita seolah mendapat jawaban jika La Liga lebih baik daripada Liga Primer.
Itu terjadi karena jumlah gelar juara kesebelasan-kesebelasan Spanyol (17) lebih banyak daripada kesebelasan-kesebelasan Inggris (12), permainan Real atau Barça juga (relatif) lebih menghibur daripada permainan kebanyakan kesebelasan Liga Primer, Real atau Barça (relatif) memiliki lebih banyak pemain bintang, serta segudang alasan dan “counter-alasan” lainnya. Ini adalah perdebatan tiada akhir dan tiada solusi, seperti perdebatan baiknya bubur diaduk atau tidak.
Padahal, liga yang kompetitif belum tentu adalah liga terbaik yang menghasilkan jagoan. Liga yang kompetitif belum tentu pula liga yang menghibur, memiliki banyak bintang, banyak golnya, banyak penontonnya, sering diliput media, dan memiliki kondisi finansial yang baik dan merata.
Liga kompetitif adalah liga yang bisa menghasilkan persaingan yang ketat, yang bisa dilihat dari perbedaan poin di klasemen antara satu kesebelasan dengan kesebelasan lainnya.
Baca juga: Agar Tidak Salah Kaprah Tentang Liga Kompetitif
Sebaliknya, di sepakbola, apakah hubungan antara dominasi dan kompetisi itu berarti jika ada satu-dua kesebelasan dominan (seperti sekarang di Bundesliga, Ligue 1, Serie A, dan Liga Skotlandia) maka artinya liga mereka tak kompetitif?
Iklan Menumbuhkan Minat
Dominasi biasanya hadir karena skala investasi yang dibutuhkan sangat besar sampai-sampai itu tak memungkinkan menghadirkan kompetisi. Kita bisa melihat dominasi seperti monopoli, baik secara langsung maupun tidak.
Misalnya saja, perjalanan ke luar angkasa terlalu mewah dan terlalu mahal sehingga kita hanya mengetahui NASA, sampai-sampai juga jepretan bumi bulat yang NASA miliki bisa kita klaim seenaknya sebagai hoaks atau hasil CGI.
Sebagai perbandingan, bujet tahunan NASA memang dominan di antara agensi luar angkasa lainnya, yaitu 19,5 miliar dolar AS (268 triliun rupiah). Angka ini sangat jauh lebih besar dibandingkan ESA (6,2 miliar dolar), Roscosmos (3,2 miliar dolar), CNES (2,6 miliar dolar), dan lain sebagainya.
Namun sebaliknya, dominasi bisa hadir pada pasar yang memungkinkan adanya kompetisi, bukan monopoli. Kita bisa ambil contoh air minum.
Misalnya, saat ini di Indonesia, kita lebih mengenal air mineral sebagai sebuah merek, Aqua. Kita biasa meminta atau disuguhi Aqua padahal bisa jadi yang benar-benar kita nikmati adalah air mineral merek lain atau bahkan yang tak bermerek sekalipun. Aqua bisa dibilang sudah dominan.
Dalam jenis minuman lain, seperti minuman ringan bersoda, hampir tidak ada penduduk di dunia ini yang tidak mengenal Coca-Cola. Kenapa Coca-Cola bisa mendominasi dunia? Kenapa Aqua bisa mendominasi Indonesia?
Baca juga: Pemasaran yang “Aneh” di Sepakbola
Tak seperti perjalanan ke luar angkasa, lumayan mudah berbisnis minuman ringan bersoda. Saham Coca-Cola di dunia mencapai 42%. Pesaing mereka, Pepsi, 28%. Meski ada kompetisi yang potensial, bahkan melalui merek lainnya, dua merek ini tetap mendominasi pasar.
Menurut penelitian John Sutton yang kami dapatkan dari artikel Stefan Szymanski, dominasi ini tercipta bukan karena biaya yang mahal, tapi karena iklan.
Konsumen cenderung membeli merek yang mereka kenali. Iklan adalah cara untuk mengenalkan merek, dan ini adalah cara yang sangat mahal dan butuh bertahun-tahun untuk terpatri di kepala para konsumen. Ketika kamu memiliki itu, kamu harus terus berinvestasi untuk menjaganya tetap begitu. Coca-Cola melakukannya dengan pengeluaran mencapai 3 miliar dolar AS setiap tahunnya untuk iklan.
Pola Dominasi Sepakbola yang Mirip dari Liga Gibraltar Sampai Piala Dunia
Di cakupan pasar dunia yang lebih besar, merek seperti Coca-Cola mendapatkan manfaat mereka dari iklan. Namun di cakupan pasar yang lebih kecil, merek besar bisa kalah dengan merek kecil (lokal).
Kita bisa mengambil contoh lagi dari air mineral di Indonesia. Sedominan apa pun Aqua, di Lombok mungkin kita bisa lebih banyak menemukan merek air mineral lokal mereka, Narmada. Itu juga terjadi di beberapa daerah lainnya.
Dominasi dan kompetisi sepakbola itu tidak seperti contoh-contoh di atas. Di sepakbola, pola dominasi terlihat mirip, baik di pasar yang lebih besar (Liga Champions) maupun yang lebih kecil (Liga Gibraltar).
Alih-alih iklan, yang meningkatkan minat pendukung sepakbola itu adalah kemenangan dan gelar juara. Seringnya, bahkan, kemenangan dan gelar juara juga sejalan dengan jumlah pemasukan mereka.
Kesebelasan yang sering menang dan juara adalah mereka yang bisa menarik suporter. Sekarang kita tak bisa lagi mengejek jika fans Man City adalah karbitan, karena Man City mulai membangun dominasi mereka.
Baca juga: Man City Sedang Menciptakan Sejarah
Namun sepakbola berbeda, tidak seperti di dunia bisnis sungguhan di mana dominasi merek besar bisa mematikan merek yang lebih kecil. Di sepakbola, dominasi kesebelasan besar hampir tak akan pernah mematikan kesebelasan kecil.
Sebagai gambaran, dari 74 kesebelasan yang bermain di divisi teratas Inggris, Prancis, Italia, dan Spanyol pada tahun 1950, ternyata 72-nya masih ada saat ini. Padahal, pola dominasi selalu ada, meski nama kesebelasannya kadang berubah.
Athletic Bilbao sempat sangat dominan di Spanyol di 20 tahun pertama La Liga (1930 sampai 1950). Akan tetapi, sisanya setelah 1950 adalah milik Real Madrid dan Barcelona.
Torino, bukan Juventus, juga sempat mendominasi sepakbola Italia pada 1940-an dengan lima gelar juaranya. Di Jerman, Borussia Mönchengladbach pernah mendominasi 1970-an dengan lima gelar juara. Kebalikannya, Bayern pernah hanya sekali juara pada empat dekade sepakbola Jerman (1927 sampai 1967).
Pada 1962 sampai 1992, sepakbola Inggris didominasi kesebelasan Merseyside, yaitu Liverpool dengan 13 gelar juara dan Everton 4 gelar.
***
Jadi, kenapa ada dominasi di liga-liga sepakbola tertentu? Bagaimana cara memutus dominasi tersebut?
Di sepakbola, dominasi terjadi justru karena kompetisi dari kesebelasan yang itu-itu saja. Pola-pola di atas tak akan pernah membuat dominasi di sepakbola berhenti, meski ada beberapa anomali jika kesebelasan dominannya bisa berganti.
Sebaliknya, pola-pola itu membuat dominasi terlihat mirip di liga mana pun, di kompetisi apa pun, dari Liga Gibraltar sampai Piala Dunia FIFA.
Sementara jika kita melihat kesuksesan kesebelasan, kita harus melihat rentang waktunya. Ada perbedaan besar antara kesebelasan kuat dan kesebelasan besar. Itu melibatkan uang, sejarah, dan pengalaman.
Kesebelasan kuat adalah mereka yang dominan saat ini dan beberapa waktu lalu serta beberapa waktu ke depan. Sedangkan kesebelasan besar adalah mereka yang dominan dalam rentang waktu yang lebih panjang dan konsisten.
Itulah kenapa kesebelasan kuat bisa ada banyak dan berganti-ganti, tapi hanya ada tiga kesebelasan besar di dunia: Real Madrid, Bayern München, dan Barcelona. Melihat pola dominasi di sepanjang tulisan ini, kelihatannya itu tak akan pernah berakhir.
Komentar